"Kamu ga cari masalah kan di pesantren?" tanya Abi menyelidik.
Farah menggeleng. "Ngga kok, Bi. Farah ini pulang secara terhormat!"
"Terus kapan balik lagi ke pesantren? Kamu bisa ketinggalan pelajaran kalau lama-lama ga masuk!" kata Ummi yang duduk disebelah abi yang tengah mengendarai mobil.
"Cuma tiga hari kok Farah pulang, habis itu ya balik lagi ke pesantren." Farah memperhatikan jalanan yang ramai.
Suasana yang sangat dirindukannya, melihat keramaian kota dan orang lalu-lalang di jalan. Serasa baru keluar dari penjara, iya, penjara suci. Hal ini pasti sulit dijelaskan jika kalian tidak merasakan sendiri bagaimana rasanya.
"Tapi Ummi bingung, deh. Ustadzah nyuruh Ummi sama Abi jemput hari ini karena kamu diizinin pulang, cuma untuk nebus libur kamu waktu sakit hari itu? Bisa gitu, ya? Aneh," kata Ummi yang sesekali menoleh kebelakang, menatap Farah yang sendirian duduk dikursi tengah.
"Yaa bagus dong, alhamdulilah malah kalau Farah pulang. Udah lama juga ga pulang, emang Ummi sama Abi ga kangen sama Farah?"
"Kangen dong, makanya waktu dikasih tau kamu boleh pulang Ummi sama Abi langsung buat rencana untuk jalan-jalan besok, gimana?"
Farah tampak berfikir, kepulangannya bukanlah untuk bersenang-senang. Ia pulang untuk mencari beberapa donatur tetap untuk pesantrennya yang kini hanya bisa bertahan hingga dua minggu lagi. Tapi jika ia menolak, pasti orang tuanya akan curiga.
***
"Teh, kunaon ngelamun terus?" Nafsah menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Tepat disamping kiri Farah.
"Kumaha, ya? Dimana nyari orang kaya yang baik?" Farah menepuk-nepuk dahinya dengan handphone yang ia pegang dengan kedua tangannya. Berharap itu dapat membantu menemukan ide, tetapi tidak.
"Ealah itu mah gampil pisan! Cari aja temen-temen Teteh yang orang tuanya kaya!"
"Iyaa tapi teh saha?"
"Pikirin aja sendiri!" Nafsah kemudian berlalu keluar kamar.
Farah terus berfikir, mengingat waktunya tinggal dua hari lagi untuk kembali ke pesantren, dan Farah juga sudah berjanji akan membawa solusinya untuk menyelamatkan Pesantren Daarul Yunus. Suara panggilan masuk di handphone-nya terdengar, Farah langsung mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum," katanya membuka pembicaraan.
"Wa'alaikumussalam. Farah, kok ga bilang kalau kamu pulang?"
"Hehee iya maaf, Tika. Ada apa, nih?"
"Aku bakalan terima maaf kamu kalau besok kamu mau ikut makan bareng aku sama Akbar!"
Farah membulatkan matanya, dahinya berkerut, berbagai prasangka muncul begitu saja.
"Ka-kamu sama--"
"Eh ngga gitu maksudnya, aku sama Akbar tau kalau kamu pulang. Nah, dia mau traktir kamu tapi ga berani bilang dan yakin kalau kamu bakalan ga mau, makanya dia ajak aku dan minta aku sebagai perantara gitulah."
Tika yang paham langsung menjelaskan. Farah menghela nafas lega. Ia berfikir sejenak, mungkin bertemu dengan Tika akan menemukan solusi untuk masalahnya.
"Ooh, oke. Besok ya, di black coffee and resto, jam setengah dua siang."
"Oke aku bilang dulu ke Akbar, ya. See you Farah, miss you! Assalamu'alaikum."
"See you too. Wa'alaikumussalam."
Panggilan ditutup.
Farah meletakkan handphonenya di nakas sebelah tempat tidur. Gadis itu beranjak dari kasur dan berjalan keluar kamar.
