Aku masih menggaruk-garuk kepalaku yang tiba-tiba terasa gatal. Pintu kelas duabelas IPA masih tertutup rapat, keberanianku tiba-tiba menghilang sesampainya di depan kelas. Ya, walau aku bukan sepenuhnya pengecut tapi aku tidak ingin menjadi bintang dadakan sekolah karena masuk ke kelas kakak tingkat.
“Ngapain lo di situ?”
“Akh!” aku langsung menutup mulutku sendiri dan menoleh ke belakang. Aku memukul bahunya tanda protes. Kak Ical, ia adalah kakak kelas yang sering mendampingi kami latihan basket di sela sibuknya persiapan ujian. Ah Tuhan memberikan pertolongannya padaku!
“Ngagetin aja... kakak telat?” aku berbisik.
“Enak aja, gue dari ruang guru ambil buku tugas nih!” dia menyodorkan bukunya di hadapanku. Aku mengangguk mengerti, “bukain pintunya!” perintahnya.
“Aku??”
“Iyalah masak tuyul! Cepetan, berat nih!” dia sudah protes.
“Iya, bawel amat sih!”
“Nggak lebih bawel daripada kakak lo! Cepetan!” aku hanya mengangguk membenarkan dan membuka pintu kelas. Walaupun aku sebal namun aku juga beruntung mendapatkan pertolongan. Ada yang menemaniku masuk kelas dan aku mengenalnya.
“Uiiihhhhh, siapa nih Cal?”
“Anak kelas mana eh!”
“Ical lo nemu di mana nih cewek!”
Seisi kelas langsung heboh saat melihat Kak Ical masuk bersamaku. Kak Ical berhenti dan menoleh kepadaku, wajahnya terlipat saat menatapku mengekorinya, “lo ngapain ikutan masuk?”
“Eh?”
“Ada yang salah kelas kah?” Bu Hermi, guru bahasa Indonesia itu menoleh padaku. Aku cepat-cepat mendekatinya.
“I..i..ini Bu, saya menyerahkan ini,” aku mengulurkan surat izin meninggalkan pelajaran itu kepada Bu Hermi.
“Kok ada di kamu?”
“Saya dimintai tolong untuk mengambilkan jaket dan tas Kak Bian.” aku menunduk saat mendengar kelas tiba-tiba gaduh oleh teriakan dari berbagi sudut.
“Sudah-sudah...” Bu Hermi mencoba menenangkan kericuhan. Aku hanya bisa merapatkan diri ke arah Kak Ical yang berdiri di sampingku untuk mencari perlindungan. Tapi bukannya memberikan punggungnya, ia justru meletakan buku yang masih ia bawa ke atas meja dan berjalan ke arah tempat duduk. Meninggalkan ku sendirian seperti napi tahanan di hadapan teman-teman sekelasnya.
“Kenapa tidak diambil sendiri?” aku menggaruk kepalaku yang lagi-lagi tanpa alasan terasa gatal.
“Tadi Bian ketumpahan soda yang dia beli karena anak ini, Bu!” seseorang yang suaranya terdengar familiar menyahut dari sudut kelas. Tatapan mata kami bertemu, dialah cewek resek yang tadi ikut campur urusanku dan Kak Bian. Ternyata dia teman sekelasnya.
“Kak Bian ada di ruang BK sekarang, Bu. Bajunya basah,” terangku sambil mengabaikan tatapan mata tak suka yang dihujamkan cewek itu padaku.
Kak Ical sudah berdiri lagi di sampingku sambil menyerahkan tas dan jaket yang mungkin milik Bian. Dia menyodorkannya sembarangan ke arahku, “Nih, punya Bian! Lagian lo pagi-pagi udah bikin masalah aja!” omelnya.
“Diem...” bisikku jengkel.
“Sudah-sudah. Kalian ini!” Bu Hermi melerai kami, “baiklah. Hati-hati perginya.”
“Saya permisi, Bu.”
“Eh kok langsungan. Hey! Pacarnya Bian kan ya?”
“Kenalan dulu sini, jangan keluar dulu!”
