"Pokoknya kalau kena marah, Kakak yang tanggung jawab!" aku berlari meninggalkannya dan menyelinap di sela-sela motor yang ada di parkiran. Kami baru sampai sekolah lagi pukul 10.00. Sudah ganti jam pelajaran dan otomatis aku juga telat untuk mengikuti pelajaran sejarah. Pak Tanto memang guru yang menyenangkan tapi bukan berarti beliau pengertian. Pelajarannya enak untuk dimengerti namun disiplinnya paling galak.
Aku menenangkan nafasku sebelum mengetuk pintu kelas. Aku baru saja mengangkat tanganku ketika suara Pak Tanto mengagetkanku, "Kamu dari mana Kin?"
"Akh Bapak! Saya kaget!" aku mengelus dadaku pelan.
"Dari mana?"
"Tadi nganter kakak kelas buat beliin baju seragam Pak. Saya yang ngerusakkin," kataku jujur.
"Kan di BK ada ganti, Kin?" Pak Tanto masih penasaran saja nih. Kan jadi tambah telat pelajaran nanti.
"Nggak muat Pak, kakak kelasnya segede Hulk!"
"Kok baru jam segini balik Kin?" Pak Tanto masih juga belum selesai bertanya, aku mulai panik.
"Nunggu tokonya buka dulu Pak! Aduh Pak, saya mau masuk kelas ini, nanti tambah telat lagi. Bapak nih pertanyaannya banyak!" aku akhirnya protes juga.
"Ye, suka-suka Bapak kan Kin, ini kan kelas Bapak!" Pak Tanto mendahuluiku membuka pintu kelas.
"Eh! Iya ya!" Pak Tanto hanya tertawa mendapati otakku yang sedikit selip karena panik. Aku mengekorinya kemudian berlari ke arah tempat duduk. Aku menghempaskan tubuhku pelan dan menghela nafas panjang.
"Kok lo lama sekali sih?"
"Nunggu tokonya buka Giani."
"Terus sambil nunggu kalian ngapain?" Giani masih terus memepetku dengan pertanyaanya. Ih anak ini keterlaluan keponya.
"Kenapa kalian tidak cerita di depan saja menggantikan Bapak di sini? Giani? Kinkin?" tiba-tiba saja teman-temanku tertawa mendengar sebutan untukku. Kinkin? Aduh Pak saya nggak ngefans tu sama Tintin!
"Maaf, Pak!" teriak kami berbarengan. Aku menyenggol bahu Giani, menyuruhnya untuk bersabar. Namun dasar temenku yang satu ini terlalu gatal hingga dia menuliskan banyak sekali pertanyaan di belakang buku catatannya. Aku mendengus pelan dan tegas berucap, "nanti!"
Tapi siapa yang tahu kalau kata 'nanti' itu entah sampai kapan akan terjawab.
Saat bel istirahat berbunyi dan begitu Pak Tanto pergi meningglkan kelas, segerombolan anak kelas dua belas sudah menungguku di depan kelas. Ya, mereka mencariku, tepatnya ingin tau tentang diriku. Salah seorang temanku sedang berbicara dengan mereka dan tidak lama kemudian dia menghampiriku.
"Lo di cari tuh!" aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih padanya.
"Jangan bilang gue bakal kena bully, Gin," aku berbisik pada Giani sebelum beranjak untuk menjawab panggilan kakak kelas yang mayoritas cewek itu. Ada sekitar tujuh orang dan tiga di antaranya laki-laki. Mereka bertiga hanya berdiri di barisan paling belakang bak pengawal ratu kerajaan. Aku mengernyitkan dahi, drama apa ini? Klise sekali. Masak iya jaman sekarang masih ada perundungan model kayak gini?
"Lo adiknya Setya?" tanya Hera, itu yang aku lihat di bedge namanya dan sialnya, dia adalah cewek resek tadi pagi. Tapi kenapa yang ditanyain bukan Kak Bian melainkan Kak Setya?
"Iya, ada apa Kak?" tanyaku, berusaha berfikiran sepositif mungkin.
"Gue cuma pengen tau aja kok, seberapa hebatnya adik Setya itu!" dia melihatku dari atas sampai bawah. Bukannya tadi pagi sudah lihat ya?
Ehm, sepertinya hidupku pun tidak akan tenang.
