Cause even if I look everywhere
Your colors caught my eye
And you're my favorite sight to see.
—mrld, An Art Gallery Could Never Be as Unique as You
• • •
SEMINGGU melesat begitu cepat.
Alfred masih tidak percaya, hari-hari buruk di hidupnya bisa ia lewati kembali. Suatu pagi yang emosional tempo lalu, ternyata tidak seburuk yang ia pikirkan. Awalnya Alfred mengira Zoe tidak bisa memahaminya, tapi Alfred juga tidak tahu sebetulnya ini salah siapa? Zoe tidak akan menjawab kalau Alfred tidak bertanya. Ketika Alfred bertanya justru kenyataan pahit yang Alfred terima.
Alfred terlalu cemas memikirkan Zoe di sana, sampai Alfred bertingkah kekanakan. Cemburu? Mungkin iya, khawatir juga. Tapi sekali lagi, Alfred memercayai Zoe. Satu pelajaran yang Alfred terima, semakin kamu takut sesuatu, semakin besar pula peluang ketakutan itu akan terjadi. Zoe tetap Zoe, perempuan keras kepala yang tidak mudah goyah, Alfred yakin itu.
Kemarin juga band Petrikor merilis lagu baru judulnya Gantari. Kabar baiknya, sekarang band Petrikor memiliki manajer baru kenalan bapaknya Ben. Bukan hanya itu, band Petrikor juga diundang untuk tampil di festival musik dalam waktu dekat. Alfred bahkan tidak menyangka, band yang dibentuknya sudah sejauh ini melangkah. Rasanya baru kemarin ia mengenal Ben, Ale, dan Hugo. Tapi sekarang, mereka benar-benar seperti keluarga yang selalu berada di sampingnya.
"ALFRED!"
Langkah cepat Alfred terhenti di tikungan koridor kampus tatkala seseorang memanggilnya. Letta berlari kecil, mengurangi jarak di antara mereka. Tumben sekali perempuan itu memakai hoodie hitam yang tampak kebesaran, jangan lupakan juga topi hitam yang sudah bertengger manis di kepala. Alfred mendengus, benar-benar mirip penguntit.
"Apa?"
"Alfred!"
"Apa?"
"Alfred!"
Perempuan itu masih sama, masih suka membuat Alfred jengkel seperti sekarang. Letta menunduk, mengamati ujung sepatu Alfred tanpa suara. Alfred menampilkan rolling eyes, padahal ini bukan pertama kalinya ia bertemu Letta, namun tetap saja tingkah absurd perempuan itu susah diterka.
Kali ini Alfred merespons dengan menurunkan intonasi suaranya. "Letta, kenapa?"
"Alfred, Letta ma-mau pu-pulang." Ada gagap pada ucapan Letta yang tidak luput dari pengamatan Alfred. "Se-sekarang, mau i-kut Alfred pu-pulang."
Alfred ikut menunduk, mengikuti arah pandang Letta. Sampai satu bulir air mata jatuh mengenai ujung sepatu Alfred, saat itu juga Alfred melepas topi yang dikenakan Letta. Tangan Alfred terulur meraup wajah Letta.
Alfred maju satu langkah, memangkas jarak di antara keduanya. Alfred menunduk, menarik perempuan itu dalam zona karbondioksidanya. Ada gertakan aneh pada hati Alfred tatkala mengamati wajah Letta yang terdapat luka lebam di pelipis mata kanan.
"Siapa orangnya?"
"Nggak apa-apa, Letta mau pulang," tukas Letta, buru-buru merebut kembali topi dari tangan Alfred lalu kembali mengenakannya.
Alfred mencengkram lengan Letta. "Jawab gue, siapa orang yang ngelakuin ini?"
"Tadi Letta jatuh Alfred, terus kena meja."
"Bohong! Si Pirang?"
"Namanya Jeremy, Alfred. Bu-bukan ka-karena Jeremy."
"Letta," panggil Alfred pelan. Alfred meraih dagu Letta, mendongakkan wajah yang sedari tadi senang menunduk. Hanya dalam satu detik, Alfred mampu mengunci tatapan Letta. "Kalau ada apa-apa, bilang ke gue. Gimana caranya gue bantu lo kalau lo terus diam. Bilang kalau dia jahat."
"Letta mau pu-pulang, Alfred."
Letta menjangkau jemari tangan Alfred, menggenggamnya erat lalu menyeret lelaki itu agar segera pergi. Alfred hendak menyentak tangan Letta karena perempuan itu seenak hati menggenggam tangan Alfred secara tiba-tiba. Namun, genggamannya menyiratkan seolah butuh perlindungan.
Letta celingak-celinguk, memperhatikan keadaan parkiran kampus secara seksama. Setelah dirasa aman-aman saja, Letta melepaskan genggaman tangan mereka. Alfred menaikan tali ransel yang tersampir di bahu kiri, lalu lelaki itu bersiap untuk memberantas sesuatu yang sedari tadi membuat pandangannya terasa tidak nyaman.
Alfred mengambil tangan Letta, melipat lengan hoodie yang sangat kepanjangan bahkan membuat jemari perempuan itu tenggelam. Tentu saja hal tersebut membuat Letta tersentak. "Letta," jeda Alfred, kemudian lelaki itu mengeluarkan selembar uang kertas dari dompet. "Pulang sendiri aja, ya? Gue ada kelas, udah terlambat lagi."
Letta menolak keras, perempuan itu berkedip sekali. Bola mata Letta terasa panas, bulir air kembali mengumpul di pelupuk mata. Bibir Letta bergetar, ada desiran aneh yang bisa membuat hatinya seolah tertusuk belati.
"Letta bisa pulang sendiri naik ojol. Alfred sama aja!"
"Apanya yang sama?"
"Semuanya! Sama kayak orang yang suka nyakitin Letta!" Perempuan itu meraih rambut panjangnya sendiri, mengacak-acak frustrasi. "Kenapa harus Alfred juga!?"
"Apa, sih?"
Letta berbalik badan, bersiap untuk meninggalkan Alfred yang masih cengo di tempat. Apa salah Alfred? Astaga. Mengingat Alfred masih memiliki hati nurani, ia langsung mengambil langkah ingin mencegah Letta.
Tapi, perempuan itu, tanpa menoleh pada Alfred berkata, "Diam Alfred di situ!"
Alfred tidak peduli, ia tetap melangkah.
"ALFRED DIAM!"
Teriakan Letta barusan seolah mantra mujarab yang mampu membuat Alfred mendengarkannya. Namun, Letta justru berbalik badan lalu memeluk Alfred erat-erat.
"Alfred jangan kayak Jeremy."