Ra...” panggilan Kak Setya membuatku terkejut. Sejak kapan dia masuk ke kamar dan berbaring di kasurku?“
Kakak ih, masuk nggak bilang-bilang!” aku tentu saja protes dengannya.
“Kakak udah ketok pintu berkali-kali, udah manggil juga, tapi kamunya fokus. Dari tadi kakak diem aja di sini nunggu kamu siuman,” Kak Setya memainkan gulingku dan memeluknya. Aduh ini kakakku! Itu kan guling kesayangaku!
“Yeee... emang adek pingsan?” aku beranjak dari tempat dudukku dan ikut berbaring di samping kakak, merebut guling itu darinya, “adek kan lagi fokus-fokusnya belajar!”
“Mau ujian?” tanyanya
“Memang belajar itu kalau mau ujian doang?”
“Ibu sampai khawatir tuh, kok kamu rajin banget belajarnya, perasaan adek nggak bloon-bloon amat,” aku mencubit perut Kak Setya gemas.
“Keluarga kita itu ya, biasanya orang tua itu bingung supaya anaknya rajin belajar, eh ini malah bingung kenapa anaknya rajin belajar!” aku tertawa, memang kalau nggak aneh bukan keluarga Baskara namanya.
“Tapi kamu mah over, udah berapa kali coba kakak harus gedong kamu masuk karena ketiduran di mobil saat pulang sekolah? Kamu ngapain aja sih di sekolah? Atau kamu bergadang semalaman buat belajar?”
Aku hanya tersenyum penuh syukur. Beberapa hari ini aku ketiduran di mobil saat perjalanan pulang dari sekolahan. Kakak pun justru repot-repot menggendongku masuk alih-alih membangunkanku. Kasihan katanya. Romantis sekali kan dia?
“Di sekolah Nara latihan basket,” aku tersenyum. Walau memang hal itu melelahkan setelah belajar semalaman tapi aku sangat menyukainya. Aku mendapat energi lain saat menghabiskan waktuku untuk berolahraga bersama teman-temanku.
“Pantesan kamu minta dibikinin ring basket di halaman belakang. Tapi apa nggak capek setelah seharian belajar, main basket, eh di rumah masih belajar sama main basket lagi?” Kak Setya memiringkan tubuhnya agar bisa menatapku lebih jelas.
“Kan di sekolah nggak tiap hari basketnya,” elakku.
“Lagian kenapa sih ngoyo amat belajar sama basketnya?” tanya Kak Setya heran melihatku yang terkesan ngoyo, berlebihan atau dipaksakan melakukan hal itu.
“Kak Setya mah udah dasarnya pinter, adek mah pas-pasan kalau nggak belajar. Kakak pinter organisasi dan sosialisasi, adek sukanya basket, jadi paling nggak adek juga pinter basket,” gumamku pelan. Tiba-tiba saja saat berbaring di samping kakakku ini, rasa kantuk mulai menyerangku. Memang nyaman memang berada di sisi Kak Setya.
“Eh, kamu nggak usah banding-bandingin diri kamu sama kakak loh, kakak nggak suka kalau kamu memaksakan diri. Yang paling penting kamunya seneng, besok bisa lulus, dan nggak nyesel waktu SMA... kamu...” aku sudah tidak terlalu mendengarnya. Oh kakakku, ngomel aja kayak lagi bacain cerita sebelum bobo.
“Eh, malah udah merem dia...” Kak Setya terlihat gemas melihatku memeluknya. Dia kemudian turun dari tempat tidur dan memberiku selimut sebelum pergi dari kamar, “selamat malam adikku, jangan cepet-cepet ya gedenya, nanti kakak cemburu.”
⸙⸙⸙
“Dek, bangun!”
Aku hanya menggeliat pelan, ini hari Minggu dan aku berencana untuk hibernasi hari ini. Aku membuka mataku lalu melirik seklias ke arah jam meja dan terkejut.
“Oh My God, jam 11!” aku langsung duduk dan membuka mataku lebar-lebar.
