Baru menyetujuinya. Mereka beranjak pergi menuju rumah sakit lagi. Tiba di rumah sakit, Arimbi dan Ofelia melihat mereka datang.
"Bagaimana?"
"Orion sudah ketemu?"
"Anu, Nona Arimbi..." Larasati akan memberitahu sesuatu namun dia berhenti bermonolog sebentar.
"Ada apa? Kalian sudah bertemu Orion, kan? Bagaimana dengan Kinara dan Srikandhi?"
Mereka berdua saling menatap. Enggan rasanya dan takut-takut ingin memberitahukan keadaan pemuda itu kepada cewek di samping mereka.
"Kak, tenang, aku akan memberitahu sesuatu tentang Bang Orion..." kali ini Barulah yang berani berbicara. Arimbi maupun Ofelia membelalakan mata, tidak percaya apa yang benar-benar menimpa pemuda manis itu.
"Apakah itu benar?!"
Baru melanjutkan hingga tubuh putri Kerajaan Mandhava itu bersandar lemas mendengar penuturan Baru. Ofelia buru-buru merengkuh tubuhnya. Menenangkan sebisanya. Dua Lakon itu terdiam. Arimbi bagaikan seseorang yang terkena shock dadakan. Memanggil-manggil nama sang adik. Srikandhi segera menghubungi tim medis untuk datang. Tim medis yang datang membawa tubuh Orion yang sudah tidak bernyawa itu ke dalam ambulans. Kinara berusaha menahan air matanya, menyembunyikan wajahnya di punggung Bradja. Mereka pergi menuju rumah sakit. Selain itu, dilanjutkan proses pemakaman esok paginya. Cavan dan Orion dimakamkan secara serentak dan berdampingan. Pemakaman dipenuhi oleh Kelompok Kaia dan pihak kepolisian yang ikut membantu jalannya proses pemakaman. Arimbi yang sejak kemarin menangis histeris masih tidak terima jika sang adik telah tiada. Selesai prosesi pemakaman, semuanya keluar dari pemakaman umum itu tidak terkecuali Bradja yang diam-diam ikut melayat tanpa diketahui oleh Kinara. Dia diam-diam mengikuti Kinara dari pemakaman menuju markas. Kinara di dalam kamarnya mengepaki semua barang-barangnya termasuk bajunya ke dalam koper abu-abu berukuran mungil. Melihat gadis itu mengepaki barang-barangnya, Srikandhi masuk ke dalam kamar.
"Kamu mau ke mana?"
Kinara menghentikan mengepaki bajunya."Aku mau pulang," ucapnya.
"Pulang ke apartemen?"
"Iya."
"Kenapa secepat itu?"
"Aku..." Kinara melanjutkan memasukkan bajunya yang terakhir, menjejalkannya."Aku ingin sendiri... Boleh kan aku pulang ke apartemen?"
"Boleh-boleh saja."
"Kamu sendiri kenapa enggak mengepaki bajumu?"
"Aku akan tetap di sini," kata Srikandhi."Enggak apa nih kamu kembali ke apartemen sendiri?"
"Enggak apa." Kinara menutup kopernya rapat menyeretnya keluar."Pulanglah kalau kamu kepingin pulang."
"Walau kamu ngomong kayak begitu, aku bakal balik ke apartemenmu."
Kinara menyeret kopernya menuruni tangga. Tepat turun di anak tangga terakhir, Ofelia yang keluar dari dapur, melihatnya."Kamu mau ke mana?"
"Aku mau pulang, Kak," kata Kinara mantap.
"Pulang katamu?" Ofelia tidak percaya."Kenapa kamu pulang? Berbahaya kalau kamu sampai ketang—"
"Aku ngerti, Kak. Aku bakal ketangkap akhirnya. Tapi, aku enggak ingin merepotkan kalian yang ada di sini."
"Tapi... Kenapa?"
"Keputusan saya sudah bulat. Saya cuma ingin menenangkan diri saja."
Arimbi dan yang lain keluar dari dapur.
"Kamu beneran mau kembali ke apartemen?"
Kinara mengangguk.
"Bakal susah kalau kamu kembali," kata Arimbi, menghela napas."Srikandhi bagaimana?"
"Dia enggak ikut."
Baru dan Larasati hanya terdiam. Arimbi merogoh saku bajunya, memerlihatkan sesuatu seperti sebuah kalung, melanjutkan,"Bawalah ini." Mengelungkan kalung itu pada Kinara di tangannya seperti menggenggam.
"Ini..."
"Itu kalung milik Orion."
"Kenapa Kakak memberikannya padaku?"
