'Hidup tak selalu mengikuti rencana, kadang yang tak diinginkan dapat terjadi. Menyadarkan kita bahwa pengatur kehidupan ini lebih tau yang terbaik untuk diri yang perlu banyak berbenah ini.'
***
"Ciee yang habis ditembak sama Fathur!"
Pekikan itu membuat Farah menoleh kebelakang. Tampak sosok pria tampan sedang menyandarkan tubuhnya di dinding koridor sekolah. Sebelah tangannya ia masukkan ke saku celana sekolahnya.
Pria yang biasa ia panggil 'Bang Fatih' itu menghampiri Farah dengan senyuman simpul diwajahnya. Farah mematung masih dengan ransel dipundaknya.
"Selamat, ya!"
Farah mengerutkan dahinya. "Farah ga terima Bang Fathur kok," tuturnya polos.
Bang Fatih tertawa kecil, "Ga mungkinlah ada yang nolak sosok Fathur! Udah anak kepala sekolah, tajir, otaknya juga masih bisa dipakelah, meskipun kegantengannya lebih sepersen aja dariku."
Farah diam, bingung harus mengatakan apa. Sekarang ia tau bahwa Bang Fatih memiliki gurat kesedihan dalam wajahnya yang terbaca oleh Farah. Gadis itu beranggapan bahwa Bang Fatih sedang cemburu saat ini padanya dan Bang Fathur.
"Kamu takut ya sama dia karna dia galak?!" Bang Fatih tertawa, menambah ketampanannya.
"Ngga, Bang. Farah emang ga boleh pacaran sama abi." Farah tersenyum tipis.
"Alhamdulillah, bagus deh kalau gitu."
"Bagus kenapa, Bang?"
"Ya bagus karna masih ada kesempatan!"
Farah mengernyit, menatap pria yang kini sudah berlalu dari hadapannya. Setelah mengatakan itu, Bang Fatih tersenyum kecil kemudian langsung meninggalkannya disana tanpa berkata-kata lagi.
Farah yang tak ingin ambil pusing kini kembali melanjutkan langkahnya memasuki kelas yang sempat tertahan oleh polisi tampan tadi.
"Hei, Sayang!" kata seseorang yang langsung merangkul bahunya.
Farah menatapnya tajam. Seorang pria tertawa melihat ekspresi lucu gadis yang menurutnya menggemaskan itu. Ghali langsung menurunkan tangannya, tak mau cari masalah.
"Eh, si buaya itu masih sering ngechat kamu?" tanya Ghali saat mereka beriringan menyusuri koridor sekolah.
"Ya nggalah, mana bisa buaya ngetik di HP! Jarinya kebesaran." Farah mengeluarkan jawaban yang terlintas dibenaknya.
Ghali melongo, sedetik kemudian dia tertawa. Sifat Farah yang satu ini sangat disukai olehnya, jujur, care, juga polos (mungkin).
"Bukan buaya yang itu!" Ghali menepuk dahinya setelah puas tertawa. Ekspresi Farah yang datar menjadi daya tariknya.
"Terus?"
"Buaya kelas sebelah maksud aku."
Farah menghentikan langkahnya. Ghali yang menyadari itu ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" tanya Ghali menatap Farah bingung.
"Di kelas sebelah ada buaya?!" Farah bertanya dengan sedikit histeris.
Mungkin ini efek karena Farah sedang banyak pikiran, ditambah lagi besok dia harus menimba ilmu di pesantren. Sampai-sampai omongan Ghali tak bisa dia serap dengan benar.
"Bukan, Farah..." Ghali menghampiri Farah yang tertinggal beberapa langkah dibelakangnya.
"Spesies buaya darat yang biasanya suka modus ke cewek," sambung Ghali.
"Kamu, dong?!" pekik Farah asal sambil menatap Ghali tajam.
Ghali membulatkan matanya. "Bukan aku! Si Zaid tuh!"
"Akbar maksudnya?" tanya Farah memastikan.
