'Pernah berfikir bahwa ibumu, kelak akan menjadi Ibu kita. Namun berada diposisi saat ini sangatlah membingungkan, Ibu siapa yang akan menjadi Ibu kita? Dan...siapa kamu itu?'
***
Tangan putih mulusnya mendorong pintu ruangan itu, ia masuk kedalam ruangan yang sangat sejuk.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Masuk." Suara wanita yang terdengar berwibawa.
"Ibu manggil saya?" tanya gadis itu sopan.
Wanita yang mungkin lebih tua dari umminya itu tersenyum. "Iya. Duduk dulu," titahnya.
Farah duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan bundanya Bang Fathur, hanya ada meja cukup besar yang menjadi penghalang.
"Kamu pulang sekolah di jemput?"
Sepertinya wanita dihadapannya ini tak suka basa basi. Farah mengangguk. "Iya, Bu."
Wanita itu mengeluarkan handphone dari dalam tas maroonnya. "Telepon orangtua kamu, bilang ga usah jemput kamu hari ini. Bilang aja kamu ikut sama saya sebentar, ada urusan penting."
Farah terdiam, 'urusan apa?'
Gadis itu canggung mengambil handphone yang disodorkan kepala sekolah. Perlahan, jari-jemarinya menari diatas layar handphone, kemudian ia menelpon abi yang biasa menjemputnya.
Awalnya abi ragu untuk memberikan izin karena tidak mendapat alasan yang jelas dari putri sulungnya, namun gadis itu selalu bisa membuat orang-orang luluh padanya.
"Sudah?"
"Sudah, Bu." Farah mengembalikan handphone itu pada pemiliknya.
Tak lama, terdengar bel pulang berbunyi. Seketika diluar terdengar sangat ramai seperti biasanya.
"Saya tunggu kamu di depan ruangan. Cepat bereskan barang-barang kamu, ya." Perintah bundanya Bang Fathur.
"B-baik, Bu." Farah mengangguk, kemudian beranjak darisana.
Hampir lima menit Farah membuat wanita itu menunggu didepan ruangannya. Ia menghampiri kepala sekolahnya itu dengan sedikit tergesa-gesa.
Sepertinya ibu kepala sekolah sedang menelpon seseorang. Namun dia terlihat kesal karena telponnya tidak diangkat.
"Ayo kita berangkat," kata wanita itu saat melihat Farah sudah berada disamping kanannya.
Farah mengangguk, mengikuti langkah wanita dihadapannya. Menuju parkiran khusus kepala sekolah.
"Eh, Bu, saya bisa buka sendiri pintunya." Gadis itu cemas, segera memegang tangan bundanya Bang Fathur. Namun telat, pintu mobil sudah terbuka.
"Gapapa." Bunda Bang Fathur tersenyum.
Baru kali ini sepertinya Farah melihat kepala sekolah yang sangat baik dan tidak memandang status seperti Bu Nida, kepala sekolah MAN Palembang, sekaligus bunda senior yang terkesan killer di sekolah itu.
Mobil yang dikendarai Bu Nida memasuki perumahan elit. Mobil itu berhenti didepan garasi sebuah rumah seperti di film-film itu, sangat besar dan megah.
"Maaf Bu, ini rumah siapa ya? Dan kenapa saya dibawa kesini?"
Sepertinya Farah masih menyimpan banyak pertanyaan lagi dibenaknya. Menunggu waktu yang tepat untuk menanyakan semua ketidak pahamannya.
"Rumah saya. Ayo turun, kita bicarakan didalam saja." Bu Nida tersenyum tipis.
Mereka turun dari mobil. Berjalan layaknya seperti ibu dan anak menuju pintu utama rumah megah dihadapan mereka.
"Saya tinggal disini cuma berempat, saya, Fathur, pembantu, dan satpam yang lagi cuti," jelas bundanya Bang Fathur saat membuka pintu.
Begitu menatap kedalam, mata gadis itu sangat terhipnotis dengan kemewahan isi didalam rumah besar itu. Tak bisa diungkapkan, rumah itu layaknya seperti istana.
"Duduk dulu ya, sebentar." Bu Nida meninggalkan gadis itu sendiri di ruang tamu.
Farah agak canggung duduk di sofa coklat yang terlihat sangat elegan, sebelumnya ia tak pernah melihat sofa sebagus itu, sayang rasanya ingin diduduki.
"Bunda bilang, pulang!"
Gadis itu sedikit terkejut mendengar suara Bu Nida saat turun dari tangga, dia sedang berbicara pada seseorang dari telepon.
Kepala sekolahnya itu sudah merubah penampilannya, memakai baju yang lebih santai. Dia berjalan menghampiri Farah, duduk disampingnya dengan raut wajah kesal.
"Ada apa, Bu?" tanya Farah ragu, saat melihat perilaku demikian dari Bu Nida.
"Fathur," lirih Bu Nida.
Gadis itu dapat menebak, bahwa sepertinya Bang Fathur membuat keributan lagi dengan saudara tirinya.
Wanita itu menoleh pada Farah, tatapannya seolah meminta sesuatu, mungkin itulah yang akan dibicarakan oleh kepala sekolahnya itu untuk memperjelas tujuannya berada disini.
"Ga ada yang bisa ngendaliin Fathur," Wanita itu menatap Farah lekat, "Kecuali, kamu." Sambungnya.
Farah mengernyit. "Maksudnya, Bu?" tanya gadis itu tak paham.
"Panggil Bunda saja." pintanya.
"Oh iya, Bunda."