Arimbi tersenyum getir, ada sinar di matanya tampak berkaca-kaca. Dua matanya sembab akibat menangis selama dua hari sampai susah untuk mengangkat kedua matanya."Sebelum dia dimakamkan, seorang petugas rumah sakit memberikan ini untukku untuk disimpan. Ternyata ini kalung milik Orion. Bawa dan simpanlah. Aku tahu, kamu orang yang pernah menolongnya saat dia menghilang dan menemukannya kembali padaku."
"Aku tahu, bahwa Orion menyukaimu, Kinara. Walau dia tidak sekalipun memperlihatkan rasa sukanya padamu, tapi aku tahu dia menyukaimu dengan sepenuh hatinya."
Kinara menggenggam kalung itu.
"Aku akan menyimpan," katanya, berbalik keluar.
"Kamu bisa kembali kapan pun yang kamu mau," kata Ofelia,"bawalah ini juga." Menyerahkan sebuah pedang yang terbungkus kain hitam.
Ia menerimanya, melihat pedangnya."Ini kan punya..."
"Itu punya Cavan. Bawalah jika kamu membutuhkannya."
Kinara mengucapkan terima kasih lagi, membawa pedang itu dan meneruskan langkahnya hingga ada seseorang yang memanggil namanya, menghentikan langkahnya, menoleh ke belakangnya—melihat seseorang yang memanggilnya yang menampakkan wujudnya di balik tiang tidak jauh dari arahnya melangkah.
Pemuda itu, Bradja.
"Bradja..."
Dia menghampirinya, menatap koper yang dibawa Kinara."Mau ke mana kamu?"
"Aku mau kembali ke apartemen."
"Sendirian?"
"Sendirian."
"Ke mana gadis mungil itu? Kenapa tidak bersamamu?"
"Srikandhi, ya? Dia enggak ikut. Aku memutuskan untuk pulang sendiri."
Mereka saling bertatapan sejenak.
"Kamu... Mau ikut pulang bersamaku?"
"Ikut pulang bersamamu?"
"Kalau enggak mau, aku pulang sendiri." Berbalik, tangannya kemudian ditarik pelan."Ada apa?"
"Baiklah, aku akan ikut denganmu," kata Bradja akhirnya."Kamu pasti penasaran dengan Tuan Albert, kan?"
Mereka berdua pulang bersama. Dengan menaiki naga yang dipesan dan sampai di tempat yang menuju kota di Kinara tinggal, yang menghubungkan rumah reot. Mereka sampai saat menaiki taksi melayang online yang dipesan Kinara. Di depan apartemen yang sama sekali kosong dan sepi. Kinara membuka pintu. Bunyi derit pintu serta koper Kinara masuk bersama Bradja. Bradja memandangi seisi apartemen. Kinara menyeret koper masuk ke dalam kamar di lantai atas.
"Anu, kalau mau istirahat di kamar itu," tunjuknya ke kamar di bawah tangga.
Bradja mengangguk dan masuk ke dalam kamar yang ditunjuk.
Panas yang mulai memancarkan sinarnya kembali redup saat langit mulai kembali gelap keabu-abuan menandakan akan turun hujan. Kinara selesai melakukan kegiatan pembersihan diri di kamar mandi dan keluar selesai itu juga. Mengenakan piayama yang membungkus tubuh mungilnya serta handuk yang terpasang di rambutnya yang basah karena habis keramas. Rasanya kembali segar. Ia melihat kalung yang diberikan oleh Arimbi di markas. Sesudah sampai tadi kalung itu ditaruhnya di atas meja riasnya. Meraih kalung itu, teringat akan sosok Orion. Memang jujur, ia juga menyukai pemuda itu—karena menganggapnya hanya sebatas teman, bukan lebih. Padahal jika diingat ia hanya mengenalnya tidak lama. Seperti dirinya mengenal Bradja. Teringat akan kenangan bersamanya membuatnya kembali teringat saat pertama kali ia bertemu dan membawanya pulang bersamanya. Ia tidak menyangka akan secepat itu ditinggal pergi. Bunyi ketukan pintu membunyarkan kenangannya.
"Kinara," panggil Bradja dari luar.
"Masuk saja," jawab Kinara.
Pintu terbuka lebar memerlihatkan sosok Bradja memakai kaos yang pernah dikenakan oleh Orion.
"Makanannya sudah siap. Ah, itu, maaf, aku tadi memakai pakaian ini dan kuambil dari lemari," kata Bradja.
"Pakai saja." Kinara kembali menatap kalung di tangannya.
Bradja masuk,"Kalung milik siapa itu?"
"Kalung ini milik Orion." Kinara menghampiri ranjang, duduk.
"Dia sangat berarti, ya bagimu?" Bradja ikut duduk di sampingnya.