"Giliran nyebut nama belakangnya aja langsung konek, coba tadi? Untung Ghali sabarnya luar binasa!" Ghali membenarkan kerah bajunya dengan gaya aneh, ditambah lagi senyumannya yang membuat Farah bergidik ngeri langsung berlalu meninggalkannya.
"Eh, Farah! Jawab dulu pertanyaanku tadi!" Ghali berlari kecil untuk menyamai langkahnya dengan Farah.
"Ga ada Ghali, Sayang. Dia ga ada ngechat aku lagi, mungkin dia udah bahagia sama Vira." Farah tersenyum sambil menepuk pelan pipi kiri Ghali kemudian meninggalkan temannya itu disana.
Sepertinya Ghali salah tingkah mendapat panggilan dan perilaku Farah yang limited edition kali ini. Dia hanya mematung menatap punggung Farah yang mulai menjauh.
"Ya Allah, jadi gitu rasanya dapet sentuhan dari bidadari dunia." Ghali memegang dadanya, merasakan jantungnya yang berdetak kencang, senyuman anehnya juga mengembang. Kemudian berjalan kembali menuju kelas masih dengan senyuman anehnya.
"Farah, kamu kenapa?" tanya teman sebangkunya, Tika.
Farah tersadar dari lamunannya, menatap Tika yang baru meletakkan tas di kursinya. Sudah berapa lama ia melamun? Sampai-sampai bel masuk sepertinya sudah berbunyi pukul 7:25 WIB. Sepertinya Tika datang telat hari ini, untungnya guru mata pelajaran pertama belum masuk.
Tika yang sedikit ngos-ngosan itu menjatuhkan tubuhnya di kursi, mengeluarkan cermin persegi yang selalu dia bawa. Farah menatap Tika yang sedang merapikan hijab sekolahnya.
Tika yang merasa diperhatikan itu seketika menoleh, dia tersenyum manis pada Farah. Namun tatapan Farah yang sendu membuat senyuman diwajahnya menghilang. Kini tampak gurat bingung dan cemas dari sosok Tika.
"Farah, kamu lagi ada masalah, ya? Cerita dong ke aku," tutur Tika lembut.
Farah menatap Tika, teman dekatnya. Sebenarnya Farah ingin sekali menceritakan tentang hal yang menjadi bebannya saat ini, namun Farah takut Tika tidak setuju, itu akan membuatnya lebih sulit untuk pergi.
"Kalau nanti aku pergi, aku titip salam ya buat semuanya, terutama buat Ghali, Bang Fathur, Bang Fatih, Akbar, Vira, Bundanya Akbar, Bunda Nida. Aku pasti kangen banget sama kalian semua," lirih Farah.
Tika yang tak paham mengerutkan dahinya. "Emang kamu mau kemana?" tanyanya sedikit cemas.
"Nanti kamu juga tau, intinya jangan lupa sampaikan salam aku sama mereka nanti, ya." Farah tersenyum manis.
Tika menyipitkan matanya, menatap Farah curiga.
"Jangan bilang ini kata-kata perpisahan terakhir kayak orang yang mau meninggal itu? Kamu udah dapet tanda-tandanya, Farah?!" Tika menatap Farah serius.
Farah membulatkan matanya mendengar penuturan Tika, tangannya langsung menepuk lengan Tika cukup keras, membuat Tika meringis kesakitan sambil diikuti suara tawanya seolah tak bersalah.
"Kok kamu gitu, sih?!" Farah berdecak kesal.
Tika menghentikan tawanya. "Uluh-uluh jangan ngambek dong Farah, nanti cantiknya luntur. Aku minta maaf, ya." Tika menangkupkan kedua tangannya, tak lupa dengan senyuman manisnya.
"Biarin, nanti juga kamu bakalan kangen sama setiap ekspresiku."
"Kamu mau kemana, sih? Daritadi ngomongnya gitu terus, mau kawin lari? Sama siapa? Ajak aku dong!"
