'Jika kamu takut untuk melangkah ke depan, maka kamu tak akan pernah tau apa yang akan kamu dapati disana.'
***
"Maaf, Bang Fatih. Farah ga bisa ikut, ga diizinin sama abi." Penuturan gadis itu membuat lawan bicaranya tampak tak terima.
"Loh kenapa? Apa mau Abang yang minta izin ke abi?"
"Ehh ga usah, Bang. Kan Farah udah kasih tau alasannya tadi kenapa abi ga ngizinin, lagian tanpa Farah juga pasti kalian tetap bakalan seneng-seneng, kan?" Farah tersenyum, manis.
Tak berbicara lagi, mantan ketua OSIM itu hanya menatap Farah datar. Sepertinya sudah tidak ada yang bisa dia katakan pada gadis manis berdarah Sunda itu.
Bang Fatih menghela nafas berat, "Yasudah."
"Hmm, Bang?" Farah yang sudah hendak berlalu darisana, kini membalikkan badannya kembali menghadap Bang Fatih.
"Kakak-kakak kelas 12 udah mau perpisahan, ya? Kapan, Bang?" Entah kenapa tiba-tiba ia menanyakan hal ini.
Bang Fatih tampak berfikir. "Tinggal empat bulan lagi kayaknya kami disini," ujar Bang Fatih.
"Ooo oke. Yaudah, Farah balik ke kelas ya, Bang."
Bang Fatih tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya. Membiarkan adikan kelas yang menurutnya cukup unik itu berlalu dari ruang OSIM.
Menurutnya, Farah bisa mengubah perilakunya disaat-saat yang tepat. Dia kadang berani, ceria, namun dibalik itu orang-orang disekitarnya bisa merasakan bahwa dia juga lemah lembut. Cantik, baik, pintar, sempurna!
Farah menghampiri Tika diambang pintu, setia sekali gadis itu menunggu Farah yang sedang berbicara dengan Bang Fatih. Kini mereka beriringan menuju kelas.
"Please, jangan liat ke kiri," kata Tika sedikit berbisik.
"Emang ada apa?" tanya Farah. Ia hendak menoleh ke kiri, namun tangan Tika menghentikan gerakannya.
"Kalau kamu ga mau sakit hati, dengerin kata aku!" Tika menatap wajah anggun Farah, lekat.
Namun apa boleh buat, saat gadis belia itu mencapai puncak penasarannya. Ia melepas paksa tangan Tika yang menahannya. Bukan hanya kepalanya saja, kini badannya sedikit serong menghadap ke sebelah kirinya.
Diam. Tak bergeming. Beberapa detik kemudian ia membalikkan tubuhnya kembali. Matanya sedikit berkaca-kaca.
"Kan udah aku bilang. Kamu sih, bandel!" kesal Tika.
"Hmmmm pulaaaang..." Terdengar seperti rengekan anak kecil yang ingin menangis.
Kedua alis Tika menyatu. "Yaudah pulang sana, jangan ajak-ajak aku. Kamu sih bandel, ga mau denger perkataanku, rasain!" Celoteh Tika.
Farah yang sudah hendak menangis kini tertawa kecil, ia mengusap kedua matanya.
"Loh, kamu apain Farah, Tik?" tanya seorang pria yang mereka kenal.
"Kok aku? Si buaya darat itu tuh yang buat dia gini!" Tika sedikit melirik kesebelah kirinya.
Ghali mengikuti arah mata Tika. Pria yang sudah seperti sahabat bagi kedua gadis dihadapannya, dia tampak kesal dan ingin menghampiri orang yang berada didalam kantin.
"Jangan, jangan!" Farah menahan langkah Ghali.
"Kamu salah naruh hati kamu, Farah." Ghali kemudian berlalu darisana.
Farah dan Tika bertatapan, perkataan Ghali seolah memiliki lebih dari satu makna.
***
"Mau pulang bareng?" Seorang pria menghampiri langkah gadis itu.
Farah menatapnya sekilas, kedua kakinya masih berkejaran menuju gerbang sekolah.
"Kok diem?" tanya pria itu lagi.
"Anterin Vira aja sana. Aku udah biasa sendiri!" ketus Farah yang kemudian mendahului langkah Akbar.
Pria itu mematung disana, dengan ransel hitam yang dia selempangkan disebelah pundaknya. Sorot matanya masih menatap punggung gadis yang belum jauh itu.
"Akbar, pulang yuk!"
Pandangan Akbar teralih pada Vira yang sudah berada disamping kanannya.
Farah berbalik, menatap dua orang yang ia kenal. Ia tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya, kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya dengan pandangannya yang kosong.
Tubuhnya menabrak seseorang, gadis itu sedikit terpental kebelakang mengingat tubuhnya lebih enteng dibanding dengan orang yang ditabraknya.
Pria itu tersenyum manis dan menunjukkan deretan giginya saat melihat Farah berjingkrak kaget, gadis itu mengusap-usap dadanya.
