Read More >>"> Edelweiss: The One That Stays (Chapter Two) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Edelweiss: The One That Stays
MENU
About Us  

Selama ini, Aura tidak pernah punya urusan dengan Sang Kepala Sekolah. Murid yang menyampaikan pesan langsung kembali ke kelasnya. Gadis itu tidak punya kesempatan untuk bertanya.

Meneguhkan hati bahwa semuanya baik-baik saja, Aura melangkah keluar kelas. Dia tidak takut atau cemas, tapi rasa herannya ada. Ruangan kepala sekolah terletak tidak jauh dari ruang guru, beberapa kali ia berpapasan dengan guru atau murid yang lewat. Aura tetap berjalan menatap lantai, tapi tidak menundukkan kepalanya. Dia siswi yang pendiam, jadi tidak banyak dikenal guru atau murid-murid sekolahnya-khususnya yang tidak mengajar atau sekelas dengannya.

"Aura? Silakan masuk," ucap guru wanita ketika Aura berhenti sebentar di depan ruangan kepala sekolah. Guru BK-nya itu tersenyum, membukakan pintu.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menurut. Maka dengan perlahan, Aura memasuki ruangan itu untuk pertama kalinya. Perasaan terkejut tiba-tiba datang. Tidak hanya kepala sekolah yang menunggunya, tetapi juga beberapa guru dan entahlah siapa pria berpakaian hitam tersebut, bukan warga sekolah.

Aura dipersilakan duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Sebelumnya, kami minta maaf karena telah mengganggu waktumu, Nak Aura." Kepala Sekolah mereka, Bapak Obay, memulai perbincangan. "Tetapi kami punya alasan yang penting untuk memanggilmu ke sini, sesuatu yang hanya kamulah kunci dari segalanya."

Aura hanya diam mendengarkan, meski dalam hati mendengus kenapa tidak langsung ke poin intinya saja. Duduk di hadapan sekumpulan orang yang mengintimidasi, bukanlah hal menyenangkan. Gadis itu tidak suka jadi pusat perhatian.

"Tentu Nak Aura ingat apa yang terjadi dua tahun lalu, di aula sekolah siang hari itu." Bapak Obay menyebutkan kata kunci. "Hari meninggalnya Bapak Marcus."

Aura sempurna termangu mendengarnya.

Dua tahun lalu. Satu minggu setelah kematian guru baru itu, wali kelasnya mengatakan bahwa itu adalah kasus bunuh diri. Ditemukan surat berisi pernyataan ingin mengakhiri hidupnya sebab betapa hutang-hutangnya telah menjerat hidupnya.

"Kasihan keluarganya, harus membayar hutang guru itu." Salah satu murid di kelas berkomentar.

Aura menggeleng pelan, banyak hal masuk ke dalam pikirannya. Dia pikir, itu alasan yang tidak logis untuk bunuh diri, apalagi dengan cara menusuk dirinya sendiri dengan pisau. Yang lebih tidak masuk akal, kenapa harus dilakukan di aula sekolah? Aura tahu ada yang tidak beres dari hasil kasus tersebut.

"Dua tahun lalu, kematian itu diputuskan sebagai bunuh diri karena konflik pribadi. Surat keinginan bunuh dirinya dipalsukan oleh pihak tidak bertanggung jawab yang mungkin tidak suka dengan kehadiran Bapak Marcus di sekolah ini, saya menyesal baru memeriksanya belum lama ini. Mereka sudah saya berhentikan kerja. Tetapi kasus kematian beliau belum selesai sampai di sini." Kepala Sekolah menjelaskan.

"Jika mereka memalsukan kematiannya sebagai bunuh diri, bukankah mereka patut dicurigai? Jangan-jangan, mereka-lah yang membunuh Marcus?" ujar salah satu peserta pertemuan.

Bapak Obay menggeleng, "Saya sudah menyelidikinya, mereka sama sekali tidak terlibat dalam kematian itu. Mereka hanya memalsukan surat, sebab tidak mau mengurus kematian Bapak Marcus."

"Mengapa Bapak tiba-tiba menyelidiki ulang kasus ini setelah dua tahun?" tanya Aura.

"Ada keluarganya yang meminta, dia tidak terima kematian Bapak Marcus diputuskan sebagai bunuh diri." Bapak Obay menjelaskan.

"Dia tidak punya keluarga," gumam Aura.

"Maksudmu?"

Aura tidak menjawab, malah balik bertanya, "Lalu mengapa aku dipanggil ke sini?" Dia tidak suka menunggu lama-lama.

"Kemarin, kami baru saja memeriksa kembali rekaman CCTV yang menampilkan bagian pintu depan aula. Seorang siswi datang ke aula sekolah siang hari itu, dan itu adalah kamu, Nak Aura." Kepala Sekolah menjawab.

Lengang sejenak di dalam ruangan. Aura mengangkat wajah, "Bapak mengira aku membunuh guru itu?"

Bapak Obay menggeleng, "Tidak. Justru kami ingin meminta bantuanmu untuk menjadi saksi dalam kasus ini. Hari itu, kamulah yang menekan tombol darurat sehingga alarm bahaya berbunyi seantero sekolah, bukan?"

Aura tidak menjawab.

"Apakah Bapak Marcus telah terbunuh saat kamu tiba? Apakah ... kamu melihat pembunuhnya?" tanya Bapak Obay.