“Baru nyadar?” Kak Setya membuka gorden kamar, membuat mataku tambah silau oleh teriknya sinar matahari yang menembus jendela kaca, “ada janji nggak hari ini?”
“Ehm, nggak ada, emang kenapa?”
“Kencan yuk?”
“Ha???” aku terkejut, “kakak nih, kan udah kuliah, temennya kan banyak, ngajak cewek kencanlah, masak sama adiknya! Kakak nggak minat puya pacar apa?”
“Kakak mau nonton serinya Marvel loh...” belum sempat kakak menyelesaikan ucapannya aku sudah berlari ke kamar mandi.
“Oke 30 menit!” teriakku. Aku tak akan melewatkannya kalau ini.
“Take your time Sis!” kata kakakku sebelum meninggalkan kamar.
Aku mengguyur tubuhku dengan air dingin agar terasa lebih segar. Niatku untuk hibernasi dan menghabiskan waktu di rumah pun jadi berantakan, namun melewatkan serial Marvel juga tidak menyenangkan. Aku sendiri heran, biasanya sebelum film tanyang, aku sudah merengek pada Kak Setya untuk membawaku ikut serta jika dia menonton. Tapi kali ini, aku bahkan sampai lupa kalau film itu release bulan ini, sudah lebih dari seminggu malah. Mungkin kata Kak Setya benar, aku terlalu memaksakan diriku.
Aku berbohong kalau tidak memikirkannya. Setelah kejadian kakak kelas waktu itu, aku berfikir sebenarnya apa yang salah dengan kehidupanku. Kenapa sejak SMP, kakak kelasku yang sempat merasakan satu sekolah dengan Kak Setya selalu menyempatkan diri untuk ‘melihatku’. Apa yang mereka pikirkan? Atau apa yang mereka bandingkan?
Tidak bisa dipungkiri, kenyataan bahwa Kak Setya merupakan bibit unggul membuatku terbebani. Tapi aku menepis hal tersebut, aku memilih beban itu kujadikan motivasi untuk melakukan yang terbaik dengan apa yang menjadi kesukaanku. Semenjak itulah, aku semakin rajin belajar, semakin sering latihan basket, dan semakin sering membaca buku. Bahkan Ibu dengan baik hati membelikan berapa pun buku bacaan saat ke toko buku. For your information, ibuku memiliki banyak sekali koleksi buku. Bahkan di rumah kami ada satu ruangan yang isinya buku semua. Keluarga kami memiliki anggaran buku, jika aku atau kakak tidak memiliki buku yang ingin di beli dalam satu bulan, maka ibu yang akan membeli buku keinginannya.
“Makan siang dulu anak-anak!” saat Ibu melihatku keluar dari kamar beliau sudah memberikan intruksi.
“Masak apa, Bu?” tanyaku sambil menarik kursi meja makan.
“Sop sama tempe goreng. Ibu lagi malas masak!” Ibu ikut duduk setelah mengambilkan nasi untuk ayah, kakak, aku dan dirinya sendiri.
“Ini mah nggak males!” aku melihat ada sambal juga, masakan kesukaan kami sebenarnya.
“Anak perempuan ayah rajin sekali ya, baru bangun,” gumam ayah pelan namun tegas.
“Tadi malem kebablasan belajarnya, Yah!” walau sikapku salah, aku berkata jujur.
“Bukankan lebih baik kamu tidur awal dan bangun lebih pagi?” aku mengangguk, mengiyakan kalimat ayah, “kamu bahkan sampai nggak tahu kalau ring basketnya udah dipasang dari tadi pagi.”
“Benarkah?!”
“Duduk!” perintah Ayah, tegas. Tanpa aku sadari aku langsung berdiri dan menoleh ke halaman belakang. Aku sampai lupa kalau aku sedang makan. Aku buru-buru meminta maaf.
“Terima kasih Ayah, Ibu!” aku memeluk lengan ayah yang duduk sampingku.
“Kakak?” Kak Setya protes. Aku hanya nyengir sambil menatapnya jahil. Kami lalu melanjutkan makan siang sebelum berangkat ke bioskop untuk nonton
Next