***
"Udah, Farah? Ada yang ketinggalan, ga?" tanya Abi yang masih sibuk menaikkan barang-barang anaknya itu kedalam mobil.
"Ga ada, Bi." Farah yang duduk didepan pintu itu hanya menatap aktivitas abinya datar.
"Ummi, Nafsah ga ikut anter Teh Farah, ya? Nafsah anter Adhwa ngaji aja sore ini, terus nanti kami di rumah aja, deh."
"Bilang aja kamu ga kuat pisah sama aku, kan?" Farah tertawa menatap Nafsah yang kini sudah berada disampingnya.
Nafsah mengernyit, "Sok tau!" katanya yang kemudian berlalu dari sana.
Farah mengikuti langkah Nafsah menuju kamar, tangannya menarik tangan Nafsah membuat adiknya itu menghentikan langkahnya.
"Naon, teh?"
Farah memonitor sekeliling, memastikan tak ada yang mendengar pembicaraannya dengan Nafsah. Setelah merasa aman, Farah mendekatkan mulutnya ditelinga Nafsah.
"Jangan ikuti jejak aku, jangan sampai ummi sama abi tau kamu lagi deket sama siapa," katanya yang kemudian menjauh dari telinga Nafsah.
Nafsah menatap Farah, kemudian dia memeluknya erat. Farah sedikit terkejut dengan tingkah adiknya yang diluar dugaan, ia hanya bisa tersenyum tipis, membalas pelukan Nafsah.
"Nafsah bakalan kangen sama teteh," lirihnya.
"Cieee adek kakak lagi pelukan!"
Suara Abi membuat pelukan Nafsah dan Farah terlepas. Untungnya mereka segera menjauh satu sama lain, atau Abi akan mengabadikan moment langka seperti yang barusan terjadi dengan memotretnya.
"So cute..." Ummi menimpali.
"Udah ah, kita berangkat aja sekarang nanti keburu telat!" Farah berlalu menuju garasi.
Ummi dan Abi tersenyum aneh melihatnya, kemudian sama-sama bersiap untuk pergi.
"Teh Farah, jangan lupa cari cowo gateng di pesantren, ya!" pekik Adhwa yang melambaikan tangan dari jendela.
Farah menurunkan kaca mobil. "Oke, aman!" Farah mengacungkan jempolnya.
Abi dan Ummi menatap Farah tajam, Farah menahan tawanya kemudian segera menaikkan kaca mobilnya.
Farah yang tak tertarik memperhatikan jalan dia malah sibuk dengan handphonenya, tak chating-an dengan siapapun, ia hanya scroll Instagram ataupun menonton youtube.
Ummi sesekali menoleh kebelakang, sementara Abi melihatnya dari kaca seperti biasa, memastikan anaknya masih bernafas. Dikarenakan selama perjalanan Farah tak bersuara sama sekali.
"Nanti HP kamu mau Ummi bawa pulang atau disimpen sama ustadzah di pesantren?" tanya Ummi tanpa menoleh kebelakang.
"Disimpen sama ustadzah aja di pesantren, Mi."
"Abi kasih target sama kamu, kalau kamu bisa hapal 30 juz selama tiga tahun di pesantren, Abi bakalan izinin kamu kuliah di luar negeri." Abi tersenyum, pandangannya masih fokus pada jalanan yang cukup ramai.
Farah membulatkan matanya, mulutnya sedikit menganga. Ada rasa senang sekaligus tak yakin mendapat tawaran seperti itu dari abinya.
Memang selama ini Farah mempunyai mimpi untuk bisa kuliah di luar negeri, di negara manapun asalkan bukan Indonesia. Namun Farah juga tertarik untuk melanjutkan pendidikannya di University of Cambridge.
Entah jin dari mana yang membuatnya ingin kuliah di kampus ternama itu. Sekarang gadis itu berfikir, apakah hapalan 30 juz bisa membuatnya lulus di universitas impiannya? Mengingat universitas tersebut bertolak belakangan dengan budaya timur tengah.
♡♡♡