Loading...
Logo TinLit
Read Story - Renjana
MENU
About Us  

 

Seperti hari-hari biasa, ia mengikat rambut sepinggangnya. Dua pegawainya, Nata dan Abi, serta seorang anak magang, Jeon, memandanginya. Ia meneliti gaun di depannya dengan seksama. Sesekali ia memutar, mengelilingi manekin dengan gaun merah itu sembari memperhatikan detail-detail kecil yang mungkin tidak nampak.

Tatapannya pada saat seperti ini sebenarnya cukup membuat para pegawainya itu ketar-ketir. Pasalnya, tatapan itu biasanya datar, tanpa ekspresi maupun emosi. Namun ketika menatapi gaun baru seperti ini, tatapannya berubah tajam, seakan bisa memotong apapun yang ditatapnya.

Ia mengangguk kecil, kemudian menepuk tangannya sekali. “Udah oke. Habis ini klien dikabari, ya, udah bisa fitting,” ujarnya final sembari meninggalkan manekin yang hampir tiga puluh menit ditatapi. Jika itu manusia, mungkin manekin itu sudah pingsan di tempat.

“Oke, Mbak. Langsung aku kabarin habis ini.” Abi, selaku pegawai serta asistennya, segera bergerak. Sementara dua orang lainnya mengikutinya dari belakang.

“Mbak habis ini mau kemana?” Jeon, si anak magang, bertanya penasaran. Pasalnya kini ia meraih kardigannya dan menggerai rambutnya, merapikannya sejenak, kemudian mengambil tasnya.

“Mau ketemu Ibu,” jawabnya singkat, sebelum berpamitan sekilas dan melangkah keluar.

“Hati-hati, Mbak Mitha!” Sekilas terdengar teriakan Jeon dari dalam, yang ketika ia menoleh, ia melihat si anak magang itu tengah diomeli oleh Nata, salah satu pegawainya. Ia tersenyum tipis sebelum kembali melangkah, menuju kepada sebuah mobil taksi online yang sudah ia pesan sebelumnya.

“Dengan Kak Paramitha Nareswari?” Sebuah anggukan ia berikan setelah menutup pintu mobil. Segera setelahnya, mobil hitam itu melaju.

Paramitha Nareswari. Ibunya bilang, yang memberi nama itu adalah ayahnya. Nama yang sangat indah. Ibunya pernah bercerita bahwa ayahnya sangat menyukai nama itu. Itu adalah gabungan dari nama neneknya dan nama saudari kembar ayahnya, yang sayangnya meninggal saat masih kecil. Kata ibunya, nama itu berarti ratu yang penuh kesempurnaan. Sebuah nama yang sangat berat untuk disandang seseorang yang biasa saja seperti Mitha.

Mitha tersenyum kecil mengingat ibunya yang begitu antusias tiap bercerita tentang ayahnya. Meskipun Mitha nyaris tidak kenal dengan sosok ayahnya, namun Mitha tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang penyayang.

Ponsel di pangkuannya bergetar. Mitha meliriknya dan menemukan bahwa pesannya telah dibalas. Lagi, ia tersenyum kecil. Kekasihnya membalas pesannya.

 

Rin

Nares, maaf aku baru bangun. Kabar aku baik. Seminggu ini aku sibuk banget di kantor. Papa nggak ngasih aku istirahat sama sekali sampai rasanya mau copot pinggangku.

 

Mitha tersenyum lagi. Setelah dua hari, akhirnya kekasihnya membalas pesannya. Ia bisa membayangkan wajah kekasihnya yang mengeluh sembari menutup mata, ingin tidur. Beberapa kali ketika ia bertemu dengan kekasihnya itu, wajahnya memang tampak sangat kusut, seakan beban dunia ditanggung olehnnya. Namun ia maklum. Rin sedang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin perusahaan menggantikan papanya. Meskipun saat ini ia hanya memegang bagian cabang, namun bebannya tentu berbeda karena ia adalah anak dari pemilik perusahaan.

