Rena menghela nafas kesal. Menahan untuk tidak marah. Ini bukan apa-apa, bahkan belum bisa dikatakan kejahatan seksual.
"Kau orang aneh? Kalau iya, hentikan perlakuanmu itu atau aku bisa memanggil polisi."
"Aku bukan orang aneh kok. Tanganmu tadi kedinginan jadi aku hanya memberikan kehangatan sedikit."
"Kedinginan?" Rena memeriksa tangannya, sekarang memang agak hangat tapi ia tidak ingat sedingin apa tangannya tadi.
"Pokoknya aku tidak peduli. Aku sudah menandai wajahmu. Awas saja kalau kita bertemu lagi." Rena memberikan peringatan dengan memicingkan matanya ganas. Jiwanya belum sembuh tapi ia sudah harus marah-marah, rasanya energinya akan habis kalau begini, padahal masih pagi.
"Boleh aku ikut?" Pria yang tadi masih belum pergi, sekarang malah berdiri di depan Rena. Menghalangi jalan.
"Mau kutelpon polisi?"
"Telepon saja. Tapi apa kejahatanku?"
"Kejahatan seksual."
"Kau punya bukti?"
"Aku buktinya. Polisi akan langsung percaya, mereka tidak perlu bukti nyata, aku bicara jujur atau tidak mereka tidak akan peduli." Rena mengangkat bahunya santai.
"Tidak buruk. Telepon saja." Pria tersebut tidak menyerah.
Rena diam, ia kemudian mengambil handphonenya tapi gerakan tangannya berhenti di atas deretan angka. Berpikir apakah tindakannya benar atau malah membuatnya masuk ke dalam kasus yang tidak penting. Terlalu ribet.
"Aku juga benci ribet," celetuk pria tersebut.
"Ha?"
"Kau benci ribet kan?"
Rena mengenyit bingung. Entah kebetulan atau bagaimana tapi ia malas sekali kalau harus berurusan dengan pria aneh.
"Aku bukan pria aneh. Namaku Stevan." Tangan tersebut terjulur, diiringi senyuman lebar.
"Aku tidak ada niatan untuk berkenalan. Lebih baik cari wanita lain saja." Rena mengambil jalur kosong di samping Stevan, ia melangkah tapi dihalangi lagi, membuat bola matanya berputar kesal.
"Aku inginnya kau. Terima uluranku."
"Kalau aku masih bilang tidak mau?"
"Kau nanti menyesal."
"Kenapa? Karena menolak laki-laki setampan dirimu? Memangnya kau pikir setiap wanita suka laki-laki tampan?"
"Apa aku tampan?" Kedua pipi Stevan memerah, pria itu malu-malu bercermin di depan kaca besar, sebuah toko baju.
'Orang aneh.'
"Sudah kubilang aku bukan orang aneh," jelas Stevan. Ia mendekatkan wajahnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Rena heran.
"Mata kejujuran. Aku bukan orang aneh dan memang mau berteman denganmu."
Rena mundur beberapa langkah, ia berdecak kesal. "Terserahlah."
Gadis itu kembali menghindar, berjalan lebih cepat.
"Jadi, siapa namamu? Apa berawalan R?"
"Bagaimana kau tahu?" Rena acuh, ia fokus ke jalan, kadang sengaja menyelip di antara gerombolan orang supaya terpisah dari Stevan. Tapi usahanya selalu gagal.
"Apa disambung dengan huruf E?" Stevan masih setia, ia berada tepat di samping Rena sekarang.
"Lalu?" Rena masih terlihat tidak peduli, berpikir semuanya hanyalah kebetulan semata.
"Kemudian N?"
Gadis itu berhenti. Sekali tidak masalah, dua kali bisa saja itu keberuntungan. Tapi kalau tiga kali, pasti ada yang tidak beres.
"Lanjutkan," pinta Rena.
Stevan diam, ia kemudian berdehem sebentar. "Terakhir... A?"
Dunia seperti berhenti sebentar. Rena mundur sedikit, ia tidak tau kenapa tapi rasa takut mulai menyelimutinya.
"B-bagaimana kau tau? Kau..."
"Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu! Aku melihatnya!"
"Melihat?" Rena tidak mengerti apa maksudnya, mereka baru beberapa menit yang lalu bertemu tapi melihat? Apa yang dilihat?
"Saat kau mengeluarkan handphone! Aku melihatnya!"