“Sana cepetan keluar!” Kak Ical buru-buru mengusirku, aku masih sempat mendengar suaranya saat aku sudah sampai di luar kelas, “kalau mau kenalan sama dia kalian harus kuat denger ocehannya Setya! Dia adiknya Setya! Ya Setya yang itu!” tiba-tiba kelas yang tadinya gemuruh berubah menjadi hening.
Ehm, ada apa dengan Kak Setya? Ah itu bisa dipikir nanti-nanti. Aku harus segera ke kelasku dan menyerahkan surat izinku sebelum laki-laki yang menungguku di kantor BK itu bawel.
“Jangan lama-lama, ini masih jam sekolah. Kalau ada apa-apa hubungi sekolah secepatnya.” Aku mengangguk mendengar nasehat Pak Kholis sebelum meninggalkan ruang kelas. Aku hanya mengambil dompet dan jaketku lalu berjalan secepat mungkin ke arah ruang BK.
“Ini...”
“Lama amat sih?”
“Kakak nggak tau sih rasanya bertahan di kandang monyet!” aku menyodorkan tas dan jaketnya kesal.
“Eh kok monyet? Gue bilangin temen-temen gue loh!”
“Ngadu aja sana!” aku memakai jaketku sendiri lantas menimpalinya lagi, “Ya iya monyet, berisiknya nggak ketulungan. Kalau macan mah mau memangsa korbannya nggak perlu pakai berisik langsung hap!” aku tiba-tiba merasa malu saat memperagakan adegan ‘hap’ itu karena Kak Bian sedang melihatku sambil menahan tawanya.
“Jadi nggak?” kilahku.
“Kami pamit ya, Bu!” Kak Bian sudah membuka pintu ruang BK.
“Kalian jangan lama-lama dan jangan berantem di jalan! Bahaya!” aku mengangguk saat menerima nasehat dari Bu Tata.
“Kak Bian,” aku memanggil laki-laki yang berjalan dua langkah di hadapanku ini.
“Apa?”
“Kita ke mana? Jauh nggak?”
“Nggak banget tapi lumayan, kenapa?” Kak Bian menoleh ke arahku tepat saat kami berdua berhenti di parkiran motor siswa.
“Aku nggak ada helem.”
“Oh!” aku melihat Kak Bian berjalan keliling lapangan parkir dan mengambil salah satu helem dari motor seseorang. Aku memperhatikan motor itu. Motor Kak Ical, “pakai ini aja, nanti tinggal bilang ke Ical, lo punya nomornya kan?” aku cepat mengangguk dan naik ke atas motor matic milik Kak Bian.
“Bukannya gue modus, tapi kalau lo pengen aman lebih baik pegangan. Nih, bisa pengangan tas gue,” Kak Bian sengaja menggendong tasnya hingga ada batas antara aku dan dia. Hmm, cukup punya manner juga nih cowok. Aku setuju dan memegang tasnya.
Jalanan masih sepi, lokasi sekolah yang sedikit dekat dengan pengunungan membuat pemukiman yang ada di sekitarnya masih sangat jarang. Hanya satu dua kendaraan yang lewat, wilayah ini masih didominasi oleh pertanian dan perkebunan sehingga banyak penduduk sekitar yang masih bertani dan berternak. Jadi aktivitasnya masih sangat berbeda dari hinggar-binggar kota.
Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan yang berarti antara kami. Aku sibuk mengamati suasana pagi yang sangat jarang aku rasakan dan Kak Bian fokus ke jalanan. Tiba-tiba motor yang kami kendarai berhenti di salah satu warung angkringan di pertigaan jalan sebelum mengarah ke kota.
“Kok berhenti?” walau aku ikut turun namun tetap protes bertanya.
“Jam segini mana ada toko baju buka Neng, mikir dong! Sambil nunggu kita sarapan dulu, ayo, gue yang tlaktir!” aku melongo menatap Kak Bian yang sudah masuk ke tenda angkirngan itu.
“Jangan bilang lo nggak level makan di tempat kayak gini?” dia melongokkan kepalanya dari balik tenda.
“Ehh, bukan gitu, tapi kan... tapiii...” aku buru-buru melepas helem dan berlari menyusulnya masuk.