Jemarinya bergerak lincah di atas layer ponsel, mengetik balasan untuk kekasihnya itu.

 

You

Aku juga baru selesaiin satu gaun. Besok mungkin klien bakal fitting gaunnya.

Aku lagi di perjalanan mau ketemu Ibu. Mumpung aku ada waktu senggang. Sebelum balik lagi sama desain yang belum rampung.

 

Mitha meletakkan ponselnya begitu selesai mengetikkan balasan. Namun belum juga semenit ia meletakkan ponselnya, pesan balasan datang lagi.

 

Rin

Kamu lagi senggang?

Mau ketemu?

 

Ajakan itu tentu tidak akan ditolaknya. Setelah ia membalas pesan itu dengan kata ‘iya’, ia menyimpan ponselnya. Butuh hampir lima belas menit sampai mobil yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah rumah.

Mitha turun begitu selesai membayar. Ia menatap sejenak pada rumah sederhana di depannya, tempat ia dibesarkan. Lagi, seulas senyum terlukis di wajah eloknya. Dadanya berdebar. Pipinya nampak kemerahan, antara rasa antusiasnya yang membuncah atau memang karena terik matahari Jakarta.

“Mbak Nares?”

Sebuah panggilan dari suara yang sangat familiar membuat si empunya nama menoleh. Didapatinya seorang gadis cantik dengan tinggi semampai menatapinya seksama. Mata coklat gadis itu menatapinya lekat, sampai akhirnya memekik keras.

“Ih, beneran Mbak Nares!” Sedetik kemudian, si gadis sudah melompat dan memeluk Mitha dengan kuat. Ia sempat terkesiap sejenak, terkejut dengan tingkah si gadis. Meskipun sebenarnya ia tak perlu terkejut.

Mitha melingkarkan kedua tangannya di punggung gadis tinggi itu, kemudian menepuknya pelan, balas memeluk. “Iya, ini Mbak. Kamu apa kabar, Sella?” sapanya lembut. Gadis itu melepaskan pelukannya, kemudian menatap dalam mata kelam milik Mitha.

“Aku baik banget, Mbak! Ih, kangen banget sama Mbak Nares…. Mbak gak pernah ke sini lagi sih semenjak pindah,” tutur gadis itu, Sella, dengan muka cemberut. Bibirnya mencebik lucu, membuat Mitha tak tahan untuk mencubit bibir lucu itu.

“Mbak kadang ke sini, kok. Tapi gak pernah ketemu kamu. Kamu kali, Sel, yang sibuk,” balasnya kemudian tertawa kecil. Sella hanya mencebik lalu memeluk lengan kanan Mitha.

“Ibu ada di rumah, Mbak?”

Mitha mengangguk sebagai jawaban. “Makanya Mbak ke sini selagi ada waktu senggang. Kamu mau mampir?” tawarnya sembari menatap gadis tinggi itu. Dan dengan antusias, gadis itu mengangguk bersemangat.

“Aku tuh sibuk juga tahu, Mbak! Sehari bisa sampai lima jadwal. Kan capek, ya?” keluhnya sembari bersandar di bahu Mitha. Mitha hanya tertawa kecil menanggapinya, kemudian membuka pintu rumah ibunya perlahan.

“Ibu, Mitha udah datang, nih!” sapanya lembut. Dan tidak berapa lama, seorang wanita baya menghampirinya dengan tergesa.

Mitha menatapi sosok di hadapannya itu. Rambut hitamnya yang sudah mulai memutih, keriput yang terlihat di sana-sini, dan pergerakannya yang tidak setangkas dahulu. Sosok ibunya yang hampir masuk usia senja.

“Mit, kok nggak bilang sama Ibu kalo datangmu jam segini? Tahu gitu Ibu masakin dulu tadi. Kirain masih agak sorean,” cerocos ibunya cepat. Ah, mungkin bagian ini bisa Mitha kecualikan. Kecepatan berbicara wanita itu masih sama saja. Cerewet.

