Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hear Me
MENU
About Us  

Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan? Seharusnya aku merasa bersyukur bukan? Tapi, nyatanya tidak. Aku tidak merasa bahagia sama sekali. Justru aku merasa sangat tertekan hidup di keluarga yang seperti ini.

 

Baiklah, mungkin wajar Ayah dan Bunda mengatur hidupku untuk ini dan itu saat aku masih kecil. Itu artinya mereka memang menyayangiku dan tidak mau sampai aku memilih jalan yang salah. Aku mengerti itu. Dan aku tidak merasa keberatan sama sekali, awalnya. Tapi kini, sampai aku sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas pun ternyata Ayah dan Bunda tetap bersikap seperti itu. Mereka tetap bersikap otoriter dan benar-benar tak terbantahkan.

 

Seperti saat ini, saat Bunda masuk ke kamarku dan memberikan map berwarna merah dengan logo sebuah Universitas di bagian tengahnya. Oh, melihatnya saja sudah membuat bahuku lemas.

 

“Ini apa, Bun?” tanyaku, membuka map itu dan melihat nama ‘Queen Nadhira’ tertera di lembar yang ada disana.

 

Iya, itu namaku. Hanya saja aku biasa dipanggil Nadhira.

 

“Itu berkas buat kamu kuliah, sayang. Bunda sama Ayah sudah urus semuanya.” Jawab Bunda sambil beralih duduk di tepi ranjang, tepat di sampingku.

 

Aku menoleh dengan cepat, menatap bingung sekaligus tak menyangka pada Bunda. “Tapi aku sudah diterima di Universitas favoritku, Bun.”

 

“Iya, Bunda tahu. Tapi, Universitas yang Bunda dan Ayah pilihkan ini lebih baik, Dhira. Universitas ini lebih dekat dari rumah. Fasilitasnya juga tidak kalah bagus.”

 

Menghela nafas pelan, aku kembali menatap map di pangkuanku ini dengan pikiran yang berkecamuk.

 

“Sudahlah, kami tahu yang terbaik untukmu, Dhira.” Lanjut Bunda yang membuatku kembali menatap sendu ke arahnya, tapi sayangnya ternyata Bunda sudah bangkit dan pergi meninggalkanku begitu saja. Bahkan sepertinya Bunda tidak melihat tatapan memohonku tadi.

 

Hhhhh… kenapa selalu seperti ini? Kenapa aku tidak bisa memilih apa yang aku mau? Jujur, ini sangat menakutkan. Aku takut semua tembok pembatas tak terlihat ini semakin mengurung langkahku.

 

Kapan semua ini akan berakhir?

 

-o0o-

 

Dengan kepala tertunduk, sesekali aku menghela nafas pelan, melangkah gontai menyusuri koridor kampusku ini. Oh tidak, tidak. Kalau kalian berpikir ini adalah kampus favoritku, maka kalian salah besar. Tepatnya aku berada di kampus yang orangtuaku pilihkan malam itu. Iya, Universitas yang dekat dengan rumah dan memiliki fasilitas bagus itu. Ck.

 

Aku… menyerah.

 

Melepaskan mimpiku untuk melanjutkan pendidikan di Universitas favorit memang bukan akhir hidupku, seiring berjalannya waktu aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku hanya menyerah, untuk saat ini. Rasanya terlalu lelah kalau harus berdebat dengan Ayah dan Bunda mengenai masalah ini.

 

Lagipula seperti yang sudah-sudah, memang percuma saja melawan kehendak mereka bukan?

 

“Nadhira!” seketika langkahku terhenti mendengar seruan itu. Ditambah lagi tepukan ringan di sebelah pundakku, membuat aku terkejut bukan main hingga tubuhku menegang.

 

Jujur, awalnya aku ingin marah. Tapi aku mengurungkan niatku itu setelah melihat siapa orang yang tersenyum lebar di sampingku ini. Namanya Aldo Pratama, tetangga sekaligus temanku di kampus ini. Dan ya… kami cukup dekat.

 

“Kamu ikut lomba bulan depan?” tanya Aldo sambil berjalan beriringan denganku.

 

“Lomba?” bukannya menjawab, aku malah kembali bertanya.

 

Aldo langsung mengambil selembar kertas dari tas ranselnya sebelum memberikannya padaku. Oh, ini selembaran tentang lomba bulan depan yang Aldo maksud. Aku membacanya sekilas dan melihat daftar lomba yang tertera disana. Cukup banyak, tapi…

 

“Lomba cipta novel?!” ujarku dengan langkah yang kembali terhenti, begitu pun dengan Aldo.

 

“Iya, kenapa?” Aldo mendekat dan melihat salah satu lomba yang membuatku terkejut itu, “Kamu mau ikut lomba itu? Temanku juga banyak yang ikut, lho.”

 

Entahlah, aku tidak bisa berkata apa-apa.

