Sinar matahari setidaknya mampu mengusir dingin yang menyelimuti Seoul pagi ini. Di tengah terpaan mentari pagi, seorang pemuda sudah terlihat rapi mengenakan seragamnya. Manik hitamnya kemudian melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Setelah memeriksa isi tasnya dan meyakinkan tidak ada yang tertinggal, pemuda itu menaiki sepedanya dan berangkat menuju sekolah.
“Ibu, aku berangkat!” teriak pemuda tersebut yang kemudian mulai mengayuh sepedanya meninggalkan halaman rumah.
Senyum manis tersungging saat udara dingin menerpa wajahnya saat ia mengayuh sepeda menuju rumah berpagar cokelat yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya. Sesekali anggukan sopan dan sapaan ramah dilayangkan pemuda tinggi dan manis itu pada para tetua di lingkungannya yang sedang menikmati matahari pagi. Kedua tangannya dengan cepat menarik tuas rem pada sepedanya begitu tiba di tempat tujuannya.
Suara omelan seorang wanita menjadi musik pagi harian yang Lee Yul dengar setiap kali sampai di depan rumah keluarga Kim. Tanpa perlu melihat, Yul tahu sosok yang sedang mengomel panjang lebar dalam bahasa Jepang dengan tempo cepat. Sosok wanita yang tengah berada di halaman sambil merapikan sepatu yang berantakan di halaman rumah, Nyonya dari keluarga Kim, Katrina Sawajiri.
Yul turun dari sepedanya, memarkirkan sebelum akhirnya memberikan sapaan pagi pada sosok wanita yang berusia lebih muda dari ibunya. Wanita yang tak lain adalah ibu dari gadis manis yang hendak ia jemput setiap harinya untuk berangkat bersama ke sekolah.
“Annyeonghaseyo Nyonya Kim,” sapa Yul dengan suara baritonenya yang hangat.
Sapaan Yul sontak membuat Katrina, wanita yang sedang mengomel dalam bahasa ibunya, menoleh dan langsung tersenyum ramah melihat pemuda manis yang menjadi sahabat putrinya, Hyori.
“Ah annyeonghaseyo. Rupanya kau sudah datang, Yul-a,”balasnya dengan bahasa Korea yang fasih.
Wanita itu kemudian melangkah mendekati gerbang, membuka gerbang. Lewat bahasa tubuhnya, Keiko mempersilakan Yul masuk ke dalam halaman rumahnya.
“Saya baru saja tiba. Apa Hyori sudah siap berangkat sekolah?”
“Oh tentu saja. Masuklah, Yul-a. Bibi akan memanggilnya agar ia segera turun,” ucapnya yang melangkah lebih dulu untuk masuk ke dalam rumah.
Yul hanya mengangguk dan memilih menunggu di halaman. Yul menunggu Hyori keluar dari rumah dengan memilih bermain bersama anjing peliharaan keluarga Hyori, yang sedang tertidur di kandang di halaman rumah. Anjing berjenis poodle berwarna putih salju itu tengah tidur. Yul mengusap lembut kepala mozart, poodle milik Hyori dan keluarganya.
Yul sedang asyik bermain dengan mozart yang terbangun ketika telinga lebarnya mendengar omelan dari dalam rumah di susul suara pintu yang terbuka dengan keras. Yul menoleh dan menemukan Hyori sedang menunduk sambil membuat simpul pada sepatunya.
“Kau ini selalu saja terburu-buru!”
Yul menghentikan kegiatannya bermain bersama mozart dan kini atensinya lebih suka tertuju pada Hyori yang sedang memutar kedua manik cokelat gelapnya. Yul mendengus melihat ekspresi kesal yang tercetak di wajah Hyori pagi ini.
“Kau melakukan hal ceroboh apa lagi, Hyori-ya ?” tanya Yul ketika Hyori menegakkan tubuhnya dan melangkah mendekati dirinya. Yul sudah terbiasa mendengar omelan dalam bahasa Jepang yang bercampur Inggris yang terjadi setiap pagi di rumah Hyori.
Tentu saja Yul sudah terbiasa, karena ia sudah mendengarnya sejak berusia sepuluh tahun. bahkan, Yul—di bantu Hyori— mulai fasih berbahasa asing. Itu sebabnya Yul bisa mengerti maksud omelan Ibu Hyori.
“Ibuku sedang mengomeli kakakku. Entah masalah apa yang dibuat Eonnie. Eonnie sudah membangunkan monster di pagi hari. Ayo Yul, kita berangkat sekarang sebelum telingamu semakin lebar mendengar omelan ibuku,” ajak Hyori sambil menarik lengan Yul dan melangkah bersisian keluar dari halaman rumah.
Yul terkekeh mendengar gerutuan Hyori. Hyori terlihat sangat manis di mata Yul jika sedang terlihat kesal seperti sekarang. Setelah memastikan Hyori duduk dengan benar di belakang sepedanya, Yulpun mulai mengayuh sepedanya menuju sekolah.
“Hyori-ya, sungguh aku tak keberatan mendengar omelan ibumu setiap hari seperti itu. Setidaknya, aku bisa memperbanyak kosakata bahasa Jepang dan bahasa Inggrisku melalui omelan ibumu,” goda Yul yang memfokuskan diri memperhatikan jalan di depan, meski sebenarnya Yul ingin sekali menoleh ke belakang melihat ekspresi yang tergambar di wajah manis Kim Hyori.