"Sangat berarti... Jujur saja aku baru mengenalnya..."
"Kamu baru mengenalnya? Aku mendengar tadi di rumah sakit, entah seorang wanita cantik berkata kepada temannya, dia akan pulang ke kerajaannya kembali setelah kematiannya."
"Kak Arimbi. Dia putri dari Kerajaan Mandhava. Berarti bukan aku saja yang memutuskan untuk pulang..." Memakaikan kalung itu di lehernya."Kalung ini cantik..."
"Dan, cocok sekali kamu kenakan," komentar Bradja.
Kinara menunduk, ada semburat merah muncul di pipinya. Kedua tangannya meremas ujung piyama handuknya.
"Te-terima kasih..."
"Maaf juga."
"Untuk apa minta maaf?"
"Karena kelompokku, kalian menjadi sengsara seperti ini. Aku tahu, kamu masih diincar oleh Tuan Albert. Kalau kamu sudah benar-benar siap, aku akan membawamu menemui Tuan Albert."
"Kamu bilang mau melindungiku?"
"Maksudku, untuk membawamu agar beliau bisa kamu kalahkan. Itu tujuanmu sebe—" dia memegangi lengannya cepat. Sesuatu tiba-tiba merasuki tangannya, merintih kesakitan. Kinara bangkit, buru-buru membaringkannya ke tempat tidur. Raut khawatir muncul. Ia memeganginya tangannya. Ada sesuatu yang muncul.
"Tanda kutukannya!" Kinara segera menggenggam tangannya, menyalurkan sihirnya seperti sewaktu dirinya akan ditangkap Bradja di hotel kala itu.
Rasa sakit itu kian berkurang. Bradja tidak lagi merasakan rasa sakit. Kinara masih menyalurkan sihirnya. Tanpa disadari mereka berdua, wajah mereka saling berdekatan—malah lebih dekat. Bradja merasakan bau wangi khas Strawbbery dari tengkuk gadis itu. Kinara juga merasakan napas Bradja. Wajah mereka saling semburat memerah. Tanpa ragu, pemuda itu meraih wajahnya agar kian mendekat, dan mengecup bibir kenyal nan merah milik Kinara dengan pelan dan lembut. Mata cokelat Kinara membulat. Apa pemuda ini sengaja melakukannya? Sengaja menciumnya?
Bradja melepas pagutannya. Kinara menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Apa yang kamu lakukan padaku?!"
Belum pernah ia berciuman atau dicium oleh seorang pemuda seperti yang mereka lakukan sekarang.
Bradja merentangkan tangannya, menangkup wajah manis Kinara kembali agar gadis itu mau menatapnya."Kinara... Aku menginginkanmu..."
Kinara melongo kemudian ditepisnya."Kamu menginginkanku?"
"Aku menginginkanmu," ucap Bradja lagi."Karena ada sihirmu... Ada
kamu... Aku tidak akan merasakan rasa sakit pada kutukan ini..."
Kinara mencoba mencerna ucapannya.
"I-itu..."
"Aku menyukaimu, semenjak hari itu, aku ingin sekali bersamamu... Dari itu, bila Tuan Albert memerintahkan di antara kami ingin mencarimu, itulah kesempatanku untuk bisa keluar dari markas..."
Hah, tidak salah dengar? Cowok ini berarti diam-diam suka padanya? Itu berarti... Dia sama halnya dengan dirinya...
"Bradja," kata Kinara, sihirnya dihentikan. Dengan segenap jiwa, ia memberanikan diri untuk mengungkapkannya walau pertemuan itu hanya sementara dan baru mengenal pemuda yang terbaring ini. Bradja menangkup wajahnya, melanjutkan ciuman mereka. Dia kemudian merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukannya. Napas mereka saling memburu, Kinara mengeratkan lengannya pada leher Bradja dan akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan 'pesta kecil' mereka hingga larut malam. Keduanya tenggelam dalam dunia mereka, saling menutupi satu sama lain dengan selimut. Hujan turun dengan deras diiringi hawa dingin menyergapi. Tidak dengan mereka di kamar atas, yang hawa panas berasal dari masing-masing tubuh di bawah selimut saling menyatu. Sama-sama merasa kelelahan dengan napas terengah-engah. Walau masih dalam berduka cita, Kinara yakin, ia akan tetap kuat. Dengan tubuh kelelahan dan keringat mengucur di seluruh tubuh, mencoba memenjamkan mata namun pemuda di sampingnya yang sama sekali tidak melepaskan pelukannya."Kinara..."
Kinara menjawab hanya dengan dehaman pelan.
"Terima kasih," ucapnya, tidak ada rasa penyesalan sama sekali dalam perbuatan yang mereka lakukan.
