"Masa kamu pernah bertemu kakakku?" tanya Kinara.
"Entah. Kurasa aku pernah bertemu dengannya," jawab Srikandhi."Yah, siapa tahu nanti aku bakal ingat bertemu kakakmu di mana. Kamu jadi beli yang mana nih foto?"
"Enggak. Aku cuma lihat doang," kata Kinara.
Mereka beranjak menuju rak selanjutnya hingga Kinara mendapatkan pensil mekanik lucu dan selesai membayar belanjaan masing-masing, keluar dari toko.
"Kita ke mana lagi?" kata Arimbi.
"Kita lihat saja dulu, Ar," jawab Cavan."Yah, hitung-hitung kita lagi refreshing."
Kinara yang berada di belakang Larasati menatap punggung Cavan. Saat pertemuan kemarin, pemuda tinggi dan tampan, yang seusianya mungkin sebaya dengan Arimbi dan Ofelia itu tampak tidak bersama Lakon-nya. Mencoba bertanya,
"Laras."
"Ya, Nona Kinara?"
"Aku mau tanya, abang itu dari kemarin enggak pergi bareng sama Lakon-nya?" bisik Kinara.
Larasati menatap Cavan yang berjalan bersama Baru mendahului yang lain."Oh, Tuan Cavan maksud, Nona? Dia enggak memiliki Lakon."
"Dia enggak memiliki Lakon?"
"Iya, Spirit pun dia bukan."
"Terus?" Kinara baru tahu.
"Dia penyihir dengan beda media. Seperti penyihir biasa di kota ini pada umumnya," lanjut Larasati.
"Tapi, kenapa dia ikut menjadi anggota dari Kelompok Kaia?"
"Tuan Cavan hanya ikut bergabung. Lebih tepatnya orang terpilih. Walau penyihir biasa, sihirnya kuat."
"Memang, Kelompok Kaia hanya ini saja?"
"Dulu ada dua anggota lagi. Namun mereka sudah gugur."
Kinara terdiam sebentar. Melanjutkan,"Mereka gugur dalam hal apa?"
"Dua di antara mereka adalah ketua kami. Dan satunya lagi seorang Spirit andal. Itu rumor yang dulu beredar."
Mereka berhenti di kedai es krim yang tampak ramai. Para penyihir berbondong-bondong mengantri. Apalagi anak-anak kecil. Cuaca masih saja memancarkan hawa panas.
"Kenapa kita berhenti di sini?"
"Kita mau beli es krim. Ofelia, kamu punya tambahan uang lagi? Sepertinya uangku kurang," pinta Arimbi.
Ofelia merogoh tas kecilnya, meraih dompet."Ada. Nih," memberikannya ke Arimbi.
"Padahal dirinya tuan putri. Tapi uang saja pinjam," ejek Orion sarkas.
"Apa kamu bilang?" Kuping Arimbi mendengar dengan sangat jelas ejekan sarkartis adiknya.
Orion menggeleng cepat-cepat.
"Eh, bukan apa-apa!" kelitnya.
Tidak jauh dari arah mereka, terdengar sebuah ledakan dari salah satu hotel.
"Suara apa itu?!"
"Suara ledakan?!"
"Cepat, ayo, kita lihat!" Srikandhi melayang mengajak Kinara yang berlari mengikutinya dari belakang. Ia tidak sadar, ada seseorang mengenakan pakaian khas eropa hitam melewatinya. Wajahnya tidak terlihat karena tertutupi oleh kedurung jubah. Kinara berhenti berlari, menoleh ke belakang. Hanya orang-orang yang berlarian ingin menyaksikan ledakan.
"Eh?"
Ia pun berlari lagi menuju hotel. Orang-orang menyaksikkan setelah ledakan dari luar hotel.
"Apa yang terjadi?!" Cavan yang duluan mendongak ke atas.
"Sepertinya barusan ada suara ledakan," kata Baru.
Polisi sihir beserta tim pemadam kebakaran tiba. Segera mengevaluasi keadaan hotel. Selang menjulur mirip ular melayang dan menyemburkan air dengan sendirinya ke segela arah bangunan hotel yang terkena kebakaran akibat ledakan.
"Kata Kakak kota ini aman?" kata Orion."Berarti cuma bualan..."
"Jaga ya, mulutmu," tanggap Arimbi tidak suka."Mana aku tahu ada kejadian kayak begini."
Orang-orang tampak panik. Para penggunjung hotel dan pegawai pun turut selamat namun terdapat luka-luka.
Tiga jam kemudian, kobaran api yang disebabkan ledakan hilang. Ledakan hanya di atas, di lantai tiga dan hangus tidak bersisa.
Semua orang telah diamankan dan tim medis telah tiba, segera memberikan pertolongan.
"Kenapa bisa ada ledakan di sini?" tanya wanita polisi sihir kepada korban yang selamat. Yang ingin tahu kronologinya. Dengan di tangan kanannya membawa buku catatan kecil serta bulpen.