"Bi, besok Farah mau pergi sama Tika. Boleh, kan?" tanyanya to the point saat mendapati sosok abinya yang duduk di kursi tamu.
"Boleh, besok Abi antar. Jam berapa pulang?"
"Pergi aja belum udah ditanya jam berapa pulang, ya belum tau. Nanti kalau udah selesai baru Farah telpon Abi."
"Yaudah," jawab Abi singkat.
"Oke, makasih, Bi." Farah tersenyum manis lalu pergi dari sana.
***
"Udah nunggu dari tadi?" Farah menarik satu kursi kosong disamping Tika.
"Belum, baru aja." Tika tersenyum.
Tika memegang tangan Farah diatas meja, "Aku kangen sama kamuuu," katanya yang terdengar seperti rengekan.
Farah menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Tika, setelah itu ia memeluk Tika singkat. Senyuman tak lepas dari wajah keduanya.
"Akbar mana?" tanya Farah sesaat kemudian.
"Ciee ga sabar ya mau jumpa Akbar, udah kangen yaaa," goda Tika.
"Ish nggalah! Aku cuma nanya aja."
"Santai, dong. Ternyata Farah masih kayak dulu ya, belum berubah." Tika tertawa kecil.
"Udah sempet berubah sih sebelumnya, tapi habis itu berubah lagi." Farah nyengir lebar dengan mata terpejam, tangannya juga terangkat menunjukkan peace.
Tika menggelengkan kepalanya melihat tingkah gadis cantik dihadapannya. Tangannya kemudian merogo tas selempang berwarna hitam yang tidak terlalu besar diatas meja, Tika mengeluarkan handphonenya.
"Yahh," lirih Tika setelah membuka handphone-nya.
"Kenapa?" tanya Farah saat melihat ekspresi wajah Tika yang berubah.
"Ini si Akbar ga bisa datang katanya ada urusan." Tika menatap Farah.
"Gimana, sih? Udah dia yang ngajak eh malah dia yang ga dateng! Ga jelas."
"Katanya maaf dia ga bisa datang karena ini menyangkut nama baik orang tuanya, mungkin lain kali. Gapapa, ya?" Tika berusaha memberi pengertian pada Farah.
Farah mengangguk, sedikit kecewa.
"Eh, itu kayak..." Farah menyipitkan matanya, "Bang Fathur sama Bang Fatih, kan?" sambungnya.
Tika mengikuti sorot mata Farah yang tertuju pada dua orang pria di meja ujung.
"Kita samperin, yuk? Udah lama ga jumpa mereka!" Farah tersenyum antusias.
Tika mengangguk, mengikuti langkah Farah menghampiri kedua abangan kelas itu. Tika yang sudah kenal dengan mereka tentu tidak akan keberatan jika harus berbagi meja, begitupun dengan mereka yang pasti tidak akan menolak Farah di mejanya.
"Loh, Farah?" Tunjuk Bang Fathur. Senyumannya mengembang.
"Bukannya kamu di pesantren, ya?" tanya Bang Fatih yang tersenyum tipis.
Farah dan Tika langsung duduk dihadapan mereka tanpa diberi izin oleh pemilik meja, senyuman manis masih melekat diwajah Farah.
"Iya, Bang. Semalam baru pulang, terus baliknya besok lusa."
"Kok cepet kali?" Komentar Fathur.
"Hehee iya, Bang. Kalau abang berdua ngapain disini?"
"Ooh, ini si Fatih mau curhat makanya ngajak ketemuan disini!" Bang Fathur tertawa.
Bang Fatih tampak salah tingkah, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria itu tampak tampan dengan kemeja hitam dan celana jeans yang dikenakannya, gaya rambutnya juga bagus, pria itu tampak lebih cool. Bang Fatih juga memiliki kharisma tersendiri diwajahnya.
"Emang Bang Fatih mau curhat apa ke Bang Fathur? Sini curhat ke kami aja, kami lebih profesional dibanding Bang Fathur!" Tika tertawa kecil setelah melontarkan kalimatnya.
