Kinara terbangun dari tidur siangnya. Melihat Srikandhi di sampingnya masih terlelap tidur. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Soal ledakan tadi. Dengan secara diam-diam keluar dari kamar tanpa sepengetahuan siapa pun. Tidak peduli keringat membasahi dahi dan tengkuknya. Perlahan, tanpa membangunkan gadis mungil itu, ia turun dari tangga, lalu berbelok ke luar pintu yang bergeser otomatis. Mengendap-mengendap. Dari atas, dari satu jendela, Baru diam-diam memerhatikan apa yang dilakukan oleh Kinara. Muncul dari tangannya sebuah tombak emas—dengan nama di pinggirnya yang terukir, Baru Klinting. Dia melayang turun ke bawah menggunakan tombaknya. Mengikutinya segera. Saka, menyembul di lengan bajunya.
"Kamu menyadarinya juga?" katanya."Sebenarnya, kakak itu mau pergi ke mana?"
Kinara dengan berlari menuju ke arah bangunan hotel yang terbakar tadi. Dari sana ia melihat, tenyata hotel tersebut sudah digaris kuning—garis kuning tanda dari polisi sihir.
Bagus! Batinnya.
Di sana tidak ada siapa pun yang lewat karena sehabis ledakan, para warga di sekitar hotel dilarang memasuki area karena keamanan masih diperketat hingga besok. Ia mengendap-ngendap masuk, melangkah melewati garis kuning. Lantai bawah tampak biasa-biasa saja. Seisinya ada yang masih utuh. Dengan pelan, memasuki setiap ruangan dan ada lift. Mengarah ke tangga menuju lantai dua. Di lantai dua, sebagiannya hanya terkena cipratan ledakan dan semuanya tampak utuh. Lanjut melangkah lebih atas, ke lantai tiga yang di sana ada juga terdapat lift. Namun khusus lift darurat. Ia menaiki tangga menuju lantai tiga, di mana di lantai itu terjadi ledakan. Benar, di lantai yang dinaikinya atapnya menganga lebar dan rapuh. Bau asap dari atap dan sekitarnya masih tercium di hidungnya.
"Baunya masih tersisa," gumamnya, tanpa pikir panjang ia melangkah lebih dalam. Dari atas, langit memancarkan sinar jingga menuju warna keunguan bercampur hitam. Sudah berapa lama ia tertidur? Terdengar suara langkah terantuk sesuatu. Ia melihat dari arah kejauhan sosok siluet seorang pria. Rambutnya dipotong rapi, berwarna merah mirip rambut Keluarga Weasley. Rupanya rupawan dan berkulit cahaya. Matanya berwarna cokelat terang. Tubuhnya tegap dan tinggi. Lebih tinggi daripada Orion. Berpakaian rapi, mirip orang eropa. Sosok itu tersenyum ke arahnya.
"Sudah lama sekali, ya," sahutnya dengan nada kalem.
"Sudah lama?" kata Kinara bingung."Siapa?"
"Kamu lupa padaku, Kinara?"
Kinara mencoba mendekat tetapi ada suara yang memanggilnya dari belakang.
"Kakak!"
Kinara menoleh,"Kamu?"
"Aku tahu Kakak bakal ke sini," kata Baru."Kakak ngapain di sini?"
"Aku hanya penasaran saja," jawab Kinara.
"Kakak enggak takut diteror?"
"Diteror?"
"Diteror seseorang," lanjut Baru."Sepertinya Kakak sendiri sedang diteror. Aku bisa merasakan itu." Rambut dan bajunya tersibak oleh angin.
"Aku diteror sama seseorang?"
"Kakak ingin mencari tahu di sini?"
Kinara tidak menjawab.
"Dugaanku benar." Baru mendekatinya."Kita pulang saja dari sini. Firasatku enggak enak, begitu pula Saka..." ajaknya, menggamit tangan Kinara yang basah akibat keringat.
"Baru..."
"Apa?"
"Memang aku ini diteror sama seseorang?"
"Mungkin saja, Kak. Firasatku mengatakan begitu. Kakak harus hati-hati. Kakak merasa takut bukan?"
Mereka menuruni tangga menuju lantai dua.
"Aku... Aku takut..."
"Selama Kakak di Kelompok Kaia, mungkin Kakak sendiri akan aman menghadapinya. Kakak sebenarnya ingin mencari tahu soal Kakak diincar Kelompok Vadhala?"
"Aku..."
"Walau Kakak kuat, Kakak harus bisa menjaga diri," peringat Baru."Sama seperti anggota Pelindung lainnya."
"Baru, kamu bukan Lakon-ku tapi kamu gampang khawatir sama Spirit lain?"
"Aku hanya ingin Kakak baik-baik saja. Apalagi Kak Ofelia..."
"Maksudmu kenapa dengan Kak Ofelia?"
