“Please Mas, nggak bisa dong, cewek itu lepas tangan gitu aja. Paling nggak dia bantu fixing bug, lah!” serbu Fika tak terima ketika mengetahui hanya dirinya dan ketiga rekannya yang harus memastikan ulang skema penghitungan harga. Mereka berempat akan lembur malam ini, sementara orang yang seharusnya merasa bertanggung jawab bisa pulang dan asik tidur di rumah.
“Lo aja yang bilang ke Mas Yudi,” jawab Anton, menyebut nama CEO mereka. “Gue nggak mau cari gara-gara ya, Fik.”
“Ya kalau Mas memang nggak mau ngomong ke Mas Yudi, setidaknya waktu review kerjaan Mas lebih tegas, lah,” balas Fika tidak terima.
“Gue sudah pernah nyobain, Fik,” desis Anton, berusaha menahan bicaranya tetap pelan. “Gue sudah nyoba dan hasilnya malah gue dapat SP.” Anton mengacak rambutnya. Dia pun merasa kesal, karena hal ini. Tetapi apa yang bisa dia lakukan kalau CEO-nya sendiri yang membuat kondisi menjadi tidak nyaman seperti ini?
Fika menghela nafas, mencoba menetralisir emosinya. Dia jelas tidak bisa semudah itu menerima sisi subjektif perusahaannya ini. Tetapi apa yang bisa dia lakukan, kalau sampai sekarang dia masih membutuhkan gaji dari tempat ini? Dia sendiri masih memiliki waktu lima bulan untuk menghabiskan kontraknya. Dia tidak mungkin membuat waktu yang telah dihabiskan di sini menjadi sia-sia hanya karena satu orang saja.
“Entah apa yang bakal terjadi di masa depan, Mas. Yang jelas gue nggak akan biarin dia terus-terusan di atas awan. Kalau memang gue harus ngejatuhin dia, gue akan lakuin itu sehalus mungkin," tekad Fika sebelum berlalu meninggalkan Anton.
***
Fika menatap layar laptopnya serius. Sesekali dia menatap layar monitor ekstensi, memastikan setiap yang ditampilkan telah sesuai seharusnya. Sudah beberapa jam dia menghabiskan waktu untuk berkoordinasi dengan tim operasional tentang kondisi transaksi saat ini. Mereka mengabarkan ada beberapa transaksi yang masih bermasalah, dan tugas Fika lah untuk memastikan penyebab masalah pada transaksi tersebut berdasarkan log history yang tersimpan.
Ponsel Fika bergetar disusul tampilan notifikasi sosial medianya di layar laptop. Renata mengirimkan foto perempuan yang tengah membuatnya kesal, kini tengah kencan dengan kekasihnya. Tanpa sadar dia mendengus membandingkan kondisinya dan beberapa rekan satu timnya yang lain. Sungguh adil, ketika yang lain harus lembur untuk memastikan transaksi-transaksi bermasalah, si adik CEO malah asik berkencan.
"Mamanya Mas Yudi dulu kesambet apa, sih? Bisa-bisanya punya adik nggak jelas gitu," gerutu Fika sebelum menutup kembali halaman sosial medianya. Perempuan itu kembali berusaha memfokuskan pikiran ke deretan tulisan di hadapannya, meskipun sesekali perasaan dongkol kembali mengalihkannya.
Merasa usahanya untuk kembali fokus sia-sia, Fika memutuskan membuka halaman percakapan dirinya dengan pegawai operasional yang sejak tadi bertukar pesan dengannya.
Fika Kartika Putri:
Ada lagi yg perlu dicek? Gw udah butek nih
Mbak Ops Cantik:
Masih ada sepuluh transaksi sih. Kak Fika istirahat dulu gapapa. Nanti gue kasih list id nya
Fika Kartika Putri:
Woke. Thanks Mbak
Fika menatap jam di sudut bawah laptopnya. Sudah jam sembilan malam, yang berarti sudah dua belas jam dia di kantor. Wajar saja dia merasa seluruh tubuhnya pegal. Dia memutuskan menyeduh kopi sejenak di ruang istirahat sebelum mengendarai mobil pulang ke rumah.
Fika merogoh ponselnya yang bergetar. Tanpa sadar dia mendengus membaca pesan dari sahabatnya. Walau kalem begitu, saat merasa diserang, Renata akan menunjukkan sisi jutek yang kadang juga membuatnya heran.
Renata Syantik:
Anak buah gue barusan diancem sama tuan putri. Enaknya diapain nih? Lo ada ide?
Fika mengembalikan ponsel tanpa membalas pesan Renata. Kepalanya sibuk berkelana, memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan kepada perempuan itu.
***
Berkat semalaman memikirkan bagaimana menghadapi Nona Besar Maia, Fika malah kurang tidur. Akibatnya, pagi ini kepalanya terasa berputar-putar. Fika mengerang sejenak, mencoba mengumpulkan kesadaran. Sudut matanya melirik jam digital di atas nakas. Masih jam tujuh pagi. Dia punya dua jam sebelum jam kantor dimulai.
Fika memasang bando tebal kesukaannya sebelum melangkah ke kamar mandi untuk membasuh muka. Merasa sudah cukup segar, perempuan itu melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sebagai seorang yang tinggal seorang diri, roti bakar dan kopi instan adalah teman setianya setiap pagi. Bisa dibilang dua hal itu adalah konsumsi rutin Fika jika sedang di apartemen.
Setelah menyelesaikan membuat sarapan, Fika melangkah ke sofa ruang tengah yang juga dia fungsikan sebagai tempat makan. Sebelah alisnya terangkat ketika mendengar ponselnya terus bergetar, seolah tanpa jeda. Sepertinya ada berita yang menghebohkan. Fika menebak isinya laporan bug baru, mengingat mereka sedang menghadapi beberapa masalah belakangan ini. Dengan malas perempuan itu mengambil ponselnya. Keningnya berkerut ketika mendapati grup internal timnya memiliki jumlah pesan yang terus bertambah. Di sisi lain, grup timnya dengan tim operasional—tempat kedua tim itu berkoordinasi—tampak sepi. Fika menyesap kopinya sebelum memencet kolom percakapan tim internalnya. Tanpa sadar dia menyemburkan kopi yang belum benar-benar habis tertelan kala membaca kalimat pertama yang muncul.
Mas Anton:
Gue minggu depan last day yak!