"Sembarangan!" kata Bang Fathur tak terima. Ekspresinya mengundang tawa mereka yang duduk di meja itu.
Bang Fathur juga tak kalah tampan dengan jeans dan kaus oblong abu-abu yang dikenakannya, rambutnya yang codet samping menambah ketampanannya bahkan dua kali lipat dari Bang Fatih. Jangan dibayangkan wajah kedua pria itu, kalian tak akan sanggup!
"Tadi Fatih cerita, katanya dia dijodohin gitu sama anak orang kaya terus lumayan cantik, tapi malah dia tolak. Kan goblok bener nih temen gue!" Bang Fathur menatap Bang Fatih kesal.
Mendengar penuturan Bang Fathur, Bang Fatih langsung mentoyor kepala pria disampingnya, tak terima dengan ucapannya. Sudah biasa, melihat tingkah keduanya jika bersatu ya pasti seperti itu sehingga Farah dan Tika tidak perlu heran lagi.
"Serius, Bang? Wahh nanti undang kami ya!" Tika tertawa.
"Udah di tolak dia perjodohannya dekku!" Bang Fathur menanggapi ucapan Tika barusan.
"Ya gimana ga aku tolak perjodohannya? Tamat kuliah aku langsung disuruh nikahin anak orang, mau dikasih makan apa nanti tu anak?!" Bang Fatih menjelaskan dengan gelengan kepala.
"Ya kasih aja makan nasi! Kok susah," kata Bang Fathur terlihat sepele.
"Lauknya?"
"Batu!" Bang Fathur tertawa.
"Jangan mau kalian jadi istri Fathur kalau ga mau dikasih makan batu!" Bang Fatih memperingati Farah dan Tika yang hanya geleng-geleng kepala saja melihat kedua abangan kelas itu.
Kedua pria itu melanjutkan obrolannya yang sebenarnya menarik dan mengundang tawa, namun Farah teringat akan masalah di pesantren. Kini gadis itu merenung, memikirkan solusi.
"Farah!"
Gadis itu tersentak kaget saat Tika sedikit mengguncangkan badannya dan berteriak ditelinganya. Bang Fathur dan Bang Fatih memperhatikan Farah, aneh.
"Kamu lagi ada masalah?" tanya Bang Fatih yang sepertinya paham.
"Ng-ngga, Bang." Farah berusaha tersenyum.
"Jangan bohong, sosok Fathur ga bisa dibohongin." Bang Fathur menyipitkan matanya menatap kearah Farah dengan gayanya.
Tika menggelengkan kepalanya, memutar bola matanya jengah melihat abangan kelas yang satu itu. Memang sifat Bang Fathur yang sekarang sudah sangat berbeda dengan yang dulu, jadi maklumi saja.
"Bilang aja kalau kamu lagi ada masalah, cerita. Siapa tau kami bisa bantu." Tika berusaha meyakinkan Farah untuk bercerita.
Setelah memikirkan bahwa ucapan Tika ada benarnya, Farah tak berfikir panjang untuk menceritakan masalahnya di pesantren kepada orang-orang terdekatnya sekarang. Farah menceritakan dari awal, saat ia difitnah, hingga bagaimana masalahnya bisa sampai di titik ini.
"Songong banget tuh orang mentang-mentang keluarganya punya kuasa, kalau cowok tadi udah jadi perkedel dia kubuat!" Bang Fathur memukul meja. Membuat yang lainnya sedikit kaget.
"Sabar bos, sabar!" Tika mengarahkan.
Bang Fatih tertawa kecil melihat tingkah temannya itu, dia menggelengkan kepalanya. Tak bersuara, pria itu tampak sedang berfikir. Kini tatapannya tertuju pada Farah.
"Kamu butuh berapa banyak dana dan donatur?" tanya pria berkemeja hitam itu.
"Mmm..perlunya sih banyak, Bang. Tapi Farah diminta cari sisanya, dua donatur lagi. Karena dibalik ini sebenernya ada masalah lagi, tapi Farah ga tau masalahnya apa. Jadi yaudah, gitu," jelas Farah.