 

“Tapi sudah tinggal sebulan, kamu yakin mau ikut?” tanya Aldo, lagi.

 

Aku menatap Aldo dengan sedikit ragu, “Sebenarnya aku sudah lama suka menulis, aku punya naskah yang sudah setengah jadi.”

 

“Kalau begitu ikut saja!” seru Aldo dengan semangat, tak lupa menunjukkan senyuman lebarnya yang khas. “Coba selesaikan dan ikut lomba ini, siapa tahu kamu beruntung dan jadi pemenangnya!”

 

Jujur, aku mau!

 

Aku mau ikut lomba cipta novel ini karena ini adalah salah satu impianku yang terpendam, aku ingin menjadi penulis dan menciptakan banyak novel. Bukankah ini terdengar menyenangkan? Bahkan jantungku berdegup cepat saat ini.

 

“Hey,” tegur Aldo yang membuatku tersadar dari lamunanku.

 

“Do, sepertinya aku mau ikut.” Kataku setelah beberapa detik menatap Aldo dalam diam, nada bicaraku terdengar sedikit ragu.

 

Kulihat Aldo tersenyum kecil, tatapan matanya yang teduh seakan mengerti bahwa ada sesuatu yang menggangguku. Ada sesuatu yang membuatku ragu hingga membutuhkan semangat tambahan seperti ini.

 

“Kalau kamu memang mau ikut lomba ini, ikut saja. Kita masih muda, tidak ada salahnya mencoba hal-hal yang kita sukai bukan?”

 

-o0o-

 

“…Kita masih muda, tidak ada salahnya mencoba hal-hal yang kita sukai bukan?”

 

Ucapan Aldo kembali terngiang di telingaku, terdengar sangat indah dan cukup berpengaruh sampai ke hatiku. Setiap katanya bagaikan tepukan-tepukan ringan di kedua pipi yang menyadarkanku. Membuat aku semakin yakin untuk mengambil keputusan mengenai lomba bulan depan.

 

Ya, kalau diingat-ingat memang sebelumnya hampir tidak ada hal yang kulakukan atas dasar kesukaanku. Hidupku terasa membosankan karena Ayah dan Bunda yang mengontrol penuh setiap gerakanku. Aku tidak bisa melakukan hal-hal yang kusuka seperti mengikuti berbagai organisasi di sekolah karena Ayah dan Bunda melarangku. Mereka bilang, hal-hal seperti itu hanya membuang waktu dan tenagaku.

 

Dan untuk lomba cipta novel yang kusukai ini, hanya untuk impianku yang satu ini, kupikir tidak ada salahnya bila aku melakukannya. Aku akan berusaha membicarakan hal ini pada Ayah dan Bunda.

 

Melangkah cepat, aku menatap semangat ke arah rumahku yang berada di ujung jalan ini. Tidak sabar untuk segera sampai dan bertemu orangtuaku.

 

Tapi… sepertinya takdir berkata lain.

 

Senyumku lenyap, bahuku lemas, dan tatapan semangatku seketika berubah menjadi sendu saat aku sampai di depan rumah. Disana, di halaman rumahku, kulihat Ayah dan Bunda sedang memasukkan beberapa buku dan tumpukan kertas ke dalam kardus besar. Apa yang mereka lakukan? Apa yang Ayah dan Bunda lakukan pada koleksi novel dan tumpukan naskah buatanku? Aku membutuhkan semua itu untuk lomba cipta novel bulan depan!

 

“Ayah, Bunda..” lirihku membuat mereka menyadari kehadiranku.

 

Ayah dan Bunda tersenyum hangat menyapaku. Oh tidak, ini bukan saatnya memberiku senyuman indah itu!

 

“Kamu sudah pulang, Dhira.” Ucap Bunda sambil kembali memasukkan koleksi novelku ke dalam kardus, begitu pun dengan Ayah.

 

“Bunda, koleksi novelku—”

 

“Ayah akan membuangnya.” Sahut Ayah menyela ucapanku, membuat mataku semakin memanas. “Sudah Ayah bilang jangan membuang waktu dan tenagamu untuk hal seperti ini bukan? Kamu fokus belajar saja.”

 

“Tapi, A—”

 

“Jangan melawan, Nadhira. Novel-novel ini hanya jadi sampah di kamarmu.”

 

Apa? Apa aku tidak salah dengar? Sampah? Serpihan impianku itu Ayah sebut sampah?

 

“Kami tahu yang terbaik untukmu, sayang.” Ucapan Bunda membuat mataku tak hanya memanas, tapi juga berkaca-kaca. Aku mendongakkan kepalaku sejenak agar air mataku tidak jatuh. “Lagipula setelah lulus kuliah kamu akan bekerja di perusahaan Ayah, jadi jangan buang-buang waktu untuk membaca cerita fiksi seperti ini. Masih banyak yang harus kamu pelajari.”