“Ambil apa gih sesuka lo, minumnya juga...” dia memerintahku lantas melihat ke arah bapak-bapak yang sedang mengamati kami berdua dengan heran, “Pakde, saya Es Tape ya?”
“Kok pesen es sih!” aku melotot protes padanya. Ini masih pagi dan cuaca cukup dingin untuk menikmati segelas es.
“Bawel!” Kak Bian jusru menjulurkan lidahnya.
“Kok pagi-pagi udah ke sini Nak? Bolos?”
“Ye Pakde enak aja, ini saya harus belaja ke kota, belum buka Pakde tokonya jam segini.” Kak Bian mencomot beberapa gorengan dan aneka sate yang ada di depannya.
“Dek pesen apa? Cepetan gih biar sekalian...”
“Su..su...susu jahe...panas...” aku keget saat Kak Bian memanggilku dengan sebutan adek.
“Nggak makan?”
“Tadi udah sarapan.”
Aku melihat Kak Bian mengambil beberapa gorengan lagi dan menyodorkannya ke arah penjual angkringan itu, “Dibakar ya Pakde, saya di bawah.”
Bawah? Aku mengikuti langkah Kak Bian menuruni tangga yang terbuat dari semen jembatan yang sangat padat. Pertigaan ini dekat sekali dengan aliran sungai dan terdapat semacam dam atau bendungan air. Terdapat beberapa terasiring yang dibuat pemanen dengan tujuan sebagai bangunan yang penahan banjir. Aku mengikuti Kak Bian dan duduk di salah satu pinggiran teras. Dari sana kita bisa dengan jelas melihat aliran sungai yang mengalir bening. Tidak terlalu deras debit airnya namun cukup untuk membuat air terjun buatan dari dam itu mengalir indah.
“Ngadem dulu di sini.” Kak Bian tersenyum sambil menatap aliran sungai yang masih diterangi oleh mentari pagi. Dingin sekaligus hangat. Aku ikut duduk di sampingnya.
“Cantik.” gumamku pelan.
“Lo bukan lagi nyombong kan?” Kak Bian menatapku sambil mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum namun hanya sebagian saja. Senyum yang aneh.
“Pemandangannya, Kak!” entah kenapa aku memalingkan wajahku ditatap seperti itu, “oh iya! Apa maksudnya nih? Tadi adek-adek sekarang lo gue lagi?”
“Lo senengnya dipanggil apa?” aku menatapnya tajam.
“Are you player?” selidikku.
“Enak aja!” dia menoel kepalaku dengan telunjuknya, membuat hatiku berdesir aneh untuk pertama kalinya. Dia laki-laki pertama selain keluargaku yang menyentuh kepalaku. Tiba-tiba saja aku tidak berani menatap wajahnya. Ada rasa takut yang merembes perlahan ke dalam hatiku.
“Kakak sering ya ke sini?” aku bertanya mengalihkan perhatian.
“Iya, seneng aja suasannya, kapan-kapan kalau ada kesempatan dan lo mau, kita ke sini lagi,” dia kembali tersenyum, senyum aneh itu lagi.
“Kakak yang bayar ya?” aku ikut tersenyum saat aku sembunyi-sembunyi menatap matanya yang berbinar cerah.
“Lo udah mulai pandai merampok orang nih, tunggu aja, ntar gue pilih baju yang paling mahal!” Kak Bian lalu mengeluarkan benda pipih dari saku celananya dan memutar lagu yang membuat suasana yang sudah hangat oleh sinar mentari pagi itu terasa lebih lembut dari biasanya.
Aku tersenyum dan padanganku jatuh pada kaki Kak Bian yang dibalut sneker merah dengan seksama. Dia menggoyang-goyangkannya maju mundur seiring irama lagu yang dia nyalakan. Irama lagu yang dengan anehnya juga membuat hatiku bergerak seperti air di atas daun talas. Tidak ada kepastian yang bisa menjelaskannya.
Dalam keheningan, aku merekam dengan jelas sosoknya pagi itu.
Senyum anehnya, jaket kulit hitamnya, snekers merahnya, dan lagu yang mengalun lembut sempurna merajut ingatan pagi itu tanpa ada sedikit pun yang terlewatkan
Rajutan ingatan masa muda yang berharga.
Next!