'Terkadang kita harus melepaskan demi mendapatkan perubahan, dan itu semua butuh proses dan pengorbanan yang tak mudah.'
***
"Teteeehh!!"
"Apa sih?!" ketus Farah.
Nafsah memeluknya erat, bahkan dia mengguncang-guncang tubuh Farah. Farah segera menepis tangan Nafsah. Kini adiknya itu duduk disebelahnya dengan wajah sumringah.
"Kunaon?" tanya Farah yang sebenarnya tidak tertarik membahas masalah adiknya, yang biasanya membosankan.
"Aku buat komitmen sama dia, Teh!" Nafsah tampak senang.
Farah mengernyit, "Dia, saha?"
Nafsah memperhatikan sekeliling memastikan tidak ada seorangpun disana, "Mumtaz," lirihnya.
Farah tak bergeming, ia seolah mematung menatap gurat bahagia diwajah Nafsah. Sejurus kemudian ia berusaha tersenyum.
"Apa komitmennya?" tanya Farah.
"Kami bakalan jalani hidup kami masing-masing, tapi tetap jaga hati untuk satu sama lain. Dan Mumtaz juga janji setelah selesai pendidikannya dia bakalan lamar Nafsah, Ya Allah seneng pisan..." Nafsah memejamkan matanya, senyuman itu tak pudar dari wajahnya.
"O-oh," Farah tetap berusaha tersenyum dihadapan adiknya.
Dari sekian banyak orang yang mendekatinya, tak semuanya bisa singgah. Farah hanya mengizinkan beberapa, itu pun ia tidak bisa memilih semuanya. Pasti ada yang lebih baik diantara yang terbaik. Dan Farah sudah menemukannya.
***
"Farah, ayo cepat bersiap!"
"Bersiap untuk apa, Mi?" tanyanya sambil mengusap-usap matanya.
"Tadi ustadzah nelepon, kamu disuruh balik ke pesantren hari ini." Ummi sibuk mondar mandir di dapur untuk menyiapkan sarapan.
Mata Farah langsung terbuka lebar, "Ta-tapi kan.."
"Masalah donatur katanya sudah selesai, mereka mengucapkan terimakasih sama kamu karena udah nyari donatur tetap untuk pesantren." Ummi yang mengetahui permasalahan anaknya itu tersenyum sekilas lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
"I-iya, Farah mandi dulu baru siap-siap." Langkahnya terasa berat untuk pergi dari pijakannya.
Semalaman ia gelisah memikirkan masalah donatur, tapi kenapa tiba-tiba sudah ada saja? Farah melangkah menuju kamar mandi setelah itu bersiap-siap.
Otaknya terus bekerja memikirkan siapa donatur tetap selain Bunda Nida? Ummi dan Abi baru tau masalah ini semalam, tak mungkin jika mereka yang melakukan ini. Lalu siapa donatur itu?
Beberapa menit berlalu.
"Loh, Teteh mau kemana?" Adhwa yang sedang nonton Upin Ipin itu bertanya saat melihat kakaknya sibuk mengenakan hijab.
"Mau balik ke pesantren," jawab Farah singkat. Ia fokus memasangkan jarum pentul di hijabnya.
Adhwa hanya manggut-manggut, matanya kembali fokus pada kartun kesukaannya. Padahal hanya serial itu saja yang diulang-ulang dan mereka juga tak kunjung bertambah besarnya. Tapi kata Adhwa, 'Teh Farah jadi Kak Ros, Teh Nafsah jadi Upin, Adhwa jadi Ipin. Nah, kan pas!' Adhwa sudah mengatakannya empat tahun yang lalu dan sampai sekarang dia masih sering mengulang ucapan itu, apa lagi jika Farah sudah marah. Kata-kata itu seolah bisa mengubah amarah menjadi tawa bagi Farah. Ditambah lagi Adhwa paling bisa meniru ekspresi ketiga tokoh yang menggemaskan itu.
"Farah, nanti siap ngantar kamu Ummi sama Abi langsung pulang, ya? Kesian kalau adik-adik kamu ditinggal lama-lama di rumah berdua." Ummi menuangkan segelas teh manis hangat untuk Farah yang kini sedang duduk menyantap sarapannya.
"Kenapa mereka ga ikut aja?" Farah memasukkan sesuap nasi goreng kemulutnya.
"Nafsah nanti mau kerja kelompok di rumah, kalau Adhwa ga mau ninggalin siaran kesukaannya itu." Ummi tertawa saat melihat Adhwa yang fokus didepan TV.
Farah mengangguk, melanjutkan sarapannya. Ada rasa senang sekaligus sedih saat ia harus kembali ke pesantren. Ia akan kembali dalam lingkungan yang penuh peraturan.
Setengah jam berlalu, kini mereka sudah duduk didalam mobil. Abi segera melajukan mobilnya dengan kecepatan agak tinggi, mengingat ummi dan abi harus mengejar waktu lagi untuk bekerja.
Selama di perjalanan Farah masih memikirkan siapa donatur yang telah menolongnya? Lalu di seperempat perjalanan Farah tertidur pulas di kursi tengah.
Farah mengerjap-ngerjapkan matanya saat merasa mobil itu berhenti melaju. Ia kembali duduk, memperhatikan tempat mobil itu terparkir. Mata Farah yang sudah terbuka kini memperhatikan sekeliling memastikan ia benar-benar sudah berada di pesantren.
Ummi dan Abi hanya mengantarnya hingga di depan asrama, setelah itu mereka kembali pulang. Farah yang sudah mulai terbiasa jauh dari kedua orangtuanya pun merasa perpisahan seperti itu sudah tidak terlalu berat baginya.
"Farah!"
Farah berbalik, menyipitkan matanya dan melihat seseorang yang memanggilnya. "Akbar?"
♡♡♡