Seperti yang sudah-sudah. Ini alasan terbesar aku menolak untuk sekolah di sekolah Kak Setya. Dari sekolah dasar sampai saat ini, aku satu alamater dengan kakakku. Waktu kami ada di sekolah dasar, kebersamaan itu memang menyenangkan. Tapi semenjak aku masuk SMP yang sama dengan kakakku, aku mulai dilanda hormon pubertas yang menyebalkan. Tidak bisa dipungkiri kami selalu dibading-bandingkan namun yang lebih menyebalkan adalah sikap protektif yang dimiliki Kak Setya. Kakakku satu itu menjadikanku sebagai tameng hidup abadinya. Dia selalu membanggakanku dan menyebut-nyebutku hingga dia juga terkenal dengan jomlo yang terkena sister complex. Dua kombinasi yang sulit untuk ditembus pertahanannya.
"Oh, iya boleh kenalan kok, Kak. Saya suka memiliki banyak teman."
"Teman?" Hera menaikkan sebelah alisnya. Oh, bukan pertanda baik. Apa dia salah satu orang yang pernah ditolak oleh Kak Setya?
"Mungkin, kalau tidak keberatan?" aku menaikkan pundakku sambil nyengir.
"Lo kira gue ke sini cuma mau temenan sama elo?” dia kembali menatapku dari atas ke bawah, “elo nggak sesuai ekspektasi gue, lo B aja." keluhnya.
“B? Oke fine! It’s okay to think like that!” jawabku asal. Gue juga sekolah di sini bukan untuk memenuhi ekspektasinya itu.
“Biasa aja kalau ngomong!” bentak teman satunya.
“Maaf, tapi sebenarnya apa yang ingin kakak sampaikan. Mau A, B, atau C bagi saya itu tidak penting karena itu tidak akan mengubah fakta kalau saya adalah adik Setya. Harapan anda mungkin tinggi tapi apa urusan saya? Toh dia kakak saya," aku hanya berbicara fakta dan ingin mengakhiri pembicaraan tidak penting ini secepat mungkin.
Giani yang tanpa aku sadari berdiri di samping pintu menarik bajuku pelan. Mengingatkanku untuk menjaga emosiku.
"Lo..." Hera mengela nafas, "setidaknya lo mirip dalam satu hal. Sama-sama berengsek mulut dan kelakuannya!" Hera kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan kelasku. Sebelum dia menjauh aku sempat berteriak.
"What..." aku hendak berteriak memakinya namun Giani menghentikanku.
"Kinara!" Giani sampai memukul bahuku.
“Aw! Sakit tau! Enak aja mereka mau melampiaskan kekesalan mereka ke gue? Mereka pikir gue samsak apa!” aku mengelus bahuku yang terasa panas. Dulu waktu SMP aku diam saja jika menghadapi kejadian seperti ini. Tapi semenjak masuk SMA, hormon puberku tidak membiarkanku untuk mengalah begitu saja. Perubahan partikel dalam diriku membuatku mengenal dan paham artinya harga diri melebihi kadar umum anak-anak lainnya. Aku akui, jiwaku lebih bebas dan meledak-ledak.
"Biar bagaimanapun juga dia lebih tua darimu dan ingat! Dia kakak kelas kita yang gila hormat. Lo nggak mau kan suruh hormat sama dia!" peringatan Giani ini sedikit ambigu.
"Lo sebenarnya niat memperingatkan gue atau ikutan jelekin dia sih! Ambigu amat!" aku ikut protes.
"Dia dulu yang ngejar-ngejar Setya," aku menoleh saat mendengar suara Kak Ical.
"Kak Icaaallll!" aku sudah siap-siap berlari ke arahnya saat tangannya memegang kepalaku untuk memberikan jarak antara kami berdua. Sebenarnya kami sudah lama kenal karena Kak Ical cukup dekat dengan Kak Setya sehingga tidak hanya satu atau dua kali Kak Ical ke rumah. Kak Ical ini termasuk salah satu tamengku saat dijahili oleh Kak Setya.
"Jangan deket-deket kalau di sekolah. Malu-maluin!" dia mendorong kepalaku hingga aku terdorong dua langkah kebelakang untuk menyeimbangkan tubuhku.
"Ih jangan jual mahal!" aku berjalan mendekatinya dan mengamit lengan kirinya.
"Lama-lama gue muntah liat kalian berdua." Giani berjalan untuk mendahului kami ke kantin.
