Di kantin sekolah.
Seketika hening. Semua sorot mata tertuju pada dua orang pria yang berdiri didekat pintu masuk. Mereka berpendapat, bahwa keributan akan segera muncul.
Farah memperhatikan ekspresi wajah kesal Bang Fathur. Pria ia mengusap noda teh di kemeja sekolahnya yang tak sengaja ditumpahkan oleh Ghali.
"Bang, maaf Bang beneran ga sengaja, tadi aku buru-buru makanya nabrak, maaf ya Bang, maaf." Penuturan Ghali membuat Farah tertawa kecil.
Sungguh, ekspresi wajah Ghali sangat lucu saat ini. Dari kata-katanya dapat diartikan bahwa dia takut Bang Fathur akan marah padanya.
"Lain kali kalau jalan tuh hati-hati! Dipake matanya!" ketus pria itu.
Ghali masih terus saja meminta maaf, sampai Bang Fathur memintanya untuk pergi. Semua yang ada di kantin tak mengedipkan mata mereka, aktivitas mereka terhenti, dugaan mereka tentang amarah Bang Fathur ternyata salah.
"Sumpah! Itu Bang Fathur kesambet apaan?" Tika menatap abangan kelas yang telah berlalu dari kantin.
Pandangan Tika mengarah pada Farah. "Aku curiga sama kamu." Tika menyipitkan matanya.
Farah tertawa kecil, "Hei, naon? Aku mah ga ada buat apa-apa." Farah menggelengkan kepalanya kemudian berjalan keluar kantin.
"Aku yakin, pasti orang-orang di kantin tadi lagi bertanya-tanya sama sikap Bang Fathur hari ini." Tika berjalan beriringan dengan teman sebangkunya.
Farah tersenyum kecil, mengingat bahwa ternyata Bang Fathur mengerti dan menuruti perkataannya kala itu. Farah merasa senang, merasa berhasil telah merubah seseorang menjadi lebih baik.
"Woy, Farah!" Tika sedikit berteriak ditelinga kanan gadis itu. Membuat Farah mengucap istighfar.
"Apa?" tanya Farah. Sedikit kesal.
"Ngelamunin siapa, sih? Tuh, dipanggil Bang Fatih!"
Farah mengikuti sorot mata Tika yang terarah pada Bang Fatih didepan ruangan OSIM. Bang Fatih memberi isyarat agar mereka segera kesana.
"Bang Fatih manggil kamu atau aku?"
"Udah dua-dua aja."
"Tapi aku ga mau dijadiin yang kedua!" Tika berkata seolah dia sedang serius. Sedetik kemudian, dia tertawa.
Farah menatapnya datar. Mereka beriringan menuju ke ruang OSIM, menghampiri Bang Fatih.
"Kenapa, Bang?" tanya Tika sopan.
"Masuk bentar ya, pengurus lama sama pengurus baru mau adain rapat. Bentaaarr aja. Udah abang ijin juga tadi ke guru-guru di kantor." Jelas Bang Fatih.
"Owh... Oke."
Farah memasuki ruangan itu sendiri, sedangkan Tika yang bukan anggota OSIM balik ke kelas. Didalamnya telah ramai kakak kelas dan beberapa teman seangkatannya. Termasuk Akbar dan Vira yang duduk bersebelahan.
Farah tersenyum manis pada orang-orang yang dikenalnya. Akbar yang terkesan cuek, membalas senyuman gadis itu dengan senyuman tipis diwajahnya. Vira malah tak menoleh pada Farah sama sekali.
"Maaf, Bang, telat." Suara itu membuat Farah menoleh kedepan.
Orang yang dia kenal berjalan kearahnya dengan senyuman aneh, Ghali duduk disebelahnya. Farah menatap Ghali datar, sedikit menggeser bangkunya menjauh dari pria itu.
Ketua OSIM dan pengurus inti yang baru, dengan hormat meminta agar pengurus inti lama yang angkat bicara dalam rapat ini.
Bang Fatih-pun tampak begitu berwibawa berbicara didepan, dengan almamater abu-abu yang ia kenakan. Rapat ini membahas tentang pelepasan jabatan pengurus lama OSIM, yang katanya akan berwisata kesuatu tempat.
"Pengurus baru ikut juga, Bang?" tanya pria disamping Farah.
Bang Fatih mengangguk, "Pengurus baru ikut juga untuk bantu kebutuhan pengurus lama."
"Pengurus lama bayarin pengurus baru ga, Bang?" Tanya Ghali lagi.
"Enak aja!" seru pengurus lama yang berada disana, kompak.
Beberapa dari mereka tertawa, termasuk Farah yang hanya tersenyum kecil. Bang Fatih kembali menjelaskan semuanya, bahkan hingga hal kecil sekalipun. Sangat detail.
"Semua sudah dibicarakan dengan kepala sekolah, sekarang tinggal ke kaliannya aja mau gimana." Bang Fatih memonitor seisi ruangan.