 

“Ini hidupku!” bukan hanya Ayah dan Bunda, aku pun tidak percaya dengan bentakan yang keluar dari bibirku ini.

 

Kami terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Ayah menarik sebelah lenganku agar segera masuk ke rumah. Menghempasnya kasar sambil menatap tajam padaku. Ayah terlihat sangat marah.

 

“Apa yang kamu katakan tadi?!” tanya Ayah dengan tegas.

 

Aku melirik sekilas pada Bunda yang berdiri di samping Ayah, “A-aku.. aku hanya tidak suka kalau Ayah dan Bunda terlalu mengaturku. A-aku juga ingin menjalani hidupku sendiri.”

 

“Apa maksudmu?! Kami orangtuamu, Nadhira! Sudah jelas kami yang mengatur hidupmu!”

 

“Bukan begitu, Ayah. Hanya saja Ayah dan Bunda terlalu menge—”

 

“Ayah tidak mau dengar!” lagi, Ayah memotong ucapanku. “Jangan membantah lagi dan masuk ke kamarmu!”

 

Aku langsung berbalik pergi dan masuk ke kamarku. Duduk meringkuk di samping ranjang dengan air mata yang sudah mengalir membasahi kedua pipiku. Sakit. Ini sangat menyakitkan. Bukan karena Ayah menarik tanganku dengan kasar tadi, tapi karena Ayah sama sekali tidak mau mendengarkanku. Ayah selalu menyela ucapanku.

 

Aku masih terus menangis dengan isakan yang memilukan, mengabaikan Bunda yang berjalan masuk ke kamarku. Bunda duduk di tepi ranjang, mengusap puncak kepalaku dengan lembut.

 

“Sudah, berhenti menangis.” Ujar Bunda yang sama sekali tak bisa kuturuti, air mataku tak bisa berhenti mengalir. “Bunda dan Ayah melakukan semua ini demi masa depan kamu, Dhira. Kami hanya ingin kamu memiliki masa depan yang cerah. Kami hanya berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Jangan bersikap kekanakan dan minta maaflah pada Ayah nanti.”

 

Setelah itu, Bunda langsung pergi meninggalkanku. Seakan tidak terusik sedikitpun dengan tangisanku yang belum reda. Membuat aku hanya bisa tersenyum miris, dalam hati.

 

Apa yang Bunda katakan tadi? Ayah dan Bunda melakukan semua ini agar aku memiliki masa depan yang cerah? Hanya berusaha memberikan yang terbaik untukku?

 

Oh ayolah, jangan membuat aku tertawa. Kenapa Ayah dan Bunda selalu memilihkan yang terbaik untukku tanpa bertanya bagaimana perasaanku? Apa perasaanku tidak penting? Bukankah ke depannya, aku sendiri yang menjalani kehidupanku? Tapi, bagaimana bisa aku menjalani kehidupan masa depanku bila semua pilihan ini bukanlah keinginanku?

 

Ah sudahlah. Percuma saja, semuanya sia-sia. Tidak ada gunanya aku berkeluh kesah seperti ini, hanya membuat batinku semakin tersiksa.

 

Akhirnya, masih dengan air mata yang mengalir deras, masih dengan bibir kecilku yang bergetar mengeluarkan isakan, tangan kananku membuka laci nakas yang ada di dekatku. Menyambar sebuah benda yang sudah lama kusimpan. Sebuah pisau lipat.

 

Perlahan tapi pasti, aku mulai menggores dalam benda tajam itu pada lengan kiriku. Tepat dibagian urat nadi. Iya, aku menyerah. Benar-benar menyerah. Kebahagiaan, mimpi, dan hidupku. Aku menyerah pada semua itu.

 

Aku hanya berharap, semoga dikehidupan selanjutnya, Ayah dan Bunda tak hanya memikirkan yang terbaik untukku, tapi juga memikirkan bagaimana perasaanku.

 

-Tamat-

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Venus & Mars
3542      1276     9     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagungan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan...
KEANGKARAAN
679      447     2     
Short Story
Hitam kelabu menjadi pewarna yang sesuai dengan duniaku. Kepahitan menjadi penambah rasa yang tepat untuk hidupku. Dan iblis dengan topeng malaikat menjadi pemeran utama di kisahku.
HIRI
158      130     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?
Ending
5206      1355     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
AUNTUMN GARDENIA
150      130     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
Shane's Story
2508      979     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
DIAMNYA BAPAK
491      331     5     
Short Story
Kata Bapak padaku bahwa hidup itu ibarat senja, hadirnya selalu ada walau hanya sementara. Harus kutelusuri jejaknya dengan doa.
Let me be cruel
4181      2337     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
FORGIVE
2073      736     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
Sosok Ayah
907      504     3     
Short Story
Luisa sayang Ayah. Tapi kenapa Ayah seakan-akan tidak mengindahkan keberadaanku? Ayah, cobalah bicara dan menatap Luisa. (Cerpen)