Hyori mendengus dan memukul pundak Yul sedikit keras karena Yul mengaduh sakit. Gadis itu terkekeh geli mendengar ucapan jahil Yul padanya. Pemuda tinggi ini tak pernah kehabisan akal untuk menemukan topik yang bisa digunakan untuk menggoda Hyori. Ya, Hyori tahu, Yul pasti selalu menertawakan dirinya karena tak seharipun Hyori lepas dari omelan ibunya yang terkenal sangat cerewet.
“Berhenti menggodaku seperti itu, Lee Yul! Kupastikan telingamu akan bertambah lebar jika setiap hari mendengar omelan ibuku. Kecepatannya dalam berbicara bisa mengalahkan kereta, tahu! Aku heran kenapa Ayah bisa bertemu orang secerewet Ibu.”
Yul lagi – lagi tertawa mendengar balasan Hyori. Yul merasa pendapat Hyori mengenai ibunya sangat salah. Satu – satunya yang bisa Yul nobatkan sebagai perempuan paling cerewet dalam hidupnya adalah gadis yang duduk di belakang sepedanya. Kim Hyori, adalah gadis paling cerewet mengalahkan kakak perempuannya—Lee Yuna dan ibunya.
Meski Hyori adalah gadis paling cerewet dalam hidupnya, nyatanya Lee Yul tak keberatan mendengar omelan atau cerita heboh Kim Hyori. Karena, Lee Yul sudah merasa candu terhadap segala sesuatu yang ada pada Kim Hyori. Gadis yang hingga saat ini masih setia menyandang status sebagai sahabatnya.
~🌛🌜~
Annyeong, perkenalkan namaku adalah Lee Yul. Saat ini aku seorang siswa kelas tiga sekolah menengah yang sedang sibuk menyiapkan diri mengikuti ujian masuk universitas yang akan terjadi musim dingin nanti. Doakan aku supaya berhasil melewati ujiannya ya!
Kalian bertanya-tanya, siapa gadis yang selalu pergi ke sekolah bersamaku setiap pagi? Maksud kalian gadis yang duduk sambil melingkarkan tangannya di pinggangku sekarang?
Namanya Kim Hyori. Namanya terdengar sangat Korea sekali ya? Ya, benar. Dia memang separuh Korea, seperempat Jepang dan seperempat Inggris. Oh? Kalian sudah mengenalnya? Baiklah aku tak akan membahasnya jika kalian sudah mengetahuinya.
Setiap pagi, sejak delapan tahun yang lalu, aku memang selalu berangkat ke sekolah bersama Kim Hyori. Tidak, aku tidak berteman dengannya sejak masih bayi. Kami bertemu dan memutuskan bersahabat ketika kami berusia sepuluh tahun. Aku memang bertetangga dengannya, lebih tepatnya mulai bertetangga sejak delapan tahun yang lalu saat keluarga Kim baru saja pindah dari Incheon ke Seoul.
Hyori sudah menceritakan pertemuan pertama kami, bukan? Ya, aku mulai berteman dengannya saat balas melempar mantra sihir hasil demam harry potter yang mewabah di seluruh dunia.
Sejak saat itu aku merasa nyaman berada di sisi Hyori. Kim Hyori, aku selalu menyukai apa yang ada pada dirinya. Suaranya, tawanya, senyumnya, lirikan matanya yang tajam, entah kenapa membuatku merasa candu, jika aku tak melihatnya sehari saja.
Ya, kalian benar. Bisa di bilang, aku selalu membuntuti kemanapun Hyori pergi. Tak bisa dijelaskan alasan pasti kenapa aku selalu berada di sekitar Hyori. Orangtua kami bahkan sudah saling mengenal karena terlalu seringnya kami menghabiskan waktu bersama.
What? Kalian bilang aku sepertinya menyukai Kim Hyori? Kalian gila!
Mana mungkin aku menyukai sahabatku sendiri. Demi apapun, aku memang candu dengan apapun yang sedang Hyori lakukan. Tapi, aku masih waras untuk tidak menyukai sahabatku sendiri. Ayolah, aku sudah delapan tahun bersahabat dengan Hyori, tak mungkin aku mau menghancurkan persahabatan kami. Kami seperti saling melengkapi.
Tapi, aku tak tahu pasti kapan tepatnya, ketika aku merasakan jantungku selalu berdegup dua kali lebih kencang saat berada di sisi Hyori. Aku selalu merasa gugup setiap kali manik cokelat muda itu menghujam tajam mataku. Aku selalu merasa gembira secara berlebihan setiap kali tangan mungil Hyori menggenggam tanganku.
Entahlah, aku tak tahu kenapa aku bisa merasakan hal seperti itu jika bersama Hyori. Aku tak ingin mencari tahu alasan di balik perasaan aneh yang kurasakan. Karena bagiku, yang terpenting saat ini adalah bisa bersama Hyori setiap hari, melewatkan waktu berbagi cerita entah itu tawa dan tangis, adalah hal yang patut kusyukuri saat ini.
Memiliki Hyori sebagai sahabatku, adalah hal paling berwarna dan indah yang pernah kumiliki dalam hidupku. Aku membutuhkan Kim Hyori seperti aku membutuhkan sinar matahari untuk menghangatkan tubuh di tengah cuaca dingin.
~🌛🌜~