"Kau sudah mengatakannya?" tanya Ben. Pria tersebut menuang air panas ke dalam cangkir yang sudah berisi bubuk kopi.
"Tidak sempat." Stevan duduk di sofa dekat rak kayu.
"Tapi bagaimana perasaanmu saat tahu Rena sudah bisa melihatmu?"
"Menurutmu bagaimana?"
"Tidak bagus tapi tidak buruk?" Ben menyerahkan segelas kopi hangat pada Stevan. Kemudian ia ikut duduk di hadapan pria itu.
"Kurang lebih begitu. Tapi dia menganggapku aneh."
"Bukankah itu fakta?"
"Hey!" Hampir saja Stevan melemparnya dengan cangkir panas.
"Bercanda."
"Dia pasti tidak akan percaya kan?" Stevan cemas. Ia tidak yakin kebenaran bisa membuat orang lain bernafas lega.
"Kalau dalam sudut pandang manusia jawabannya adalah ya." Ben mengangkat bahu santai.
"Apa yang akan ia pikirkan kalau tahu aku adalah bayangan," gumam Stevan.
Bayangan. Sebuah kata tidak asing yang berada dalam kamus besar bahasa Indonesia. Artinya adalah wujud hitam yang tampak dibalik benda yang terkena sinar. Hitam, tidak bernyawa dan mengikuti kemanapun makhluk hidup pergi, asal ada cahaya. Berbeda arti dengan dunia yang dihuni oleh Stevan dan Ben. Bayangan adalah makhluk ajaib, nyata kalau sebagian orang percaya itu benar adanya.
Setiap manusia terpilih punya satu bayangan, mereka ada dan muncul tepat setelah lahir. Mengikuti kemanapun mereka pergi, menjadi teman di balik cahaya.
Layaknya manusia pada umumnya, Stevan dan Ben hidup berbaur. Keduanya masih terbilang baru karena baru lima kali berganti tempat. Masa-masa kelam dunia juga sudah beberapa kali dilewati oleh keduanya.
Kehidupan mereka otomatis terbagi dua. Menjaga para manusia dan bekerja untuk menghasilkan uang demi bisa hidup berdampingan.
Sama seperti tokoh fiksi pada umumnya, wajah mereka tidak menua sedikitpun. Tapi yang menjadi misteri adalah asal usul bayangan. Tidak ada yang tahu persis darimana mereka berasal. Yang jelas, Stevan yakin ia bukan dari bumi.
Tugasnya juga tidak rumit, hanya perlu mencegah Rena melakukan tindakan-tindakan gila dan yang paling utama mampu membuat Rena melupakan kekasihnya. Menghapus kenangan masa lalu dan kembali tersenyum bahagia. Kebahagiaan adalah tujuan utama para bayangan.
"Fokus saja pada tujuan kita. Walaupun harus menggunakan kemampuan rahasia," celetuk Ben. Ia menatap Stevan lalu mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Aku harus membeli beberapa makanan. Mau ikut?"
"Kau saja. Di luar mendung, aku tidak mau kalau harus basah-basahan."
"Di dunia ini ada yang namanya payung. Belum pernah dengar? Mau kutunjukkan?" ejek Ben.
"Aku sudah tahu!" Stevan menimpuk Ben dengan bantal sofa.
"Kau lupa sesuatu, kawan."
"Apa?"
Ben menyodorkan tangannya dengan ekspresi datar.
"Ahh, yang benar saja." Beberapa lembar uang bernilai besar keluar dari saku baju Stevan. Ia dengan malas menjulurkan tangannya ke arah Ben.
"Hiduplah dengan bahagia, Yang Mulia." Ben membungkuk sopan lalu mundur perlahan, tidak lupa ia mengambil payung yang tersimpan di samping pintu.
"Sampai kapan dia mau malas-malasan."
***
Meja makan penuh oleh makanan yang barusan Ben beli. Ayam goreng bumbu dan sup ayam dengan asap yang masih mengepul. Beberapa lauk pauk ringan juga ikut tersaji.
"Harusnya kau beli masing-masing dua porsi," celoteh Stevan.
"Kau mau membuang-buang makanan? Aku membeli makanan ini dengan uang."
"Tapi aku yang memberimu uang."
"Betul."