"Terakhir, kita akan berangkat tiga hari lagi. Diharap semua sudah disiapkan dengan baik." Penuturan terakhir dari Bang Fatih, seolah menutup keseriusan rapat ini.
Selebihnya, pengurus lama dan beberapa pengurus baru lebih banyak bercanda dan bersenda gurau. Tentu saja untuk memperlambat waktu agar tak kembali ke kelas lagi.
***
"Ga usah ikut gapapa, kan? Lagian pas hari itu Abi sama Ummi mau pergi, kamu jaga rumah sama adik-adik, ya?" Abi menatap Farah lekat.
Farah terdiam, tak tau harus berkata apa. Ia sangat ingin untuk ikut, tapi disisi lain ia tak mau membantah perkataan abinya.
"Gapapa, Bi. Besok Farah bilang sama ketua OSIM di sekolah." Farah tersenyum tipis.
Gadis itu kemudian meninggalkan abinya sendiri di ruang tengah, langkahnya memasuki kamar.
"Cie yang ga dikasih ikut sama Abii!"
Farah menoleh pada Nafsah yang sedang memainkan handphone-nya di tempat tidur.
Tak ada jawaban dari Farah, ia hanya menatap Nafsah sekilas kemudian membaringkan tubuhnya disamping adiknya itu. Beberapa menit kemudian, Adhwa memasuki kamar dengan senyuman anehnya.
"AcieeTeteh Nafsah udah ada cowoknya loh, Teh Farah!" Goda Adhwa.
"Apaan sih? Ga jelas," elak Nafsah.
Farah yang mendengar celotehan dari kedua adiknya itu menatap mereka bergiliran. Dari raut wajah keduanya, dapat ia simpulkan bahwa benar yang dikatakan Adhwa barusan.
"Bener? Kamu kok ga ada cerita sama Teteh?" Farah menatap Nafsah dengan tawa kecil.
"Naon sih, Teh?" Nafsah tampak malu. Dia masih sibuk dengan handphonenya.
"Uluh-uluh...namina saha? Kenalin atuh." Farah tampak semakin bersemangat menggoda adiknya itu.
"Hmm ga ada, Teh."
"Ga ada naon?" Adhwa melirik Nafsah, "Abdi ngawadul Teh, percaya deh." Pandangan anak berumur 11 tahun itu kini terarah pada Farah.
Nafsah tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. Hingga terdengar suara Ummi memanggil Adhwa yang harus pergi mengaji sore ini. Adik bungsu Farah itu keluar dari kamar dengan tawa kecil menghiasi wajahnya.
"Naf, serius, atuh. Cowok kamu teh saha?" Farah tampak penasaran.
Nafsah tak bergeming, ia menatap kakaknya itu sedikit malu. Kini mereka duduk berhadapan diatas kasur empuk.
"Tapi janji ya Teh Farah ga bilang ke Abi sama Ummi. Aku mah takut Abi marah kalau tau ini," lirih Nafsah.
"Muhun. Sok atuh cerita..." kata Farah yang mulai tak sabaran.
"Sebenernya dia mah satu sekolah sama aku, satu kelas juga. Dia baik banget, asli. Kagum pisan aku mah sama dia." Nafsah senyum-senyum sendiri menceritakan sosok pria yang telah mengisi kekosongan hatinya.
Baru kali ini Farah melihat Nafsah seperti ini, sebelumnya Nafsah selalu menutupi setiap hal dalam hidupnya, termasuk soal lawan jenis.
"Teh Farah waktu itukan pernah bilang, kalau Teteh janji bakalan dukung aku sama orang yang aku suka. Makanya aku berani cerita gini ke Teteh."
Farah tersenyum. "Gampang itu. Aku janji bakalan dukung kamu selagi orang yang kamu pilih itu baik, aku pasti bakalan setuju, janji."
Nafsah tersenyum. "Teteh mau tau ga siapa namanya?"
"Saha?"
"Mumtaz."
"Mumtaz," Farah mengulang nama itu dengan lirih.
"Teteh kenal?"
Secepat mungkin ia menggelengkan kepalanya. Ada banyak pertanyaan dan umpatan didalam sana, tapi tak mungkin ia utarakan sekarang dihadapan adiknya. Farah sangat menghargai perasaan Nafsah, apa lagi tampaknya Nafsah sedang berbunga-bunga saat ini.
"Baik," Farah menatap gadis dihadapannya. "Sesuai janji aku tadi, aku dukung kamu sama dia."
Nafsah membulatkan matanya, mulutnya sedikit terbuka kemudian mengembangkan sebuah senyuman. "Makasih, Teteh geulis!"
Farah tau, jika Nafsah bersama dengan Mumtaz, enggan baginya untuk bersama dengan Akbar. Senyuman tipis terlukis diwajahnya, gadis belia itu kini tengah menahan butiran yang hendak merangkak turun.
♡♡♡