Mitha ingin menjawab sebenarnya. Tapi ia jelas lebih tahu dari siapapun bahwa ibunya tidak membutuhkan jawaban. Sehingga ia memilih untuk melepas sepatu boots-nya dan menyusunnya di rak. Sella mengikuti gerakannya dengan rapi, sebelum beranjak terlebih dahulu, mengulangi tindakannya saat tadi bertemu dengan Mitha—melompat dan memeluk. Tentu saja kali ini targetnya adalah sang ibu yang sedang menunggu mereka menata sepatu.

“Ibu Sella kangen banget…!” pekiknya kencang sembari memeluk wanita baya itu. Wanita itu tertawa kencang kemudian menepuk-tepuk punggung gadis tinggi itu.

“Kamu ini udah lupa sama Ibu, ya? Ibu rasanya kayak menua sendirian di rumah ini. Nggak ada kamu sama Marcel rasanya sepi banget.” Wanita itu menghela napas, kemudian mengelus punggung Sella dengan sayang. Mitha yang melihat pemandangan itu menggeleng pelan. Sebenarnya yang anaknya itu siapa?

Mitha melangkah masuk mendahului dua orang yang tengah berpelukan dramatis di depan pintu itu. Ia melepas kardigannya dan menggantungnya di kursi, menyisakan kaos putih lengan pendek yang ia kenakan.

“Ibu udah terima paket sayuran yang Mitha kirim kemarin, kan?” tanya Mitha dengan suara dikeraskan, sengaja agar dua orang yang tengah berdrama itu segera usai. Tangannya membuka pintu kulkas, kemudian matanya secara teliti memindai isi kulkas yang sudah penuh itu.

“Udah. Kan Ibu udah bilang, Ibu bisa belanja sayur di tukang sayur aja. Malah kamu beliin online terus. Sayang di ongkos kirimnya, loh.”

Mitha menghela napas. Ia berjongkok untuk mengambil beberapa bahan yang diperlukan untuk memasak. Dengan sigap, tangannya meraih beberapa sayuran setelah memilahnya sejenak.

“Mitha kan cuma pengen Ibu makan yang terbaik,” balasnya singkat. Ia berdiri, membawa beberapa bahan masakan yang ada di tangannya ke arah meja.

“Tapi kan sayang uangnya, Mitha…. Ibu tahu kamu punya banyak uang. Tapi bukan berarti kamu bisa boros, dong.” Lagi, ibunya mendebat. Mitha melirik kecil ke arah ibunya sebelum kembali mengambil beberapa bahan dari kulkas. Ia hanya menghela napas sejenak, sebelum kembali mengurusi dapur dan menganggap omelan ibunya adalah sebuah angin lalu.

“Kabar si Vincent gimana, Mbak? Masih pacaran, kan?” Sella yang merasakan atmosfer tidak menyenangkan langsung berusaha mengganti topik. Ia melirik kecil pada ibu Mitha yang tengah sibuk dengan beberapa sayuran.

“Baik, kok. Rencananya nanti aku mau ketemu sama dia, mumpung ada waktu senggang,” balasnya ringan yang dihadiahi decakan lidah dari ibunya.

“Kamu kok betah sih sama si Vincent, Vincent itu? Pacaran udah lama juga nggak buruan ngelamar. Kapan kamu mau dinikahin?”

Dan sepertinya topik tentang sayuran lebih baik daripada topik tentang Vincent. Pasalnya, kini suasana di ruang dapur semakin menegang. Sella melirik Mitha, dan menemukannya yang tengah memotong sayuran dengan tegas sampai-sampai suaranya seperti bergema di telinga Sella. Sementara ibu Mitha yang tengah mengupas bumbu terlihat sangat lihai sampai-sampai setiap gerakan pisaunya seakan sedang mengasah pisau. Dan Sella yang tidak berbuat apa-apa jadi semakin bingung dengan suasananya.

“SELLA! Brengsek lo ditungguin malah mampir kemana!”

