"Ayo, turun," titah pria itu.
Farah masih mematung diposisinya, pandangannya memperhatikan bangunan megah dihadapan mereka.
"Eh, Bang Fathur mau ngapain?!" tanyanya yang sontak memundurkan tubuhnya kebelakang, melekat dikursi mobil. Ia dikejutkan dengan ulah pria itu.
"Mau bukain sabuk pengaman, orang kamunya diem aja dari tadi."
Pria itu bersikap seolah tanpa salah, padahal jarak wajahnya dengan Farah hanya beberapa centi.
"Farah bisa sendiri." Farah mengalihkan pandangannya, menunduk.
Bang Fathur kembali ke posisi normalnya, "Kirain kamu mau buat aku peka gitu, eh ternyata ngga. Akunya aja yang terlalu peka jadinya gitu, maaf ya." Pria itu tertawa salah tingkah.
Keduanya turun dari mobil. Farah mengikuti langkah pria yang berjalan dihadapannya. Langkahnya terhenti didepan pintu besar itu.
"Ga ada orang ya di rumah?" Farah memonitor kedalam saat Bang Fathur sudah membuka pintunya.
"Bentar lagi bunda sama Tante Maya pulang kok. Galu lagi main futsal. Nanti pintunya dibuka aja, yaudah yuk, masuk."
Pria itu sepertinya paham dengan maksud Farah. Dia masuk lebih dulu kedalam, membuka lebar kedua daun pintu itu, mempersilahkan Farah masuk.
"Kamu duduk dulu, ya. Aku mau ganti baju bentar." Pria itu tersenyum lalu berlenggang menuju tangga.
Farah hanya mengangguk, memonitor sekelilingnya, ternyata tidak ada yang berubah, semuanya masih kelihatan sama disana. Farah mengeluarkan handphonenya, ia mulai menggeser-geser layar handphone ditangannya.
"Assalamu'alaikum!"
Pandangannya teralih ke ambang pintu, tampak Bunda Nida dan Tante Maya masuk ke dalam dengan banyak tentengan dikedua tangan mereka.
"Eh, ada Farah? Udah dari tadi?" Bunda Nida menghampirinya sembari tersenyum hangat.
"Wa'alaikumussalam. Farah belum lama kok, Bun." Farah balas tersenyum.
Wanita itu meletakkan belanjaannya diatas meja, Farah bangkit dari duduknya, ia meraih tangan Bunda Nida lalu menciumnya. Bunda Nida balas memeluknya singkat.
"Ini yang waktu itu, kan?" Tante Maya menatap Farah lekat. Sepertinya dia ingat dimana pertama kali melihat Farah.
Farah beralih pada Tante Maya, mencium punggung tangannya, tersenyum manis. Ya, pertama kali mereka bertemu saat terjadi pertengkaran di rumah itu beberapa waktu lalu.
"Pacarnya Fathur, ya?"
Pertanyaan Tante Maya membuat Farah membulatkan matanya. Sementara Bunda Nida hanya tersenyum seperti biasa.
"Bu-bukan Tante," katanya mencoba menjelaskan.
"Calon istri, Tan!"
Mereka beralih menatap Fathur yang menuruni anak tangga dengan pakaian santainya. Pria itu berjalan menghampiri mereka.
"Oh, calon kamu! Cantik ya, pinter banget kamu milihnya. Nanti ajarin Galu milih calon istri juga, ya!" Tante Maya mengusap-usap punggung Bang Fathur, namun wajahnya tersenyum pada Farah.
"Eehh, sudah-sudah. Farah ini hanya adikan kelasnya Fathur dulu. Tapi kalau mau jadi istrinya ya pasti bunda dukung sekali, Aamiin!" Bunda Nida merangkul Farah.
Farah yang tidak memiliki kesempatan untuk berbicara hanya menampilkan raut wajah bingung, lucu, menggemaskan. Sekarang ia terjebak dalam situasi ini.
Mereka tertawa, kecuali Farah yang hanya tersenyum canggung. Rasanya ia ingin segera pergi dari sana. Jika ini yang ingin ditunjukkan Bang Fathur, pria itu benar-benar membuang-buang waktunya.
"Galu belum pulang, ya?" tanya Tante Maya saat tak melihat putranya.
"Belum, Tan."
"Yaudah kalau gitu Tante ke atas dulu, ya." Tante Maya tersenyum, lalu berlenggang ke arah tangga.
"Sini biar Fathur aja yang bawa belanjaan Bunda," pinta pria itu yang langsung mengambil belanjaannya, "Bunda disini aja, ada yang mau Farah bilang tuh sama bunda," sambung Bang Fathur.
Bunda Nida membiarkan putranya membawa belanjaan darisana. Bunda Nida mempersilahkan Farah duduk, kini mereka duduk bersebelahan.
"Kamu mau ngomong apa sama Bunda?" tanya Bunda Nida.
Jadi ini maksud Bang Fathur, dia ingin Farah menceritakan masalahnya dengan Bunda Nida. Semoga saja Bunda Nida paham dan bisa membantu.
"Apa Bunda bisa bantu?" tanya Farah ragu sesaat setelah menceritakan masalahnya.
Bunda Nida tampak berfikir, tampak dari raut wajahnya yang terlihat serius. Farah takut sekali jika Bunda Nida menolak, ia tidak tau mau minta tolong pada siapa lagi.
Bunda Nida tersenyum, "Kamu udah Bunda anggap seperti anak sendiri, kamu udah banyak bantu Bunda dan Fathur. Mungkin, ini saatnya Bunda balas kebaikan kamu." Bunda Nida mengusap lembut kepala Farah.
"Ja-jadi maksudnya Bunda bisa bantu Farah?!" tanyanya antusias. Mengingat nominal yang dibutuhkan pesantren sebesar itu bukan dalam jumlah yang sedikit.
"Iya, Sayang."
Farah tersenyum bahagia, ia memeluk wanita disebelahnya. "Makasih, Bundaa!"
"Sama-sama, Sayang." Bunda Nida membalas pelukan Farah.
Itu artinya, Farah berhasil mendapatkan satu donatur tetap untuk pesantrennya. Tinggal mencari satu donatur lagi dan masalahnya InsyaaAllah akan selesai, tapi waktu yang ia punya hanya sampai besok.
"Sweet kali ya kalau nanti liat pemandangan kayak gini tiap hari!"
Suara itu membuat pelukan mereka terlepas, keduanya memandang pria yang sudah berdiri dihadapan mereka dengan sebelah tangan dia masukkan ke saku celananya.
♡♡♡