Mereka mulai makan dalam diam. Tidak ada yang bicara, masing-masing sibuk mengunyah.
Suara pintu terbuka. Sosok pria yang sepertinya seumuran dengan Ben muncul dari balik pintu. Tangan kanannya menjinjing satu kresek besar. Pria itu menggigil kedinginan lalu buru-buru masuk.
"Kalian makan tanpaku?" Wajahnya tampak kesal. Jaket tebal yang ia pakai segera ia lepas, segera duduk di sebelah Ben. Tangannya lihai mengambil beberapa makanan sekaligus. Persis seperti orang yang tidak makan berhari-hari.
"Kau membawanya kan?" Ben menagih sambil menyodorkan tangannya.
"Tentu saja. Tapi toko souvenir tutup jadi aku hanya bisa membelikanmu berondong jagung, tidak untuk gantungan jerapahnya." Pria itu masih sibuk mengunyah makanan sambil sesekali membuka mulut lebar-lebar akibat kepanasan.
"Kau..... ahhhh tapi aku butuh gantungan itu daripada berondong jagung," rengek Ben.
"Maafkan aku, besok aku akan mampir lagi." Mengabaikan, pria bernama Devan tersebut mengambil ayam goreng dengan tangan kosong dan langsung melahapnya. Devan baru pulang dari luar kota, ia punya urusan pribadi dengan bibinya.
Ben hanya bisa berdecak kesal.
"Tumben sekali kau tidak merengek seperti biasa," ucap Steven sembari menyendok makanan ke dalam mulut.
"Entahlah, moodku tiba-tiba saja berantakan. Jadi tidak selera untuk adu mulut."
"Dasar kekanakan sekali." Stevan hanya bisa menggeleng heran, ia masih belum terbiasa dengan sikap Ben yang kadang-kadang aneh. Adiknya itu kadang lebih mirip remaja SMP yang langsung merengek kalau tidak dibelikan handphone. Sebenarnya lucu tapi lama-lama mengkhawatirkan juga.
Devan, ia adalah manusia biasa yang tau identitas asli Steven dan Ben. Manusia satu-satunya yang tau kebenaran itu. Mereka tinggal bersama di toko kayu ini. Ada beberapa kamar di lantai atas. Lebih mirip rumah besar biasa tapi tersambung dengan toko aksesoris kayu di depan. Bagian belakang dan lantai atasnya luas. Muat untuk ditinggali beberapa orang.
Toko aksesoris kayu ini tentu saja milik Devan, lebih tepatnya milik ayahnya yang harus ia jaga setelah ayahnya memilih untuk mengurus toko lainnya di luar kota. Tidak sulit karena toko ini bisa ia urus berkat bantuan Steven dan Ben, walaupun sebenarnya akhir-akhir ini jarang ada yang masuk untuk sekedar membeli beberapa aksesoris kayu biasa.
***
"Sudah berapa lama dia terbaring seperti ini?" tanya Devan.
"Tiga jam," jawab Ben.
"Apa memang selama itu? Kenapa dia belum bangun juga?" tanya Steven cemas.
"Ia pasti akan bangun. Kita tunggu sebentar lagi saja," ucap Devan.
"Kau sudah mengompresnya dengan air hangat?" tanya Devan pada Ben.
"Sudah, aku bahkan memberinya infus."
"Benarkah? Apa obatnya tidak berfungsi?"
"Tidak, pasti berfungsi."
Tidak ada yang bertanggung jawab sebagai dokter di rumah ini. Mereka semua bisa mengobati siapapun dan luka apapun. Terutama Devan, ia yang paling tau dan yang paling bisa diandalkan, ibunya merupakan dokter bedah utama di rumah sakit ternama, dan entah kenapa tiba-tiba saja dirinya suka mengobati orang lain. Sepertinya ia punya sifat yang sama seperti ibunya.
Ruangan khusus ini sudah ada sejak Steven dan Ben datang dan memilih menginap. Devan tidak memberitahu mereka berdua alasan kenapa ada ruangan yang mirip uks sekolah ini. Ditanya berkali-kalipun Devan tidak mau menjawab, ia memilih membahas topik lain atau berjalan pergi tanpa berkata apapun.
"Oh!" seru Ben saat melihat jari-jari tangan Rena bergerak.