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, Sella bersyukur atas suara menyebalkan Marcel yang mengumpatinya. Berkat suara makian saudara kembarnya itu, dua orang yang tengah tenggelam dalam atmosfer tidak menyenangkan itu segera berdeham, dan berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Sedangkan si pemuda yang baru saja masuk seenaknya ke rumah orang sambil mengumpat itu hanya melangkah lebar, sebelum mengunci leher Sella dengan lengannya.

“Brengsek lo! Gue udah nunggu setengah jam panas-panasan tapi lo malah enak-enakan di rumah Ibu?! Mati lo. MATI LO!”

Sella ingin melawan, sebenarnya. Namun ia memilih urung dan menerima semua perlakuan anarkis Marcel demi berterima kasih karena telah menyelamatkannya dari hawa tidak menyenangkan sepasang ibu dan anak di depannya itu.

“Ibu kenapa ga nelfon Marcel? Ibu udah ga sayang Marcel, ya?” Suaranya yang melunak dan mimik wajahnya yang melembek itu membuat Sella mencibir dalam hati. Ingin rasanya ia tendang wajah menyebalkan itu.

“Berantem mulu loh, kalian ini. Tuh ada Mitha datang. Jarang, kan, kalian ketemu Mitha?” lerai ibu Mitha sembari menggeleng pelan, heran dengan kelakuan sepasang anak kembar ini.

Marcel yang mendengar ucapan itu segera menegakkan tubuh, melepas kunciannya pada leher Sella, kemudian segera menghampiri Mitha.

“Res, apa kabar? Udah lama banget ga ketemu lo,” sapanya ringan sembari meraih panci, hendak membantu memasak.

“Baik banget, Cel. Kamu gimana? Restoran kamu makin sukses aja ya, kayaknya,” balas Mitha membuat Marcel menatapnya bingung. Mitha yang menyadari tatapan bingung itu kemudian tertawa kecil. Marcellio tidak pernah berubah rupanya.

“Restoran kamu masuk artikel, tahu? Ada food blogger yang nge-review restoran kamu. Pasti kamu nggak tahu, ya?” Marcel hanya menggeleng menjawab pertanyaan Mitha. Sementara Sella di belakang mereka mencibir. “Dia mana tahu begituan, Mbak. Kerjaannya tiap hari cuma masak terus. Ini aja kalo nggak aku paksa buat jemput dia gak bakal mau jemput aku,” ujarnya membuat Marcel menoleh hanya untuk mengumpatinya pelan.

Dan waktu berlalu begitu saja, dengan mereka yang asyik bercengkrama hangat. Sesekali, mereka akan mengenang saat-saat usia mereka masih kecil, masa di mana si kembar yang merupakan tetangganya itu masih lucu-lucunya. Terkadang juga mereka mengingat bagaimana sempurnanya seorang Paramitha Nareswari yang hampir tanpa celah bahkan sejak kecil. Mitha yang mendengarnya tentu membantah. Karena menurutnya, ia masih penuh dengan kekurangan.

“Tapi Mbak Nares beneran sesempurna itu, loh! Inget nggak Cel, waktu Mbak Nares juara satu parallel di sekolah, trus jadi primadona soalnya cantik banget. Sampai aku tuh kadang mikir, kok ada ya manusia sesempurna Mbak Nares? Udah cantik, pintar lagi. Aku juga pingin,” ucapnya panjang, menghela napas kemudian menopang dagunya, membayangkan apabila ia yang menjadi Mitha.

“Halu, lo! Mana bisa lo jadi Nares? Ngarep!” sahut Marcel membuat Sella melemparkan tatapan tajam sebelum memukulnya keras-keras.

Mitha tertawa melihat tingkah si kembar yang tidak pernah berubah itu. Dan panggilan kesayangan yang tidak pernah berubah itu juga menjadi salah satu alasan mengapa Mitha merasakan keterikatan dengan sepasang anak kembar itu. Ia tersenyum. Rasanya senang masih bisa merasakan hal seperti ini sekarang. Ia tidak tahu kapan lagi bisa merasakan hal seperti ini lagi.