Aura masih diam menatap lantai ruangan. Semua orang menunggu jawaban dari gadis itu. Usai menelan ludah, Aura berbicara, "Guru itu sudah tergeletak dengan pisau di perut ketika aku melihatnya. Nggak berani mendekat, aku memutuskan menekan tombol darurat."

"Untuk mencegah orang-orang tahu bahwa ada seseorang yang mati di aula? Menyingkirkan mereka dari sana?" tanya pria berpakaian hitam yang tidak dikenali Aura.

Aura menatap tajam.

"Ah, saya lupa. Aura, perkenalkan Detektif Sam, dia yang bertugas menyelidiki kasus ini." Bapak Obay memperkenalkan.

"Kamu mencoba membuat orang-orang menjauh dari aula?" Detektif Sam bertanya lagi.

"Lebih tepatnya berusaha membuat TKP tetap steril, mengevakuasi orang-orang. Pemandangan mengenaskan di aula, bukan sesuatu yang menarik untuk ditonton murid-murid." Aura berkata tanpa ekspresi.

"Kenapa tidak kau beritahu pihak sekolah dengan segera?" Detektif Sam balas menatap tajam.

"Aku nggak berkewajiban melakukannya." Dengan santai Aura mengangkat bahu. "Kenapa aku harus repot-repot melakukannya saat orang lain bisa melaporkannya begitu dia melihat mayat itu."

Detektif Sam terdiam. Ruangan itu lengang sejenak.

"Itu bukan sikap yang bagus untuk seorang murid sekolah." Detektif Sam berbicara tajam, memecah hening.

Kepala Sekolah menghela napas, "Aura. Bisakah kamu ceritakan apa yang terjadi hari itu? Apa yang kamu lihat. Kesaksianmu akan sangat berguna untuk kami."

Aura tersenyum kecil, "Biarkan aku bertanya lebih dulu. Apa alasan yang membuatku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian? Aku menolak menjadi saksi."

Wajah Bapak Obay dan yang lain berubah. Aura telah berdiri dari kursinya.

"Permisi." Gadis itu meninggalkan ruangan.

"Aura!"

Masih terdengar panggilan dari dalam, tetapi terlambat. Gadis itu sudah berjalan menuju kelasnya. Aura tidak tertarik berlama-lama di ruangan itu. Apalagi ditanya-tanya. Arloji di pergelangan tangannya menunjukkan waktu.

"Mereka menghabiskan satu jam pelajaranku sia-sia!" omelnya sambil membuka pintu kelas. Langsung berhadapan dengan Ketua Kelas.

"Eh, Ra, tadi ada yang nyariin lo. Namanya ... Ju-Julia, kalau nggak salah. Kenal?" tanyanya.

"Siapa yang peduli." Aura melewatinya dan segera duduk di kursi. Tidak ada guru di kelasnya. Jam kosong. Bukan masalah untuknya, Aura terbiasa belajar sendiri-malah lebih efektif kadang-kadang. Ia mulai membuka buku.

Beberapa menit mencoba memahami paragraf-paragraf yang tercetak di halaman buku, Aura mendengus. Dirinya tidak bisa fokus. Selain karena teman sekelasnya yang gaduh, pikirannya menjalar ke kejadian dua tahun lalu. Juga perkataan Bapak Kepala. Siapa keluarga yang meminta kasus ini ditinjau ulang?

"Akh!" jerit Aura memukul meja. Dia berlari keluar kelas. Di tengah bising seperti ini, Aura perlu suasana tenang untuk menentramkan hati dan pikirannya. Gadis tersebut berdiam diri di koridor, membuka ponsel pintarnya.

Jemari tangannya mengusap layar ponsel, menghitung berapa banyak email yang telah ia kirim kepada sang pemilik hati. Tidak pernah sekalipun Reza menjawab. Lelaki itu, sejak dia pindah, tidak pernah terdengar lagi kabar darinya. Rasa sedih di hati Aura perlahan berubah menjadi rasa benci. Namun tak dapat dipungkiri, rasa benci itu muncul karena kekecewaan yang timbul sebab terlalu merindukan Reza.

Sudah dua tahun. Aura tidak pernah mendapat penjelasan kenapa Reza meninggalkannya begitu saja. Pergi meninggalkan semuanya. Lelaki itu hanya membawa sebuah tas ransel ketika pamit sekilas.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Aura terkejut mendengar pernyataan Reza hari itu.

"Aku nggak sanggup merepotkanmu dan ibumu lagi, Ra. Saatnya aku pergi." Dengan senyuman tipis, Reza berkata pelan.

Aura menggeleng, dia tidak setuju dengan keputusan Reza. Menahan lengan Reza.

Tetapi keputusan Reza sudah bulat. Lelaki itu melepaskan tangan Aura, tersenyum untuk terakhir kalinya. Senyuman yang tidak pernah Aura lihat lagi sampai saat ini. Kalimat selamat tinggal terucap pelan.

♦♦♦

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Maroon Ribbon
450      314     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Sunset in February
787      434     6     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Reaksi Kimia (update)
4830      1223     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
Gebetan Krisan
444      309     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
HIRAETH
312      211     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...
Musyaffa
89      75     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...
ATHALEA
1186      504     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Mapel di Musim Gugur
404      283     0     
Short Story
Tidak ada yang berbeda dari musim gugur tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali senyuman terindah. Sebuah senyuman yang tidak mampu lagi kuraih.
Beloved Symphony | Excetra
806      349     0     
Romance
Lautan melintang tiada tuturkan kerasnya karang menghadang.