Setelah kejadian Rena hampir tertabrak mobil lalu diselamatkan oleh Stevan dan teman-temannya, kehidupan gadis itu kembali lagi seperti biasa. Ia masuk kerja seperti biasa. Melakukan hal-hal normal layaknya orang-orang pada umumnya dengan hati yang masih belum sembuh. Lupakan soal niatan mengakhiri hidup, Rena sudah berjanji tidak akan melakukannya.
Berangkat, pulang, istirahat lalu tidur. Begitu seterusnya hingga waktu terus berlalu tanpa ada kejadian yang berarti lagi. Stevan juga sama sibuknya. Di sela-sela menjaga Rena, ia bekerja di salah satu perusahaan penerbit yang tidak cukup terkenal, bukan sengaja masuk ke sana tapi ia tidak punya pilihan karena latar belakangnya yang bisa saja membahayakan. Latar belakang samar dan mencurigakan.
Ia bekerja sebagai editor, tidak cukup sibuk karena hal yang dilakukan tidak banyak, untungnya ia masih dapat gaji. Walaupun bukan perusahaan besar dan peningkatan pemasukan tidak meningkat pesat tapi ia bersyukur karena perusahaan tersebut masih berdiri walau selalu melewati pasang surut ekstrim.
Hari pertama ia bertemu Rena sebenarnya bukan kebetulan, pria itu punya tanda kuat kalau Rena akan melakukan tindakan gila setelah dicampakkan oleh kekasihnya, jadi sengaja mengambil cloning rahasia, untuk menggantikannya di kantor.
Pria itu memperhatikan jam tangannya. Pukul empat sore. Ia biasanya pulang jam segini karena beberapa karyawan yang lain juga sudah pulang duluan. Salah satu hal yang ia suka, peraturan yang tidak terlalu ketat, memperbolehkan karyawan pulang sedikit lebih awal kalau pekerjaan utama mereka sudah selesai.
Stevan membereskan mejanya, ia kemudian bangkit dan segera menuju pintu keluar.
"Tidak ada yang istimewa ya," ucap salah satu teman kantornya. Namanya Zee. Pria yang lebih muda, selalu memakai kacamata biru kemanapun ia pergi.
"Kau bicara padaku?"
"Lalu siapa lagi?" Bukan hal biasa. Zee sudah hampir 5 tahun tidak pernah mengobrol dengan orang lain selain teman akrab perempuannya yang meja kerjanya tepat berada di sampingnya. Pria itu memang aneh, tapi Stevan tidak punya alasan untuk penasaran dengan orang lain selain Rena.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu."
"Hari ini mendung, tidak hujan tapi tidak juga panas."
"Lalu? Bukankah cuaca seperti ini didambakan oleh semua orang?" Stevan mengangkat bahu asal.
"Sudah kubilang tidak ada yang istimewa. Mereka tidak tertarik."
Zee melirik dengan ujung matanya ke arah gerombolan manusia yang lalu lalang. Sibuk mengobrol, sibuk dengan handphonenya lalu ada juga yang hanya fokus ke jalan. Tidak ada yang memperhatikan hari. Mereka terlalu sibuk walau hanya sekedar melirik ke atas langit yang terhalang kabel serta dedaunan dari pohon besar di pinggir jalan. Pemandangan biasa di pusat kota. Mereka pasti punya banyak pikiran untuk dipikirkan, bukan memikirkan cuaca yang setiap saat berubah.
"Aku benar kan?" Zee menaikkan satu alisnya.
"Bukan hal penting."
"Kau juga? Lihatlah! Walaupun mendung tipis tapi bisa saja hujan. Basah. Harusnya diperhatikan sedikit supaya sedia payung. Biar tidak perlu lari-lari. Memangnya siapa yang mau repot?"
Stevan diam. Ia kemudian mengangguk tipis.
"Ada benarnya."
Lima detik kemudian hujan benar-benar datang. Awalnya hanya gerimis tapi lama kelamaan berubah menjadi hujan yang cukup deras.
"Apa kubilang."
"Kau peramal?"
"Menurutmu?"
Diam. Mereka saling tatap selama beberapa detik.
Zee melepas pandangan itu. Ia kemudian mengeluarkan payung lipat dari balik tasnya. Stevan tidak bawa payung, ia tidak pernah membawanya.
"Biarkan aku menumpang ke minimarket terdekat." Tanpa basa basi, Stevan mendekat sesaat setelah payung tersebut dibuka.
"Tidak masalah."
Mereka jalan berdua di bawah derasnya hujan. Cukup kecil tapi itu lebih baik daripada harus basah kuyup. Lagipula pasti butuh waktu lama untuk menunggu hujan reda, Stevan harus segera menemui Rena. Gadis itu pulang kerja pukul setengah lima sore. Waktunya tidak banyak.
