Farah mulai terusik dengan tangan yang menepuk pelan pipinya. Membuat pangeran dalam mimpinya menghilang, ia mengerjap-ngerjapkan matanya.
"5 menit lagi, Mi," katanya yang hendak memejamkan matanya kembali.
Ummi yang sejak tadi berusaha membangunkan putrinya itu mengerutkan dahi. "Hei, Farah, Ummi ga lagi bangunin kamu untuk pergi sekolah! Ayo cepat bangun, kita sudah sampai di pesantren."
Farah yang mendengar kata 'pesantren' kini langsung membuka matanya lebar. Ternyata dikirim ke pesantren itu bukan bagian dari mimpinya.
Farah segera duduk masih dikursi mobil, memperhatikan parkiran pesantren yang cukup luas. Abi sibuk menurunkan barang-barangnya, sementara si pemilik barang tampak seolah tak berdosa.
"Mi, ini beneran? Farah tidur lagi ya, besok kalau udah waktunya pergi sekolah Ummi bangunin aja." Farah kembali menidurkan tubuhnya di kursi mobil.
Ummi langsung menarik tangannya, membuat Farah mau tau mau harus kembali duduk.
"Kamu kira kamu bisa nepis mimpi ini gitu aja? Cuci muka sana, biar sadar kalau ini bukan mimpi!"
Farah hanya diam, matanya tiba-tiba terasa perih mengingat bahwa ia tak akan bisa melihat wajah orang-orang terdekatnya sebentar lagi.
Kini gadis yang sejatinya tak bisa diam itu harus menutup mulutnya rapat, mengikuti langkah kedua orang tuanya yang memasuki lingkungan pesantren.
Mata indah Farah memonitor sekeliling, kebanyakan perempuan disana memakai hijab panjang hampir menutupi seluruh tubuhnya, walau tak semuanya begitu. Tak ia dapati satupun perempuan yang memakai hijab persegi pendek sepertinya saat ini.
Rasanya penampilannya dengan perempuan-perempuan disana berbanding terbalik. Farah menunduk, memperhatikan gamis yang sudah lama tak dipakainya itu kini masih terlihat pas ditubuhnya yang tidak gemuk-gemuk.
"Ummi!" Farah memanggil wanita yang berjalan di depannya.
Ummi dan abi menoleh kebelakang bersamaan, "Kenapa?" tanya Ummi.
"Farah kebelet pipis, kamar mandinya dimana?" tanya Farah.
Ummi memonitor sekeliling. "Itu disana kayaknya kamar mandi, mau Ummi temenin?" Ummi menawarkan.
"Ngga usah, Mi. Farah sendiri aja."
"Eits! Awas kalau kamu kabur, ya!" Abi memperingatkan.
Farah melongo, bahkan ia tidak kepikiran sampai kesana. Tapi baguslah abinya mengingatkan, bisa juga dicoba.
Farah langsung memutar badannya kemudian sedikit berlari menuju kamar mandi yang Ummi tunjuk tadi.
Brukk!!
"Astaghfirullah!"
"Aduuhh! Kalau jalan pake mata dong, ga liat apa ada orang?!" Kata Farah kesal.
Pria itu mengangkat kepalanya menatap Farah yang sudah jingkrak-jingkrak menahan sesaknya.
"Kamu kenapa?" Pria itu mengernyit menatap Farah aneh.
"Banyak tanya! Udah ah aku ke toilet dulu!" Farah berjalan secepat kilat, sekali lagi ia menabrak bahu pria itu, kali ini sengaja.
"Hei, tapi itu--" Pria itu menatap Farah yang acuh dengan perkataannya.
Pria seumurannya itu hendak berlalu dari tempatnya, tapi bagaimana bisa dia meninggalkan gadis yang salah masuk toilet itu.
"Ahh!" Pria itu berbalik dan berlari menyusul Farah agak kesal.
"Ngapain disini, Bhi?" tanya salah seorang temannya.
Pria itu sudah seperti penjaga kamar mandi saat ini, dia berdiri didepan pintu masuk, memastikan tak ada pria yang masuk ke kamar mandi itu.
"Jaga gawang!" jawab pria itu asal.
Teman pria itu mengernyit. "Minggir-minggir aku mau buang air kecil," titah temannya.
Pria itu kebingungan, tampak dari raut wajahnya.
"Di toilet masjid aja sana, disini kotor belum di bersihin." Pria itu menatap temannya.
"Lah terus kamu ngapain disini? Balik ke kelas sana nanti dicariin ustadz!" kata temannya yang kemudian berlalu dari hadapannya, sepertinya temannya itu sudah sesak sekali sampai-sampai dia tak berniat berdebat dengan pria itu.
Pokk!!
"Aduh!" Pria itu meringis saat merasakan pukulan di belakang pundaknya. Dia berbalik sambil mengusap-usap bagian belakang pundaknya.
"Kamu ngapain disini?! Ngintip, ya!" Farah mengarahkan telunjuknya ke wajah pria itu, matanya menyipit.
Seharusnya pria itu yang marah padanya karena sudah memukul pundaknya dengan tas selempang yang Farah bawa.
"Astaghfirullah," lirihnya.
"Ga ada bagusnya ya ternyata anak pesantren dimana-mana sama aja!"
