"Kok bisa sih, ada bug gini nggak ada yang sadar? Hitungan harganya belum masukin platform fee, jadi kita nggak laba. Ini masuknya critical lho!" Fika membanting asal ponselnya ke atas meja. Renata yang melihat kekesalan sahabatnya meringis, berharap ponsel berlogo apel digigit itu masih sanggup beroperasi dengan baik. "Lo sadar nggak sih, ada bug kayak gini?"
Renata yang mendadak ditodong hanya menghela napas panjang sebelum menggeleng pasrah. "Anak buah gue emang kadang rada sableng. Sudah gue kasih checklist buat mastiin testing-nya, tetep aja asal-asalan."
Fika mendengus kesal. Baru saja Mas Anton, leader-nya menghubungi karena mendapat laporan tim keuangan mengenai kesalahan ini. Masalahnya, ini sudah awal bulan April, sementara berdasarkan laporan, masalah ini sudah sejak pertengahan bulan Maret. Bayangkan berapa banyak kerugian perusahaan akibat kejadian ini!
"Emang siapa sih yang ngerjain fiturnya? Kok Mas Anton hubungi lo?"
Fika mengecek Jira dan berdecak kesal. “Nona Maha Benar.” Fika melirik sudut ruangan kantor, menemukan perempuan yang dimaksud tengah sibuk bergosip dengan beberapa teman akrabnya. Sementara dirinya dibuat pusing karena mendengar ocehan leader-nya, bisa-bisanya si pembuat masalah malah asik bergosip?
“Ya sudah sih, Mas Anton juga pasti malas kalau harus hubungi Maia,” jawab Renata, menyebut nama perempuan yang Fika maksud. “Nggak bakal kelar juga, meskipun sudah nangis darah. Terima nasib aja lo.”
“Please ya, Ren. Gue sudah lembur hampir full seminggu ini. Masa setiap ada masalah gue yang kena imbas, sih? Di tim transaksi ini developer-nya ada lima orang lho, kalau nggak masukin Mas Anton.” Fika mengacak rambutnya kesal, bingung harus bagaimana. Kalau dia langsung mendatangi Maia untuk marah-marah, pasti perempuan itu akan bertindak seperti korban. Padahal kalau melihat latar belakang kemarahan Fika, perempuan itulah pelakunya. Mengesalkan!
“Fik, fixing bug-nya gue tunggu dua jam lagi, ya! Ntar sore gue mau meeting sama tim keuangan, nih!”
Kepala Fika rasanya semakin mendidih mendengar teriakan Mas Anton dari lantai dua. Yang benar saja, dia ingin marah!
***
Fika, perempuan berambut sebahu dengan kulit sawo matang, merupakan seorang software developer di salah satu startup marketplace terkenal di Indonesia. Saat ini dia berada dalam tim transaksi bersama empat orang lainnya. Sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab memastikan setiap transaksi berjalan dengan lancar, Fika sering mendapat permintaan lembur. Seringnya karena masalah yang terlihat kecil tetapi bahaya jika dibiarkan.
Contohnya seperti saat ini. Untuk setiap transaksi, perusahaannya menentukan platform fee sebesar dua ribu rupiah. Sayangnya beberapa minggu lalu terdapat perubahan skema penghitungan pembayaran yang entah bagaimana, mengakibatkan platform fee kantor mereka hilang begitu saja. Divisi keuangan jelas kebakaran jenggot dan menodong divisi IT sebagai penyebabnya. Entah sudah berapa kerugian yang didapat, yang jelas kondisinya jauh dari kata baik.
***
“Kerugian saat ini mencapai 135.000.000 rupiah, pak. Kerugian paling besar berasal dari pembayaran tagihan dan penjualan oleh official brand. Untuk detailnya sesuai dengan berkas yang sudah kami kirimkan di email.”