"Ceritanya panjang." Mereka menuruni tangga menuju lantai satu. Baru seketika waspada."Kakak jangan menjauh dariku!"
"Eh?"
Baru merasakan sesuatu semacam sihir. Muncul di belakang mereka, seorang pria tinggi dengan badan nan gagah, memakai baju berwarna ungu gelap.
"Tetap di belakangku, Kak," peringat Baru.
"Jangan berani kabur," kata pria itu dengan suara bariton. Menghampiri mereka.
"Siapa kamu?" tanya Kinara.
"Aku?" Seakan tidak peduli."Jangan bertanya soal pertanyaan setiap tokoh utama kerap menanyakan hal itu terhadap musuh," jawabnya.
"Memang di sini aku kan tokoh utamanya!" Kinara berkelit."Tanya saja sama yang pengarangnya!"
"Bocah, jangan kamu halangi mangsaku," dari bawah kakinya muncul seperti bayangan dan bayangan itu melesat ke arah mereka bagaikan sebuah tali. Baru segera waspada, menggendong Kinara ke atas tiang di atas mereka menggendong tubuh Kinara dengan tangan kiri sementara tangannya yang kanan bebas berpegangan pada tiang kayu.
Pria itu mendongak."Kamu gesit juga, ya?" Bayangan yang sama muncul, melesat ke arah mereka kembali. Baru melepas cengkramannya pada tiang menghindar, dan menjejakkan kaki ke lantai yang beralaskan karpet merah dengan corak bunga berwarna kuning emas. Bayangan itu terus melesat di mana mereka berusaha menghindar. Baru dengan gesit melompat-lompat agar tidak terkena serangan bayangan di bawahnya. Baru mengeluarkan kembali tombaknya. Tombaknya membentuk sebuah belati tajam dan terbagi menjadi banyak.
"Circle Lance!"
Tombaknya yang berubah menjadi beberapa belati kecil yang sama dengan warna tombak mulai berputar-putar. Baru menggerakkan jemarinya seakan memerintahkannya untuk menyerang musuhnya. Beberapa belati berputar melesat dan menghujamkan ke pria itu. Desingan belati berputar bercampur suara besetan. Pria itu melompat menghindari serangan belati. Beberapa belati langsung tertancap ke lantai.
"Serangan yang sia-sia, Bocah," ungkapnya.
"Baru..."
Baru diam saja.
"Kenapa Anda mengincar Kak Kinara?" tanyanya.
"Saya hanya ingin membawanya kepada pimpinan," jawabnya.
"Untuk apa?"
"Kalau soal itu saya tidak tahu. Karena pimpinan kami sangat menginginkannya."
"Kak," kata Baru."Cepat pergi dari sini. Panggil bantuan ke Kelompok Kaia..."
"Tapi, kamu bagaimana?"
"Aku sudah biasa seperti ini. Malahan melawan orang yang enggak percaya sama omonganku... Selain Kak
Ofelia... "
"Tapi, Baru..."
"Cepat pergi, Kak. Enggak ada waktu lagi. Kalau Kakak enggak pergi dari sini, Kakak sendiri yang dalam bahaya. Walau sekarang kita dalam bahaya..."
"Enggak." Kinara menggeleng."Aku akan tetap di sini. Dia memang mengincarku. Tapi, kita lawan sama-sama!"
Baru tersenyum.
"Kakak ternyata mirip orang itu, ya? Baiklah, kita lawan sama-sama," Baru merogoh kantong celananya. Memerlihatkan sesuatu."Ini,
pakailah," ucapnya.
Kinara menerima belati mungil itu. Ada bentuk lambang lengkungan seperti gambar ular bersisik putih di tengahnya serta berlian berwarna hijau. Belati itu dipasang di sarung tangannya agar tidak terlihat."Belati?"
"Kakak bisa pakai itu untuk menyerangnya. Pakaikan itu di tangan Kakak."
Kinara mengangguk. Memekaikannya di punggung tangannya.
"Jadi, kalian punya rencana untuk melawanku?" kata pria itu melangkah maju."Enggak akan kubiarkan kalian menyerangku." Bayangan di bawah kakinya muncul kembali melesat ke arah mereka. Baru kembali waspada, menggerakkan jemarinya cepat. Beberapa belati miliknya kembali terangkat melayang, lalu berputar.
"Kakak!"
"Aku tahu," Kinara berbalik di belakang Baru.
Pria itu waspada saat beberapa belati milik Baru berputar ke arahnya. Menyerang kembali. Bayangannya seketika membentuk menyerupai tameng kaca. Sebagian bayangannya melesat menyerang kembali Baru. Kinara menaiki tangga di belakang mereka. Menunduk menatap musuhnya.
"Bagus!" katanya, melompat dari atas. Dengan secepat mungkin berlari, merentangkan belatinya yang bersembunyi di balik lengannya.