Hening...
Beberapa menit berlalu, kini pelayan menghidangkan makanan yang sudah mereka pesan. Setelah mengucapkan terimakasih, pelayan itu langsung pamit kembali.
"Yuk, makan dulu. " Bang Fatih tersenyum.
Farah dan Tika mengangguk, lalu mereka langsung menyantap makanan yang mereka pesan. Begitupun dengan kedua pria itu yang juga menyantap hidangan mereka.
"Bang Fatih kenapa ga dihabisin makanannya?" tanya Farah saat melihat masih ada separuh makanan yang tersisa di piring pria itu.
"Kenyang, nanti disambung lagi, tenang aja." Bang Fatih tertawa kecil lalu meneguk minumannya.
Mereka telah selesai dengan makanannya, kecuali Bang Fatih.
"Udah jam segini, pulang yuk nanti kesorean." Tika melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Eh, iya. Bisa kenak ceramah nanti kalau kelamaan pulang!" Farah bergegas mengeluarkan handphone yang tadi ia masukkan kedalam tas selempang coklat yang dibawanya.
"Farah, kamu pulangnya sama aku aja."
Suara itu membuat kepala Farah terangkat, tangannya terhenti mencari nomor abi di handphone dalam genggamannya.
"Ta-tapi nanti..."
Gadis itu teringat akan larangan-larangan orang tuanya. Bukannya ia masuk pesantren karena ketahuan abi kalau ia sempat berduaan dengan Bang Fathur dalam ruangan yang tertutup? Jika ia ketahuan diantar pulang dengan pria apa lagi orang yang sama, apa abi akan langsung mengirimnya ke luar angkasa supaya tidak berdekatan lagi dengan pria?
"Udah jangan takut, aku janji kamu ga bakalan dimarahin abi kok." Bang Fathur yang sepertinya paham dengan raut wajah Farah memberi pengertian.
Farah mengangguk ragu, sebenarnya ia tak yakin dengan itu, tapi entah kenapa ia juga tidak bisa menolak. Sedangkan Tika sudah pamit lebih dulu.
"Tunggu disini bentar ya, biar aku bayar dulu," pinta Bang Fathur. Farah mengangguk, pria itu lalu berlenggang ke meja kasir.
"Udah jangan dipikirin kali, pasti nanti kamu bisa dapetin donaturnya kok."
Farah menoleh pada pria yang duduk dihadapannya. Bang Fatih lanjut menyantap makanannya. Farah tersenyum pada pria itu. Sepertinya kegelisahannya terlalu kelihatan sampai-sampai Bang Fatih bisa membaca raut wajahnya.
"Udah aku bayar semua makannya, nanti itu ga usah dibayar lagi ya, bro!" Bang Fathur memasukkan uang kembalian kedalam dompetnya, lalu menyimpan dompet itu disaku celananya.
"Siap, makasih bro!" Bang Fatih mengacungkan jempolnya.
"Yuk, Farah," ajak Bang Fathur.
Farah mengangguk, berpamitan pada Bang Fatih yang masih makan. Lalu ia berjalan tepat dibelakang Bang Fathur.
"Thur! Hati-hati, ya!" pekik Bang Fatih.
"Aman!"
Pria itu berjalan menuju parkiran mobil.
"Abang naik mobil?" tanya Farah sesaat setelah pria itu membukakan pintu mobilnya untuk Farah.
"Iya, soalnya tadi sekalian ngantar Bunda sama Tante Maya belanja." Pria itu berjalan dari depan mobil lalu membuka pintunya sendiri.
"Ayo cepet masuk," titah Bang Fathur yang sudah duduk didalam mobil, sementara Farah masih mematung menatap pintu mobil yang terbuka.
"Eh, iya, Bang."
Bang Fathur menyalakan mesin mobil, lalu mengendarainya keluar dari parkiran.
"Loh, Bang? Mau kemana? Ini kan bukan arah ke rumah Farah?" tanya Farah setelah menyadari bahwa Bang Fathur membawanya kearah yang salah.
♡♡♡