"Jangan cemburu lah Gin," Kak Ical sempat menarik lengan Giani dan menaruhnya di lengan kanannya, "ah kalau gini kan gue ngerasa punya dua dayang."
"Enak aja!" kami sontak menarik tangan kami dari lengan Kak Ical.
"Gue penasaran deh kak, emang Kak Setya itu gimana sih?" tanya Giani kemudian.
"Jangan nanya, gue ogah kalau lo juga seneng sama Kak Setya!" aku mengingatkan.
"Ya idaman semua cewek. Tampan, mapan, cerdas, gampang juga bergaul. Tapi susah sekali didekatin. Ini nih, masalahnya ini!" Kak Ical menunjuk-nunjukan jarinya padaku. Aku dengan siaga menangkapnya dan langsung menggigitnya, "Akh!"
"Elo ya! Udah gede kenapa nggak jinak-jinak sih!" Kak Ical mengusap tangannya sambil melanjutkan dongengnya, "Kak Setya selalu membandingkan apa pun dengan adiknya. Dikit-dikit Nara, Nara dan Nara. Kalau lo nggak percaya, lo bisa nanya Nara berapa kali dia nanyain kabar kalau lagi nggak barengan. Pokoknya dia the worst lah di sini reputasinya kalau masalah cewek."
“Terus cewek tadi, Kak Hera, dia diapain sama Kak Setya?” biasanya aku tidak pernah tertarik dengan kehidupan Kak Setya di sekolah. Namun, sepertinya kali ini lain. Aku harus tau detailnya agar aku bisa menghadapi gelanggang permainan ini dengan selamat. Firasatku sudah tidak enak sejak melihatnya tadi pagi. Aku mengira dia menyukai Kak Bian hingga dia tidak menyukai keberadaanku di sisinya. Jika dia juga memiliki sejarah dengan Kak Setya, tentu akan ada aliran dendam yang pada akhirnya akan sampai juga padaku ke depannya.
"Lo harus hati-hati Ra, " bukannya memberitahuku Kak Ical justru memperingatkanku.
"Kenapa?"
"Lo bakalan jadi sasaran. Baik karena penasaran atau karena iri. Apalagi elo tadi pagi pergi sama anaknya yang punya yayasan. Lo bakal jadi artis dadakan!" Kak Ical memegang kedua bahuku dengan ekspresi serius. Dia menunjukan simpati yang berlebihan.
"What!" aku hampir saja tersedak, “kebanyakan ntn ftv nih! Ngaco aja, mana ada sampai kayak gitu!”
“Iya sih. Kalau orangnya elo sih kayaknya nggak papa. Elo kan sama kayak Kak Setya. Otot kawat balung wesi nggak punya hati.”
“Ye, mana ada Gatotkaca secantik gue!” aku mengibaskan rambut pendekku saat disamakan dengan tokoh pewayangan itu.
“Helo, ini bukan saatnya bahas Gatotkaca! Tadi gue nggak salah dengerkan? Orang yang dicelakakan Nara tadi pagi anaknya yang punya yayasan!?” Giani melotot pada kami berdua.
"Nggak usah sekaget itu, dia bukan yang paling kaya di sini!" timpal Kak Ical tidak peduli.
"Ah duit jajan gue sebulan!" aku jadi ingat struk belanjaanku tadi pagi. Aku lalu menaruh kepalaku di atas meja dengan penuh penyesalan.
"Lo kenapa? Kok tiba-tiba pindah topik ke duit jajan?" tanya Kak Ical penasaran.
"Gue dengan gagahnya beliin dia baju paling mahal dan pakai nyombong lagi! And what the hell! Dia uangnya lebih banyak dari gue! Kan guenya yang rugi! Akh ini azab sesungguhnya di dunia nyata!" aku kembali mengerang dan membuat dua orang di hadapanku ini menggelangkan kepala pasrah. Mereka benar-benar tidak mengerti jalan pikiranku.
“Eh, ini gimana sih ceritanya! Kok bahasanya nggak jelas gini!” Giani kesal
Aku hanya terkekeh melihat kejengkelan Giani. Pertama, aku tidak terlalu tertarik dengan sejarah cerita Kak Setya dan Hera. Kedua, aku juga tidak peduli jika Hera yang menyukai Kak Bian itu tidak menyukaiku karena acara tadi pagi. Aku tidak ingin membebani pikiranku dengan dua hal yang bukan menjadi urusanku.
Setidaknya untuk saat ini.
Next!