Ponsel Mitha yang ada di atas meja bergetar. Sebuah pesan dari kekasihnya, Orian Vincent, membuatnya tersenyum kemudian segera beranjak.

“Aku pamit dulu, ya. Mau ketemu Rin,” pamitnya sembari memakai kardigannya. Bersamaan dengan itu, Marcel beranjak dari duduknya. Ia menatap Mitha sejenak.

“Biar gue anterin,” tawarnya kemudian dengan sigap mengambil kunci mobil di atas meja. Namun Mitha dengan sebuah gelengan menolaknya.

“Nggak usah, Marcel. Kamu di sini aja menemani Ibu sama Sella. Aku udah pesan taksi online,” tolaknya kemudian beranjak untuk menyalami ibunya.

“Mitha pamit, ya, Bu,” ucapnya kemudian mengecup kening ibunya penuh sayang. Selesai dengan itu, ia beranjak memeluk Sella dan mengucap sebuah pamit singkat, sebelum akhirnya hanya memberi sebuah lambaian tangan pada Marcel.

Dan dengan itu, ia beranjak pergi, meninggalkan rumah ibunya untuk menyusul kekasihnya, Rin. Jantungnya cukup berdebar. Karena hampir satu bulan lamanya ia tidak bertemu dengan kekasihnya itu karena kesibukan masing-masing. Mitha tersenyum. Mungkin, hari ini akan menjadi hari yang sangat baik untuknya.

 

 

To Be Continue

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Ilalang 98
7115      2226     4     
Romance
Kisah ini berlatar belakang tahun 1998 tahun di mana banyak konflik terjadi dan berimbas cukup serius untuk kehidupan sosial dan juga romansa seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia bernama Ilalang Alambara Pilihan yang tidak di sengaja membuatnya terjebak dalam situasi sulit untuk bertahan hidup sekaligus melindungi gadis yang ia cintai Pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya hanya sebuah il...
Trying Other People's World
155      132     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...
Train to Heaven
1184      737     2     
Fantasy
Bagaimana jika kereta yang kamu naiki mengalami kecelakaan dan kamu terlempar di kereta misterius yang berbeda dari sebelumnya? Kasih pulang ke daerah asalnya setelah lulus menjadi Sarjana di Bandung. Di perjalanan, ternyata kereta yang dia naiki mengalami kecelakaan dan dia di gerbong 1 mengalami dampak yang parah. Saat bangun, ia mendapati dirinya berpindah tempat di kereta yang tidak ia ken...
Secret’s
4287      1369     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Aku Biru dan Kamu Abu
829      483     2     
Romance
Pertemuanku dengan Abu seperti takdir. Kehadiran lelaki bersifat hangat itu benar-benar memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Dia adalah teman curhat yang baik. Dia juga suka sekali membuat pipiku bersemu merah. Namun, kenapa aku tidak boleh mencintainya? Bukannya Abu juga mencintai Biru?
Mencari Virgo
489      346     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
HAMPA
419      291     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Seberang Cakrawala
125      113     0     
Romance
sepasang kekasih menghabiskan sore berbadai itu dengan menyusuri cerukan rahasia di pulau tempat tinggal mereka untuk berkontemplasi
Tentang Hati Yang Patah
518      383     0     
Short Story
Aku takut untuk terbangun, karena yang aku lihat bukan lagi kamu. Aku takut untuk memejam, karena saat terpejam aku tak ingin terbangun. Aku takut kepada kamu, karena segala ketakutanku.bersumber dari kamu. Aku takut akan kesepian, karena saat sepi aku merasa kehilangan. Aku takut akan kegelapan, karena saat gelap aku kehilangan harapan. Aku takut akan kehangatan, karena wajahmu yang a...
Dissolve
447      296     2     
Romance
Could you tell me what am I to you?