"Hei!" Pria itu balik menunjuk Farah dengan tatapan tajam. Membuat Farah terdiam.
"Tau apa kamu soal anak pesantren?!" Sambung pria itu tak terima dengan pernyataan Farah barusan.
"Aku ga suka kamu jelek-jelekin anak pesantren kayak gitu! Jangan ngomong kalau ga tau apa yang sebenarnya terjadi!"
Pria itu berhasil membuat Farah menatapnya tak berkedip, ia takut dengan pria yang baru saja berbicara dengan intonasi tinggi padanya.
Pria itu berbalik, meninggalkan Farah disana. Seketika Farah merasa bersalah telah bertindak demikian, ia hendak mengejar pria itu. Namun, sialnya Farah yang tadinya hendak berlari itu malah tersandung kakinya sendiri. Membuatnya terjatuh cukup kuat.
"Aduuhh!" Farah meringis kesakitan.
Pria itu berdecak, dia menoleh kebelakang. Kini pria itu sedang menahan tawanya melihat Farah yang terjatuh ke tanah. Dia berjalan menghampiri Farah, "Kamu ini ada masalah hidup apa? Dapet ga kodoknya?" ejek pria itu.
Farah mendongak, menatap pria itu tajam. Farah bangkit setelah cukup lama menunggu uluran tangan dari pria itu, namun tidak ia dapati. Farah membersihkan bajunya yang kotor, membenarkan hijabnya.
"Maaf," lirih Farah. Ia menunduk, entah menunduk karena rasa bersalah atau karena malu.
"Maaf untuk apa?" tanya pria itu.
"Pertama, maaf karena tadi ga sengaja nabrak kamu. Kedua, maaf karena setelah itu aku sengaja nabrak kamu. Ketiga, maaf karena udah geplak pundak kamu pake tas. Keempat, maaf karena udah jelek-jelekin anak pesantren. Dan yang kelima, aku minta maaf kalau nanti buat salah lagi ke kamu."
Pria itu tertawa kecil, manis. Sepertinya Farah tak pernah rugi jika bertemu pria, selalu mendapat bahan cuci mata.
Farah memperhatikan pria dengan baju koko, sarung, juga peci hitam di kepalanya. Pria itu masih menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Farah, tak lupa dengan senyuman manisnya.
"Jangan ketawa aja! Kamu juga harus minta maaf ke aku!"
"Emang aku salah apa ke kamu?"
"Minta maaf karena udah ngintipin aku di kamar mandi!"
Pria itu membulatkan matanya. "Kamu salah paham!"
"Salah paham gimana? Jelas-jelas kamu tadi ada didepan pintu!" Farah masih tak mau mengalah.
Pria itu menghela nafas pelan, sabar sekali pria dihadapan Farah saat ini. Dia harus mendengar celotehan dari gadis yang baru ditemuinya, namanya pun dia belum tau.
"Pasti kamu bisa baca, kan?"
Farah mengernyit mendengar pertanyaan aneh dari pria itu, Farah mengangguk.
"Coba kamu baca itu." Pria itu menunjukkan sesuatu dibelakang Farah.
Farah mengikuti arah jari telunjuk pria itu. Matanya membulat begitu membaca tulisan di kertas putih, 'Toilet Pria'.
Farah menepuk dahinya, rasanya ia benar-benar malu saat ini. Farah memutar tubuhnya kembali menghadap pria dihadapannya, menunduk.
"Sekarang kamu tau kenapa aku jaga pintu tadi? Untung aja didalam ga ada orang, coba kalau ada?"
Farah tak berani mengangkat kepalanya, ia sedang menyembunyikan wajahnya yang memerah saat ini. Bisa-bisanya ia memarahi orang yang sudah menolongnya.
Pria itu menatap Farah yang hanya terdiam. "Kamu kenapa lagi?" tanya pria itu lembut.
Farah memberanikan diri mengangkat kepalanya menatap wajah teduh pria dihadapannya. Begitu tatapan mereka bertemu, pria itu langsung memalingkan wajahnya.
"Aku balik ke kelas dulu," kata pria itu yang salah tingkah begitu menatap wajah Farah.
"Tunggu!" Suara Farah menghentikan langkah pria itu.
Pria yang dimaksud memejamkan matanya, tiba-tiba detak jantungnya berdegup kencang, dia berbalik.
"Apa lagi?" tanyanya sopan.
"Bisa tolong anter aku ke ruangan ustadzah, ga? Soalnya aku ga tau orangtuaku ada dimana, lupa nanya tadi." Farah menunjukkan deretan giginya yang rapih.
Pria itu menghela nafas, "Baiklah, ayo." Dia berjalan diikuti Farah dibelakangnya.
Farah mempercepat langkahnya, hendak berjalan beriringan dengan pria dihadapannya.
"Kamu jalan di belakang aja, jangan disampingku."
Perkataan pria itu membuat Farah memperlambat langkahnya, "Kenapa?" tanyanya tak mengerti.
"Aku takut khilaf, kamu terlalu MaasyaaAllah," tutur pria itu tanpa menoleh kebelakang, dia terus berjalan.
Farah sedikit menganga mendengar penuturan pria itu, jujur sekali. Senyuman manis kini menghiasi wajah Farah.
♡♡♡