"Hei, aku bukan hantu!" kata pria dihadapan Farah masih dengan tawa kecilnya.
"Lagian kalau mau datang tu samlekom dulu napa!" Farah berdecak kesal.
Sepertinya dia lupa sedang berhadapan dengan siapa sekarang, mungkin kekagetannya itu menimbulkan efek judesnya kambuh.
Fathur mengernyit, "Seharusnya aku yang marah, siapa suruh kamu jalan sambil ngelamun ga liat-liat! Kan jadi nabrak babang ganteng."
Fathur berkacak pinggang dengan songong sambil menaikkan sebelah alisnya. Farah yang melihat sikap aneh pria itu hanya melongo dengan wajah lugunya.
"Jangan terpesona begitu, itu sudah biasa!"
Suara tawa Fathur membuat Farah mengalihkan pandangannya.
Entah keberanian yang pria itu curi darimana sampai dia tiba-tiba berani menarik tangan Farah dan membawanya masuk kedalam kelas XII IPA 1 yang kosong itu. Fathur tampak cemas, kepalanya mengintip pada lubang kunci pintu kelas yang baru ditutupnya. Pria itu tampak sedang memata-matai seseorang yang berada diluar.
"Bang, ngapain sih?" Farah menatap bingung pria yang masih membungkuk itu.
"Jangan berisik! Nanti bunda dengar."
Gadis itu mengerutkan dahinya, punya hutang apa pria itu dengan bundanya? Sampai-sampai dia begitu menghindari bundanya sendiri melebihi orang yang hendak ditagih hutang.
Cukup lama, Farah duduk di bangku paling depan dengan menangkupkan wajah dengan kedua tangannya. Matanya berputar jengah menatap pria yang kini cengengesan berjalan kearahnya.
"Udah?"
"Udah." Fathur yang paham dengan pertanyaan singkat gadis itu mengacungkan jempolnya.
"Lagian kenapa harus ngehindar dari bunda segala sih, Bang?" tanya gadis itu tak mengerti.
Fathur duduk tepat disamping kanan Farah, tangannya merapikan rambutnya yang sebenarnya masih rapi.
"Aku ga mau pulang sama bunda," jawabnya singkat tanpa menoleh pada gadis cantik disebelahnya.
"Emang kenapa? Apa Bunda Nida mau nganter kamu ke panti asuhan ya? Setelah sekian lama akhirnya bunda kamu sadar ya, Alhamdulillah..." Farah tersenyum mengejek.
Fathur yang mendengar penuturan gadis itu seketika menoleh dan menatapnya tajam. "Aku tau kamu becanda!" katanya yang kemudian bersikap acuh.
Farah semakin bingung dengan pria disampingnya, sepertinya pria itu sedang bahagia sekarang. Tampak dari senyuman samar yang dari tadi tak lepas dari wajahnya.
Tanpa sadar gadis itu mengikuti pesona khas dari abangan kelasnya itu, kepalanya sedikit miring sambil menatap Bang Fathur dengan senyuman anehnya ditambah lagi kali ini matanya lebih banyak mengerjap.
Fathur yang sadar sedang diperhatikan itu menoleh pada Farah, tatapan mereka bertemu membuat Fathur sedikit kaget dengan perilaku gadis disampingnya.
"Kenapa liatin gitu? Kamu salah makan ya tadi makanya gini?"
Lagi-lagi suara Fathur menyadarkan Farah dari lamunan menyebalkannya. Bisa-bisanya dia begitu disaat hanya mereka berdua berada didalam ruangan tertutup ini.
"Eh, ngga Bang, gapapa," elaknya salah tingkah.
"Emm kalau gitu aku pulang ya, Bang." Gadis itu segera beranjak bangkit.
Namun langkahnya terhenti saat Fathur yang sudah berdiri itu menarik pergelangan tangannya, gadis itu menoleh kebelakang.
"Gara-gara kamu ni aku sampai lupa kalau ada yang mau aku omongin ke kamu."
Gadis itu mengernyit bingung saat tak paham dimana letak salahnya, namun roh baiknya sedang bersilaturahmi sehingga dia tidak ingin berdebat saat ini.
"Yaudah cepet omongin aku mau pulang ni dah ngantuk!"
"Hmm Farah, sebenarnya--"
"Tenang Bang aku ga bakalan kabur walaupun abang ngelepas tanganku sekarang." Farah menyela ucapan Fathur dengan sindirannya.
Fathur yang awalnya tak paham kini mengikuti sorot mata Farah, dia langsung melepas tangannya yang ternyata masih menggenggam tangan gadis itu.
"Apa aku senyaman itu sampai Abang ga sadar lagi megang aku?" Gadis itu tertawa menatap wajah Fathur yang kini sedikit memerah.
"Iya, kamu emang udah buat aku nyaman!"
♡♡♡