"Saya enggak tahu, Bu. Sebelum kejadian semuanya baik-baik saja..." lengannya yang terluka kemudian dibersihkan dengan air hangat dengan pelahan oleh tim medis, lalu diberikan alkohol. Sang korban selamat mengernyit kesakitan.
"Tahan, ya, Nona," ujar tim medis tersebut dengan telaten memberikan alkohol pelan-pelan ke luka.
"Kejadiannya kapan?" desaknya.
"Tadi ini, Bu. Pihak hotel saja tidak ada yang mengetahui..."
"Apa ada orang yang sengaja memasang bom di sekitar hotel?"
Kinara bersama yang lain hanya bisa menyaksikan dan mendengarkan penuturan dari pihak kepolisian. Kinara malah mempunyai sperkulasi lain tentang ledakan yang terjadi dari hotel hari ini. Mereka memutuskan untuk kembali ke markas pusat. Jalan -jalan hari ini membuat mereka tidak merasa nyaman dan aman. Tiba di markas pusat dengan memunggangi naga yang dipesan oleh Arimbi sebelumnya, naga besar berkulit hitam dan memiliki tanduk di atas kepalanya, bertubuh kurus itu menjejakkan kaki ke jalan. Mereka semua turun.
"Terima kasih, Nona," ucap sang penunggang naga menerima uang pembayaran dari Ofelia.
Mereka melangkah masuk ke dalam markas.
"Bikin takut saja," kata Srikandhi, merinding, melayang melewati tangga ke atas menuju kamar."Aku mau istirahat."
Kinara ikut ke kamar, menaiki tangga.
**
Dengan cepat langit berubah dengan menjadi kelabu bercampur gulita. Hujan di kota tersebut turun secara gerimis. Hawa panas tergantikan menjadi segar. Berita ledakan tadi menyebar cepat. Televisi, surat kabar pun membahasnya secara beruntun. Walau tidak ada korban tewas, semua warga di kota bisa merasakan teror. Teror yang datang secara berlangsung. Para petugas kepolisian sihir mengerahkan beberapa tim untuk menjaga kawasan hotel. Para pegawai hotel dan sekitarnya telah diamankan ketat. Para warga yang hendak keluar harus diperiksa oleh polisi sihir agar memastikan keadaan yang mencurigakan.
"Yah, jadi gawat, deh," kata Ofelia, di kamar yang menjadi satu dengan Arimbi dan Larasati.
"Enggak biasanya kota ini kayak begini. Kota ini kan termasuk aman."
"Pasti ada dalang di balik ledakan
itu," kata Arimbi."Aku yakin."
"Tapi, kalau enggak dibuktiin kita enggak tahu siapa pelakunya? Ah, jadi merinding..."
"Sementara kita di markas dulu. Setelah sampai tadi, aku memasang sihir pelindung. Bagaimana dengan keadaan duplikat sihirmu?" Mengalihkan pandangan ke arah Larasati.
"Saya merasakan di sana enggak ada masalah, Nona."
"Baguslah."
Ofelia berdiri.
"Kamu mau ke mana?"
"Mau ke bawah sebentar," kata Ofelia, keluar dari kamar. Langkahnya menuruni tangga. Berbelok ke arah sudut, di mana ada sebuah rak buku. Ya, rak buku. Rak buku itu bergeser terbuka, ada sebuah lubang berbentuk kotak. Di bawahnya terdapat tangga yang menjorok ke bawah. Di bawah memang sangat gelap, untungnya, dia menyalakan senter terlebih dahulu di handpone-nya. Senter menyala. Dia melangkah pelan menuruni tangga batu tersebut dengan hati-hati. Tepat berada di bawah, dia melangkah menuju ruangan yang ruangan itu tertutup. Meraih kunci di atas gantungan di sebelah pintu, memasukkan kunci ke lubangnya, memutarnya. Terdengar suar cleck kasar, pintu terbuka deritannya terdengar di ruangan itu sendiri. Masuk, senter dari handpone masih menyala menyinarinya. Mengarahkannya pada sebuah lemari kecil. Ruangan yang dimasukinya seperti ruangan kerja. Ada rak-rak buku yang kosong. Lemari tersebut masih terlihat bagus. Menghampirinya, membukanya, di dalamnya terdapat beberapa foto. Foto tersebut diambilnya dengan tempat dan sudut berbeda. Salah satunya, ada foto tiga orang gadis. Di samping kirinya ada gadis berambut panjang mengenakan bando bermotif batik kanannya ada gadis manis dan terkesan feminim, berambut dikepang belakang, dengan menggunakan pita kuning tampak tersenyum memeluk seorang gadis kecil di depannya—Kirana Danille. Ofelia menghela napas, mengembalikan foto-foto itu kembali ke dalam rak. Berbalik kembali keluar dari ruangan itu dan menutupnya rapat.