Bunda Nida tersenyum. "Udah beberapa kali saya perhatikan, Fathur selalu luluh sama kamu. Kamu hebat ya, bisa buat seorang Fathur nurut. Bahkan saya sebagai ibunya aja ga bisa."
"Maaf sebelumnya, Bunda. Saya juga ga tau kenapa Bang Fathur bisa gitu ke saya. Tapi yang saya tau, Bang Fathur cuma butuh orang yang bisa meredam emosi dan dendamnya pada..." Ia menggantungi perkataannya.
"Pada ayahnya, Maya, dan Galu." Bunda Nida menunduk.
Sekarang Farah tau, bahwa 'Maya' adalah nama ibu tiri Bang Fathur.
"Iya, Bun. Saya sudah dengar ceritanya dari Bang Fathur."
"Sudah?" tanya Bunda Nida. Sedikit terkejut.
Farah mengangguk.
"Sepertinya Fathur menganggapmu orang spesial sekarang." Bunda Nida tersenyum, mengusap kepala Farah yang tertutup hijab sekolah dengan lembut.
"Orang spesial?"
"Masalah ini, tak banyak yang mengetahuinya. Fathur hanya akan memberi tau pada orang-orang terdekatnya. Jika kamu bukan salah satunya, tak mungkin dia mau menceritakan masalah ini padamu walau dipaksa sekalipun."
"Tapikan Farah orang baru, Bun. Gimana mungkin jadi orang spesial dimata abangan kelas killer kayak gitu!"
Sedetik kemudian, gadis itu menutup mulut dengan tangan kanannya. Rasanya malu sekali memanggil Bang Fathur seperti itu didepan Bunda Bang Fathur sendiri.
"Hahaha cuma kamu loh yang berani bilangi Fathur kayak gitu."
"Maaf, Bun. Tapi menurut Farah sih emang gitu, hehee." Gadis itu menunjukkan deretan giginya yang rapi.
"Iyaa, gapapa."
"Assalamu'alaikum." Seorang pria yang mereka kenal memasuki rumah. Dengan penampilan yang kacau.
"Wa'alaikumussalam." Jawab keduanya bersamaan.
Bang Fathur langsung menatap kearah Farah. Mungkin dia bingung kenapa gadis itu berada di rumahnya.
"Udah berapa kali Bunda bilang? Kalau pulang sekolah, pulangnya sama Bunda! Kebiasaan kamu kalau pulang mampir dulu ke rumah Tante Maya, habis ngerjain Galu lagi, kan?!"
Bunda Nida bangkit dari duduknya, menghampiri Bang Fathur yang kini sudah berada dihadapan mereka.
"Bun, Galu sendiri yang datengin Fathur tadi di sekolah. Bunda tau sendirilah gimana Fathur kalau udah jumpa dia." Bang Fathur mencoba menjelaskan.
"Sibuk kamu berantem sama dia, sampai ga sempat angkat telpon Bunda?!"
"Bun, orang berantem mana bisa sambil pegang hp."
"Menjawab!"
"Iya, Bun. Maaf."
Farah sedikit menahan tawanya saat mendengar jawaban Bang Fathur mengenai telepon tadi, ada benarnya juga.
Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Bunda Nida membuka pintu itu, tampaklah seorang wanita dan anak lajang disampingnya yang tampak babak belur.
"Kak, liat nih ulah anakmu! Dididik dong anaknya, Kak!"
Bang Fathur mencampakkan tas sekolahnya di sofa, ia berjalan menghampiri mereka di depan pintu.
"Maksudnya apa nyalah-nyalahin Bunda?! Anak Tante tuh diajarin, bilang sama dia kalau aku bukan abangnya! Jadi jangan pernah dia manggil aku Abang!"
"Fathur, masuk!"
"Liat tuh, kayaknya Kakak ga bisa didik anak Kakak, ya!"
"Bun, Galu gapapa. Kita pulang aja."
Farah hanya mematung dibelakang, melihat dan mendengar semua keributan itu. Kenapa gadis itu harus terlibat dalam masalah ini?
"Maksud Tante apa?!" Bang Fathur memukul pintu itu dengan kuat.
"Fathur, udah!" Bunda Nida menoleh kebelakang, "Farah, bawa Fathur masuk!"
"I-iya, Bun."
"Aku ga suka ya, Tante nyalah-nyalahin Bunda kayak gitu! Ini semua salah Tante, tau gak?!!"
"Bang, udah." Farah berusaha menarik lengan Bang Fathur untuk masuk kedalam.
Fathur menoleh pada Farah, melepas tangannya. Pria itu kemudian menyambar tasnya dan naik keatas. Sepertinya pria itu masih kesal.
"Farah, kamu tenangi Fathur saja disana, ini biar Bunda yang urus."
Gadis itu mengangguk, kemudian berjalan mengikuti langkah Bang Fathur tadi. Menaiki anak tangga satu persatu dengan perlahan.
Dilantai atas terdapat banyak ruangan, dimana dia bisa menemukan pria itu?
Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca. Farah menuju kesumber suara. Membuka pintu suatu ruangan. Ia mendapati Bang Fathur dengan tangan yang berlumuran darah.
Farah khawatir, ia berlari menuju pria disana. Melewati beling dilantai dengan hati-hati.
"Apa semua ini?" tanyanya.
Pria dihadapannya hanya menatapnya datar. "Ini bukan kehidupan!" Pria itu melempar vas kaca kelantai.
"Astaghfirullah!" Suara kaca yang pecah itu membuat Farah mengucap. Sekarang dia tau, kenapa Bunda Nida memintanya untuk menenangkan Bang Fathur disini.
♡♡♡