Aura sedang fokus membaca buku ketika suara bising dari luar kelas terdengar. Pandangannya ia alihkan ke arah aula. Hari ini Hari Bazar, meja-meja diletakkan di sekitaran aula. Beragam macam bazar disediakan dari tiap kelas, entah itu jenis makanan atau minuman, buku-buku, bahkan gelang dan kalung buatan dari manik-manik. Setiap tahun, OSIS mengadakan program kerja Hari Bazar yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Spesial hari pertama, kantin sekolah ditutup. Murid-murid antusias ikut serta meramaikan, entah itu dengan ikut menjual sesuatu atau menghabiskan uang saku dengan membeli berbagai macam bazar yang ada.
Sejenak, Aura menatap layar ponsel, melihat tanggal. Mengembuskan napas pelan. Dua tahun lalu, Hari Bazar berubah menjadi hari yang rusuh, memorak-porandakan sekolah. Seluruh murid yang semangat menyiapkan bilik bazar berlarian tidak tahu arah. Bagaimana mungkin Aura melupakan kejadian itu? Dia sendiri yang menjadi penyebab seisi sekolah panik tanpa tahu alasannya.
"Lo nggak melihat-lihat bazar?" tanya teman sekelasnya, menepuk bahunya.
"Buat apa? Bazar memperingati kematian guru baru yang bahkan belum genap satu bulan mengajar?" Aura bertanya balik tanpa menoleh.
Teman sekelasnya terdiam, kemudian meninggalkan Aura. Dalam hati menyesal kenapa dia harus basa-basi, berbaik hati menegur.
Aura menguap, menutup bukunya. Kelas kosong, tersisa dirinya seorang. Waktu yang pas untuk sekedar menutup mata. Setelah mencari posisi tidur yang nyaman, gadis itu memejamkan matanya.
♦♦♦
Hujan deras membasahi kota. Udara dingin sukses membuat badan menggigil. Suasana yang cocok untuk meringkuk di dalam kemul. Malang, gadis yang saat itu masih berumur 15 tahun di sebuah teras rumah sederhana harus duduk memeluk lutut, mencoba mengusir hawa dingin yang menusuk.
"Sudah lama kamu berdiam diri di sini, Ra. Masuklah." Sesosok lelaki seumurannya mendekat. Ini sudah kesekian kalinya Reza membujuk.
"Aku nggak sudi melihat pria itu di dalam." Aura mendengus. Rasa benci kembali menguak ketika mengingat betapa kejam ayahnya yang selalu memukuli ibunya hanya karena secuil kesalahan yang tak sengaja timbul. Apapun di matanya selalu menjadi kesalahan Ibu. Tadi, gadis itu memberanikan diri membela ibunya, tetapi malah diteriaki keluar dari rumah dan dihukum tidur di luar.
"Ayahmu sudah tidur. Masuklah, temani ibumu di dalam."
"Kamu nggak lihat pria itu tidur di ruang tengah? Dia akan tahu kalau aku masuk. Aku nggak peduli jika dia memukuliku, tapi dia pasti akan melukai Ibu juga! Sungguh lelaki pembawa sial, aku nggak akan pernah mengakui dia ayahku lagi. Dia sama sekali nggak pantas menjadi seorang ayah!"
"Hey, kamu lupa dia yang membawaku ke rumahmu dari panti asuhan sehingga aku punya keluarga seperti kalian." Reza menatap wajah Aura. "Membuatmu punya kehidupan yang lebih baik. Ayahmu cukup baik."
"Kamu juga lupa apa yang dia lakukan kepadamu saat menurutnya kamu sudah nggak berguna lagi untuknya. Dia menelantarkanmu seperti dia melakukannya pada keluarganya." Aura menonton tiap tetes air dari langit.
"Ah ya, aku harus banyak berterima kasih pada ibumu yang membuatku masih bisa tinggal di rumah ini, meski aku bukan anak yang baik—menurut ayahmu terutama." Reza tersenyum kecil.
"Berhenti menyebutnya ayahku."
Reza tidak menanggapi kalimat tersebut, "Tapi setidaknya aku bisa menjadi kakak yang baik untukmu." Ia melepas jaketnya untuk disampirkan ke bahu Aura, menyisakan kaos berlengan pendek yang sudah pasti tidak mampu menahan angin dingin masuk ke tubuh lelaki itu.
"Kakak apanya," cibir Aura tapi tetap berterima kasih pelan.
Reza menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Duduk di sebelah Aura.
♦♦♦
Kenangan beberapa tahun lalu itu masuk ke mimpi Aura, membuatnya membuka mata. Aura mengusap wajah. Bagaimana dia bisa melupakan lelaki itu jika setiap hari sosok yang terbayang dalam ingatannya selalu saja orang yang sama? Baginya, Reza adalah teman terbaik yang ia punya. Lebih dari sekadar teman, Reza juga bisa menjadi kakak paling penyayang, paling perhatian. Atau mungkin lebih dari kakak.
Umurnya masih 12 tahun ketika Reza datang ke rumah. Ayahnya mengambilnya dari panti asuhan di dekat persimpangan jalan rumah mereka karena tertarik dengan anak itu. Reza lelaki yang baik, dia tidak pernah merepotkan siapapun. Sebaliknya, karena kejeniusannya dalam hal teknologi, ia banyak membantu ayahnya yang bekerja di perusahaan IT. Manajer perusahaan banyak memuji ayahnya sebab inovasi-inovasi bermanfaat yang diberikan Reza dalam hal sebidang. Reza yang sebelumnya hanya belajar di sekolah negeri dekat panti asuhan dulu, berpindah ke sekolah yang sama seperti Aura dengan jalur beasiswa. Hidup mereka berjalan menyenangkan.
Namun, ketika ayahnya dipecat karena suatu masalah di tempat kerjanya, pria itu berubah. Temperamennya menjadi buruk, suka berteriak, dan hobi memukuli—ibunya samsak yang paling sering terkena pukulan. Tidak jarang Aura juga kena pukul—apalagi Reza yang bukan siapa-siapa. Semakin lama semakin parah, Aura tidak mengenali lagi kalau itu ayahnya.
Melihat ibunya yang kesakitan dipukuli, tanpa ada niatan sedikitpun untuk melawan, timbullah rasa benci dari lubuk hati Aura. Kian lama, kian besar. Mereka pindah rumah ke tempat yang lebih kecil. Di antara rasa sakit yang menyergap tubuh, Ibu selalu berusaha mencari nafkah untuk menghidupi kedua anaknya. Sedangkan ayahnya tidak peduli lagi pada mereka, sering keluar entah ke mana untuk mabuk-mabukkan. Pulang-pulang hanya untuk melampiaskan kemarahannya. Mereka tidak bisa tidur tenang sepanjang ayahnya berada di rumah.
"Permisi," sebuah suara memutus lamunan Aura. Pintu kelas diketuk, kemudian muncullah seorang murid dari kelas sebelah. "Aura, bukan? Lo dipanggil Kepala Sekolah, ditunggu di ruangannya sekarang juga."
Aura menoleh, sedikit bingung. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ia dipanggil?
♦♦♦