"Tidak ada imbalan?" Zee menunggu di depan toko. Ia belum pergi. Stevan yang keluar dengan payung baru ditangan langsung dibuat terheran-heran. Berusaha mengingat apakah ia pernah berbuat baik kelewat batas kepada Zee.
"Kau tidak perlu menunggu. Lain kali kutraktir kopi. Kalau begitu aku pergi dulu, aku ada urusan. Terimakasih tumpangannya." Stevan membuka payungnya, ia jalan terburu-buru tanpa menengok.
"Aku akan menunggu traktirannya!!" Teriakan itu samar terdengar. Stevan mengangkat tangannya pendek. Ia masih tidak menoleh.
**
Saat sampai, Stevan merasakan perasaan tidak biasa. Aura gadis itu tidak terasa. Ia juga tidak mendengar apapun saat ini. Padahal ia yakin sekali beberapa menit yang lalu Rena sedang mengeluh dalam hati, ingin cepat pulang. Tapi sekarang penampakan gadis itu tidak terlihat. Restoran cepat saji dengan nama 'Chicken Yo' tersebut tampak ramai. Stevan masuk ke dalam. Ia langsung menuju meja kasir, menanyakan keberadaan Rena.
"Tidak ada. Dia sudah pulang beberapa menit yang lalu."
"Ah, baiklah. Kalau begitu, terimakasih."
Pria dengan topi bergambar ayam itu mengangguk sambil tersenyum simpul. Stevan berbalik. Ia terlambat.
Hujannya masih agak deras, ia membuka payungnya untuk kedua kali, berjalan ke arah berlawanan. Kalau saja ia punya nomor telepon gadis itu, pasti ia akan langsung meneleponnya, mengajak bertemu. Tapi sayang, pertemuan terakhir mereka bahkan berakhir dengan canggung. Masih belum dikatakan dekat.
"Oh!"
"Kau mencariku?" Rena menatap datar. Payung merah muda yang menarik mata membuat penampilannya tampak manis. Berdiri di tengah jalan sambil mendongak sedikit ke arah Stevan.
Tanpa sadar Stevan mengangguk, sedetik kemudian langsung ingat. "Tidak, maksudku.. aku tadi mau beli ayam tapi mereka bilang ayam berbumbunya habis."
"Katakan saja dengan jujur. Ayam berbumbu jarang diminati, tidak mungkin habis."
"Kau benar. Aku mencarimu." Stevan menyerah.
"Sudah berapa lama kau mengikutiku diam-diam lagi?"
Diam. Stevan tidak tau harus menjawab apa. "Eeee..." Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aku sampai dikira punya penggemar. Mereka terus mendesak aku untuk meladenimu."
"Mereka?"
"Ya, para karyawan di restoran. Aku baru bekerja beberapa minggu tapi sudah merasa tidak nyaman. Entahlah, sepertinya karena kau." Rena mengangkat bahu santai.
"Mau jadi pacarku?"
"Apa?!!!" Rena yang sejak awal bicara dengan berwajah datar langsung membelalak kaget. Ia memperhatikan sekitar, takut ada yang mendengarnya. Untungnya agak sepi.
"Kau gila ya?!" lanjutnya lagi.
"Aku tidak gila. Aku suka padamu." Stevan tidak punya pilihan lain. Ia harus melakukan ini supaya ada alasan untuk menemui gadis itu. Toh, gadis itu memang tidak percaya hal-hal mistis kan?
Perlahan aura yang ada di belakang Rena berubah menjadi hijau. Apa artinya itu jijik?
"Aku sudah memaafkanmu karena kau sudah menolongku dan berharap kau tidak melakukan hal gila lagi. Tapi-" Gadis itu menghela nafas kesal.
"Aku tidak bohong. Aku memang suka padamu. Semenjak-" Stevan tidak bisa melepaskan pandangannya dari aura yang menyelimuti Rena, warnanya terus berubah. Hijau, biru, merah muda serta hitam. Ia tidak mengerti apa maksudnya.
Rena menunggu.
"Semenjak kau punya kekasih," gumam Stevan pelan. Ia merutuki dirinya sendiri karena hanya terlintas hal tersebut.
"Kau... sudah sejauh apa kau tau tentangku?"
Stevan diam, ia tidak bisa mengatakannya.
"Jangan muncul lagi di hadapanku. Kalau kau melakukannya, aku akan langsung menelepon polisi." Setelah mengatakan kalimat ancaman yang terus terulang serta terdengar tidak menakutkan, Rena berbalik kemudian pergi. Stevan tidak mengikuti, ia masih diam di tempat yang sama.