Kinara yang kelelahan hanya bisa menjawab dengan dehaman pelan kembali, mencoba memejamkan kedua mata, terlelap dalam mimpi. Mereka bangun keesokan paginya, bukan mereka melainkan Bradja yang lebih dulu terbangun sementara gadis mungil itu masih terlelap dalam mimpi. Dia meraih bajunya yang terjatuh di lantai, mengenakannya dan beranjak dari kamar. Menuruni tangga menuju dapur. Makanan yang masaknya masih ada. Masih utuh tidak tersentuh karena kegiatan malam mereka kemarin. Dipanaskannya kemudian di wajan medium sembari menunggu masakan dihangatkan, melihat lengannya yang kemarin kambuh. Tidak ada bekas tanda itu lagi walau tanda kutukannya masih ada pada dirinya. Semenit kemudian masakan yang dipanaskan panas kembali meletakkannya di atas meja. Dia kembali menaiki tangga, masuk ke dalam kamar melihat Kinara sudah terbangun dengan rambut kusut. Badannya tertutupi oleh selimut.
"Sudah bangun?" kata Bradja, menghampirinya,"mandi atau sarapan dulu?"
Kinara mengucek kedua matanya, menguap lebar."Eem... Sarapan
dulu..."
"Oke, sarapan dulu. Sudah kuhangatkan masakan kemarin."
Bagai anak kecil, merentangkan kedua tangannya dengan malas. Bradja, yang segera tahu maksud gadis ini,"Pakai dulu bajumu. Baru kita sarapan."
Kinara yang malas tidak beranjak, melainkan kembali tidur.
"Kok kembali tidur, sih?" Menarik tangannya pelan."Ayo, bangun..." Membantunya bangun. Meraih piyama handuknya. Seluruh badan gadis ini lengket berkeringat akibat kegiatan mereka."Ayo, dong, Kina..."
Kesadarannya kembali utuh, melebarkan matanya saat Bradja memanggilnya barusan.
"Kenapa?"
"Kamu tadi manggil aku apa?" katanya parau.
"Kina, kan? Salah, ya?"
"Ah, enggak... Caramu memanggil mirip dia tahu..."
Bradja seakan merasa bersalah."Maaf, aku enggak tahu. Sekarang kita
turun," ajaknya menyeretnya keluar dari kamar.
Mereka nenuruni tangga menuju dapur. Kinara menggeser kursi, duduk. Bradja sendiri menyiapkan piring, meletakkannya di atas meja. Membuka penanak nasi di dekatnya. Mengambilkan nasi untuk dirinya dan Kinara."Segini?" tanyanya.
"Kurang," kata Kinara.
Dia mengambilkan lagi satu entong nasi ke piring Kinara, memberikannya kepada gadis itu. Kinara menatap masakan yang dimasak Bradja kemarin. Masakan itu sederhana sekali—ya, omelet telur, double makanya tampak lebar di atasnya diberi topping daun bawang yang melimpah.
"Mau kupotongkan?" tawar Bradja.
Kinara mengangguk mau. Bradja memotongkan telur omelet double di hadapannya dengan sendok. Dibaginya ke piring Kinara. Kinara merasa Bradja mirip dengan sosok Orion, bukan, melainkan bagaikan sosok seorang suami yang melayani istrinya dengan sangat setia.
"Seperti seorang suami, ya?"
"Apanya?"
"Kamulah."
Bradja meletakkan omelet ke piringnya sendiri."Oh."
"Memang benar, kok," terkekeh kecil.
"Bagus kalau begitu, kalau aku mau menjadi suamimu."
Kekehan Kinara terhenti."Selanjutnya, apa yang kita lakukan selanjutnya?"
"Kamu sendiri maunya ngapain?"
"Entahlah," memotong omelet lagi menjadi ukuran sedang.
"Makanlah dulu. Baru kita pikirkan selanjutnya."
Mereka menyantap omelet buatan Bradja bersama.
**
"Selanjutnya apa?"
"Hm?"
"Kok malah hm? Aku mau tanya, kapan kita bisa ke markas kelompokmu?"
"Kamu beneran kepingin ketemu langsung sama Tuan Albert?"
"Cuma itu satu-satunya cara," Kinara ngotot.
Bradja terdiam sejenak. Haruskah dia membawanya untuk menemui pimpinannya?
"Kamu sudah janji kemarin," Kinara merajuk."Dan kamu bilang ingin melindungiku."
"Baiklah."
Kinara sumringah mendengarnya.
"Ayo, kita berangkat! Kita datangi secara diam-diam tanpa ketahuan..."
"Aku akan melindungimu. Tapi, itu berbahaya bagimu."