Fika menatap deretan angka yang masuk ke emailnya lima belas menit sebelum rapat dimulai. Kepalanya mendadak pening melihat jumlah transaksi yang cukup fantastis disertai nominal yang cukup banyak. Di sampingnya, Renata tengah memijat keningnya, tidak sanggup menyembunyikan kebingungannya.
Sesuai yang disampaikan perwakilan divisi keuangan, nominalnya cukup besar sehingga masalah ini tidaklah enteng, meskipun perusahaan memang tidak akan bangkrut detik ini juga. Sejujurnya, setelah satu setengah tahun bergabung di perusahaan ini, Fika sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dia hanya menghela nafas, mencoba menahan kesabaran menghadapi drama yang akan terjadi setelah ini.
“Bisa kamu jelasin, ini kenapa, Ton?” tanya pria berkaus yang duduk di bagian depan ruang rapat. Dia adalah Mas Yudi, CEO perusahaan ini. Fika melirik Anton yang hanya menggelengkan kepala. “Kalau kamu, Ren?” lempar pria itu kepada Renata yang juga dijawab dengan gelengan. “Kalau lo berdua nggak bisa jawab, gue kudu tanya siapa? Mai, jelasin deh, ini kenapa.”
Fika mengepalkan tangannya. Lihat saja, setelah ini, Maia akan memulai babak pertama drama dengan menangis, menyalahkan semua orang. Setelah itu…
“Maafkan kami, Mas. Mai cuma tahu ngerjakan tugas sebaik mungkin. Kita sudah berusaha, tapi memang mungkin kecolongan. Mungkin dari tim QE kurang teliti waktu testing,” jawab Maia. Sesuai dugaan, wajah perempuan itu telah memerah dengan air mata mengalir dari salah satu sudut mata.
Mendengar ucapan Maia, ruangan rapat mendadak menjadi tegang. Mas Yudi mereka menatap satu persatu peserta rapat nyalang. Pandangannya berhenti ketika melihat Renata yang masih menundukkan kepala dengan tenang, tidak berniat mengonfirmasi apapun. “Benar yang dikatakan Maia, Ren?”
“Saya akan mengakui ada miss di tim QE, karena bagaimana pun, kami adalah gerbang keamanan yang bertugas mencegah kejadian seperti ini, tetapi…”
“Baik. SP untuk kamu dan QE yang mengetes,” potong Mas Yudi sekaligus membubarkan rapat hari itu.
***
“Gue beneran nggak paham lagi sama Mas Yudi. Bisa-bisanya langsung percaya Maia cuma karena itu adiknya.” Fika menatap gelas Mixuers di hadapannya dan menusukkan sedotan dengan keras, melampiaskan semua kekesalannya. “Gue masih oke kalau dia nanyain pendapat lainnya, bukan asal potong gitu. Kalau nggak inget masih kena kontrak dua tahun, sudah resign gue dari kemarin-kemarin.”
“Gue juga sudah gedek, sih. Heran sama tingkah kakak beradik itu,” jawab Renata, tetap bersikap kalem. “Kalau bukan karena lo, sudah resign gue, Fik. Leader lo juga nggak tegas soalnya. Mentang-mentang adiknya CEO, nggak berani negur.”
“Malah gue yang kena jatah lemburnya, kan. Dibayar juga nggak. Yang ada lama-lama drop, masuk IGD.”
Fika dan Renata menghabiskan waktu dengan meluapkan kekesalan keduanya. Fika yang memang dikenal bermulut tajam dan berapi-api sesekali mengeluarkan sumpah serapahnya. Di sisi lain, Renata hanya membalas dengan opininya sendiri, tanpa berniat membuat keributan lebih. Setelah merasa puas meluapkan emosinya, keduanya memutuskan berjalan kembali ke kantor, melanjutkan pekerjaan mereka yang masih menumpuk.
“Ah iya, Fik. Lo sudah tahu, Mas Anton mau resign?”
“Hah? Resign? Lo nggak bercanda, kan? Terus gue bakal under siapa, dong? Ogah ya gue under Maia!"