Rena bergegas mengeluarkan handphonenya dari dalam tas. Ia memperhatikan hardcase yang terpasang, berbagai sticker menghiasi. Ada satu nama yang teramat kecil, bahkan hampir tidak terlihat kalau dilihat dari jarak lebih dari satu meter.
"Tapi ini terlalu kecil."
"Aku punya mata yang tajam. Kadang orang tuaku pun bingung dengan keahlianku ini. Ahahaha." Stevan menutup mulutnya segera setelah ditatap dengan wajah garang.
"Baiklah, katakan apa maumu? Berteman? Oke, aku tidak akan menolak lagi. Tapi aku tidak janji kita bisa jadi teman yang baik. Saat ini, aku sedang ada urusan jadi bisa tidak kau pergi? Tolong?"
"Aku harus pergi denganmu. Aku tidak mau kau ke sana."
"Ke sana?"
"Kau berniat lompat dari atas jembatan kan?"
Hening. Rena tidak mengerti kenapa pria ini tahu. Itu memang tujuannya, ia bahkan sengaja meninggalkan sepucuk surat untuk ayahnya di kamar. Selama ini ia pikir mudah mengatasi patah hati, melakukan apapun yang kau suka, berbincang semalaman dengan sahabat, pergi ke tempat seru dengan teman-teman, mencoba meyakinkan dalam hati kalau pria tidak hanya ada satu di dunia. Tapi itu semua tidak mudah.
Rena menyerah, ia tidak tau harus bagaimana lagi, perasaannya lambat laun tidak bisa dikontrol. Pikiran jahat terus menerus hinggap, hingga ia memutuskan hal gila tersebut walaupun pada akhirnya dicegah oleh orang asing yang tiba-tiba muncul begitu saja.
"Aku tidak ke sana."
"Rena."
"Kubilang AKU TIDAK KE SANA!" Rena berbalik, kemudian menyebrang tanpa melihat tanda hijau yang mulai menyala.
"RENA!!"
TIINN!!! BRUKK!!
Syukurnya mobil belum sempat menyentuh badan Rena tapi gadis tersebut sudah jatuh pingsan duluan. Mungkin syok membuat badannya lemas seketika. Beberapa pejalan kaki berseru kaget, mereka langsung mencoba membantu. Beberapa menawarkan untuk menelepon ambulan.
"Tidak usah! Biar aku saja yang membawanya." Stevan menggendong tubuh Rena, ia berlari sekuat tenaga, membawanya ke sebuah gang sempit. Saat keluar, deretan ruko yang beberapa ada yang tutup mulai terlihat.
Pria itu mempercepat langkahnya saat melihat toko aksesoris kayu yang berjarak lima meter mulai terlihat. Segera masuk dan langsung disambut oleh temannya Ben- dengan rambut kekuningan dan senyum lebar khasnya. Senyum itu segera pudar.
"Apa yang terjadi?"
"Bantu aku." Raut wajah Stevan tampak khawatir.
"Kemari." Ben memimpin jalan.
Saat mereka masuk, aroma kayu sudah tercium kuat. Jejeran aksesoris dari kayu tampak berjejer rapi di rak-rak sudut ruangan. Mereka terus berjalan masuk tanpa henti, melewati lorong panjang yang di dindingnya dihiasi berbagai lukisan antik.
Sebuah pintu warna merah terlihat. Ben berhenti dan memutar knop pintu. Langsung disambut oleh pemandangan tidak biasa. Ini ruangan yang lebih mirip ruang uks di sekolah. Ada rak obat, kasur empuk untuk pasien serta berbagai perlengkapan kesehatan lainnya.
Steven meletakkan tubuh lemah Rena ke atas ranjang. Pertolongan pertama mulai dilakukan. Stevan menatap cemas.
"Apa dia akan baik-baik saja?" ucap Steven.
"Dia akan baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir."
Beberapa menit berlalu, Ben sudah selesai mengobatinya. Infus yang terpasang akan membuat kondisi tubuh Rena agak mendingan.
"Ini semua salahku."
"Tidak perlu menyalahkan dirimu." Ben menepuk bahu Stevan pelan.
"Tapi ini memang salahku. Harusnya aku tidak mencegahnya tadi."
"Kau melakukan hal yang benar. Kalau tidak ada kau, kejadian yang lebih besar bisa saja terjadi."
"Tapi kan.." Stevan mengusap wajahnya agak kasar, ia tidak menyangka kalau perlakuannya bisa membuat Rena terluka.
"Sudahlah, lebih baik kita biarkan dia istirahat." Ben mengajak Stevan keluar.