I'm tired of lovin' from afar
And never being where you are.
—James Arthur, Car's Outside
• • •
INI hanya khawatir atau cemburu? Alfred tidak suka kata atau, kalau saja kata itu tidak diciptakan maka ia tidak akan merasa kebingungan sekarang. Ketika Zoe memutuskan sambungan, bertepatan dengan itu juga suara dentingan jam terdengar jelas.
Sunyi.
Butuh beberapa detik sampai akhirnya Alfred kembali terdistraksi oleh sebuah nama, Adit. Tanpa melaun-laun, logikanya bekerja keras membenarkan bahwa dirinya memang bodoh.
Setelah menghela napas gusar, Alfred memutuskan untuk menuju dapur, tenggorokannya terasa kering. Dengan gerakan ayal, tangan Alfred menyambar gelas berbentuk tabung. Memencet tombol dispenser untuk mengeluarkan air di dalamnya. Pada setiap bunyi gemericik air yang jatuh mengisi gelas seolah memberinya peluang untuk berpikir.
Alfred mengira hubungan jarak jauh tidak akan sesulit ini. Ribuan jarak kilometer, zona waktu yang berbeda, kesibukan masing-masing, dan situasi di mana Alfred tidak mengetahui keadaan Zoe yang sebenarnya di sana. Sesuatu yang biasa saja bagi Zoe di sana, mungkin menjadi luar biasa bagi Alfred di sini.
Di sana Zoe biasa saja bertemu dengan seorang yang bernama Adit, di sini justru menjadi hal luar biasa bagi Alfred karena lelaki berkacamata itu merasa takut. Alfred takut tentang hubungannya, apa di sana Zoe juga merasakan yang sama atau biasa saja?
Hingga suara gemericiknya semakin kecil, bertanda kalau gelasnya hampir penuh. Alfred duduk di stool bar, memimum air itu hingga jakunnya bergerak naik-turun diiringi suara tegukan berulang kali. Alfred merogoh saku celana, mengambil benda pipih yang beberapa detik lalu mengeluarkan bunyi notifikasi panggilan.
"Iya, Bunda?"
"Belum tidur?"
"Belum, Bunda kenapa telepon Alfred sepagi ini?"
"Nak, lusa Bunda sama Ayah nggak jadi pulang. Masih banyak yang harus Bunda sama Ayah urus di Singapura, tender proyeknya belum selesai. Sekitar sebulan lagi Bunda sama Ayah pulang."
"Iya, Bunda."
"Kuliah kamu gimana?"
"Masih kayak biasa, Bun."
"Baik-baik saja sama Zoe?"
Bukan menjadi rahasia lagi jika kedua orang tua Alfred mengenal Zoe, karena bukan sekali saja Alfred membawa Zoe ke rumahnya. Ada binar nyata di mata Bunda saat Alfred pertama kali membawa Zoe ke rumah, bahkan Alfred masih ingat wajah malu-malu perempuan itu tatkala Bunda memujinya cantik. Bagi Bunda, Zoe sudah seperti anak perempuannya sendiri. Dengan perangai baik Zoe, Bunda dan Ayah sampai takluk dan mengizinkan hubungan keduanya.
"Baik, Bun. Alfred sama Zoe masih baik-baik aja."
Ini memang baik, tapi tidak benar-benar baik. Apa pantas Alfred menyebutnya demikian?
"Waktu itu kamu cerita ke Bunda lagi buat lagu baru, ya? Lagunya udah selesai, Nak? Bunda selalu tunggu loh."
"Sedikit lagi, Bun."
"Ma-mas, kenapa? S-sebentar, Alfred, Ayah mau bicara, teleponnya Bunda kasih ke Ay-"
"Sudah berapa kali Ayah bilang, mau jadi apa kamu sama lagu-lagu itu? Musik ngasih kamu apa Alfred? Masa depan suram? Iya memang begitu. Belum lagi regulasi industri musik yang tidak jelas."
"Itu udah jelas, Yah. Alfred memiliki karya, lagu Ulah Semesta banyak didengarkan pada bulan ini di Spotify. Alfred punya masa depan dan itu jelas."
"Itu karena keberuntungan. Berhasilnya sesaat, besok-besok juga orang-orang akan lupa. Ayah mengizinkanmu ambil jurusan musik karena kita udah buat kesepakatan. Setelah lulus kamu harus lanjut studi S2 bisnis dan membantu perusahaan Ayah. Buat sekarang fokus saja belajar, jangan kelewat batas."
"Mas, jangan terlalu keras, biarin Alfred memilih pilihan terbaiknya. Alfred, dengerin Bunda. Ayah bilang seperti itu karena Ayah sedang lelah. Jangan diambil hati ya, Sayang."
"Ini peringatan terakhir ya Alfred, kalau bisa sekalian saja kamu keluar dari band yang kamu bentuk itu. Band apa namanya? Ah, lupakan. Untuk apa? Itu akan sia-sia."
"Mas-"
Alfred memutuskan sambungan secara sepihak. Tatapannya nyalang mengamati gelas kosong di hadapan. Dadanya terasa sesak, seolah pasokan udara hampir habis. Bola matanya hangat, bulir air mulai berkumpul di pelupuk mata. Alfred tidak ingin menjatuhkannya, ia menengadah. Ini bukan kejadian yang pertama kali, namun tetap saja lagi-lagi Alfred tidak bisa mengatasinya. Lagi-lagi harapan pupus tanpa penyangkalan. Alfred ingin menangis, tapi lelaki itu masih mempunyai pikiran kuno bahwa lelaki tidak boleh menangis.
Tidak apa-apa.
Tidak apa-apa.
Tidak apa-apa.
Dentingan halus dari ponsel yang masih dalam genggamannya, menyeret Alfred untuk mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenal.
"Alfred kenapa? Nggak biasanya Letta lihat lampu kamar Alfred masih nyala sepagi ini? Ini Letta, dapat nomor Alfred dari Hugo."
Alfred membeku, kenapa mesti Letta?