Suasana malam Minggu yang menurut Aura tidak banyak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Suara keyboard laptop terdengar berirama dari kamarnya. Dia tengah mengerjakan tugas karya tulis ilmiah yang wajib dikerjakan oleh setiap murid kelas 11. Tidak sulit menurutnya. Di sekolah, dirinya termasuk murid yang cerdas.
Baru beberapa paragraf yang ia ketik, ibunya datang menghampiri. Membawa nampan berisi segelas susu vanila dan sebungkus biskuit. Aura tersenyum menyambut, meninggalkan sebentar konsentrasinya ke layar laptop.
"Terima kasih, Bu."
Ibu balas tersenyum, mengusap bahu anaknya. "Bagaimana sekolahmu?"
Aura berpikir sebentar, "Cukup baik."
"Nggak ada masalah yang perlu kamu ceritakan?" tanya Ibu lembut.
Aura meraih tangan ibunya, menggeleng, "Aman. Hanya ada tugas yang menumpuk, itu bukan masalah kok."
"Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu. Jangan tidur larut malam." Ibu mengecup dahi Aura sebelum pergi meninggalkan kamar.
Aura memerhatikan punggung orang yang paling ia sayangi. Ibunya seorang wanita yang kuat. Beliau bekerja keras sendirian menghidupi keluarganya, membahagiakan putri satu-satunya. Kehidupan keluarga mereka sudah membaik satu setengah tahun lalu, semenjak ibunya bekerja di perusahaan IT tersohor. Mereka tinggal berdua di apartemen yang tidak terlalu besar, namun cukup mewah dibanding rumah kecil mereka dulu. Ayah sudah tiada.
Malas merenung lama-lama, Aura kembali mengerjakan KTI-nya. Ditemani suguhan dari ibunya tadi. Gadis itu baru berhenti ketika kantuk menyerangnya dua jam kemudian. Matanya lelah, mematikan laptop.
Tatapannya melayang ke pigura foto di ujung meja belajar, dirinya berpose di depan air mancur taman kota bersama Reza di sampingnya.
"Apa kabar? Kamu benar-benar melupakanku, ya?" gumam Aura. Di tengah keasyikannya memandangi pigura, ponselnya bergetar pelan. Notifikasi masuk. Susah payah tangan gadis tersebut memanjang mengambil ponsel di kasur. Lucy, teman yang berbeda sekolah dengannya, mengirim pesan singkat beserta foto tangkapan layar.
Reza mengirimiku email. Bertanya tentang kabarmu.
Aura menelan ludah, buru-buru mengunduh foto yang dikirim. Memperbesar tulisan dalam foto. "Lucy. Bagaimana kabar Aura akhir-akhir ini? Dia masih suka nanyain tentang gue? Dia banyak ngirim email. Gue juga kangen sama dia sih, tapi gue memutuskan untuk nggak menjawab pesan-pesannya. Seiring berjalannya waktu, dia bakal lupa juga, bukan? Eh, bagaimana keadaan Ibu? Beliau baik-baik saja, kan?"
Aura memejamkan majanya lama. Dia ingin menangis, tapi air matanya telah habis. Seingatnya, terakhir kali dirinya menangis ialah ketika perpisahannya dengan Reza. Setiap kali Aura merasa sedih memikirkan tentang lelaki itu, air matanya tidak mau keluar. Hatinya sakit, tapi kedua matanya tetap kering. Seakan menolak tangisan.
"Jika kamu mau aku melupakanmu, mengapa selalu wajahmu yang muncul ketika aku menutup mata? Mengapa setiap pikiranku kosong, selalu senyumanmu yang melintas di pikiran? Atau ketika semua orang berteriak bising, mengapa aku hanya bisa mendengar suaramu dalam ingatanku?"
♦♦♦
"Sejak kapan lo bertukar email dengan Reza?"
Lucy menunduk, "Sudah lama. Dua bulan sekali, dia bertanya tentang lo. Bagaimana kabar lo, kesibukan lo, juga tentang ibu lo. Dia senang banget pas mendengar kabar kalian pindah rumah dan ibu lo mendapat pekerjaan bagus. Girang saat tahu lo menjadi murid paling pintar di angkatan. Dia selalu penasaran tentang lo."
Aura mengembuskan napas pelan, termangu.
"Sebenarnya, agak malas sih membalas pesannya itu. Tapi, merasa kasihan melihat kalian yang saling merindukan namun nggak bisa bertukar pesan, gue memutuskan menanggapinya. Hitung-hitung amal baik." Lucy mengangkat bahu.
"Kenapa lo baru beritahu gue?" tanya Aura.
"Reza bilang untuk merahasiakannya, dia nggak mau lo jadi semakin kepikiran dengannya. Tadi malam, dengan segenap hati gue merusak kepercayaannya, memberitahu lo. Entahlah, apakah ini hal yang benar atau nggak."
Aura menelan ludah, "Kenapa dia nggak menghubungi gue langsung? Harus lewat perantara?"
"Mungkin dia nggak mau lo jadi lebih terbelenggu dengan kenangan bersamanya." Lucy memegang bahu temannya. Mereka bertetangga dulu, sering bermain bersama. Karena Aura tidak jarang bersama Reza, mereka jadi suka main bertiga.
Aura menutup matanya beberapa saat, dahinya mengernyit. Seperti sedang berpikir sembari merasakan sesuatu.
"Gue bakal mengirimnya email sekali lagi," tukas Aura sambil membuka mata. "Kalau dia tetap nggak mau menjawabnya, maka biarlah semuanya pergi. Lupakan semuanya. Hanguskan kenangan bersamanya."
Lucy menatap gadis di hadapannya.
"Ini nggak adil. Kalau dia masih ingat gue, masih mau saling kenal, masih mau tahu tentang gue, ya dia harus berbuat sesuatu dong. Bukan diam-diam bertanya lewat lo." Aura menoleh. "Jangan pernah menjawab pesannya lagi. Biarkan dia mati penasaran dalam keraguannya menjawab pesan gue."
Lucy mengangguk.
♦♦♦