- 2023 VenatorNoxRead More >>"> Daybreak (4. E-Sport Team) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Daybreak
MENU
About Us  

"Gimana Bapak sama Ibuk kamu? Suka, sama jajannya kemarin?" Ari yang duduk di sebelah bangkuku, bertanya.

Aku mengangguk, mengacungkan jempol, tanpa tersenyum. Pagi-pagi aku berangkat ke sekolah, wajahku masih mengantuk. Ari ini, meski dia resek, biang kerok, terlambat mengumpulkan tugas, tapi dia selalu datang lebih awal ke sekolah. Selalu disiplin tepat waktu.

Aku menghela napas. Di kelas hanya ada aku dan Ari. Enam menit kemudian, datang teman kami, laki-laki yang tingginya sama dengan Ari.

"Hai, Rik! Hai, Wa!"

Aku mengangguk membalas sapaannya. Dialah teman sekelas yang bernama Rian, tapi anak-anak di sekolah memanggilnya Iyan—menghapus huruf R di namanya, menambahkan huruf Y setelah huruf I.

Tapi dia tidak keberatan. Di rumah dia dipanggil Iyan oleh orangtua dan saudaranya.

"Loh loh, Rik... Masih pagi kok login?"

Aku melirik handphone Ari yang membuka game Ancient Legends, di sana terlihat splash art hero di loading screen.

"Makanya itu, masih pagi enaknya main. Belnya setengah jam lagi bunyi. Cukup buat satu match aja." Ari menjawab santai, mengangkat salah satu kakinya di atas kursi.

"Ikut, Rik. Eh, ini mau main rank atau classic?" Rian bersemangat mengambil ponsel dari dalam tasnya. Duduk di sebelah Ari.

"Classic aja. Aku masih Legend divisi I, belum sempat nge-rank. Gas login, Bro!" Ari tertawa. Senang karena ada teman mabar.

Aku melirik, Rian juga sudah login. Kemudian Ari mengundang temannya itu untuk se-lobby agar bisa bermain bersama.

"Ikut, gak, Wa?"

Aku tersentak, melotot ke arah Ari. "Ikut?"

Ari santai mengangkat ponsel horizontal-nya. Isyarat bahwa dia mengajakku mabar.

"Najwa juga main AL?" Rian turut dalam percakapan. Bahkan wajah teman kami itu terlihat antusias.

Gawat. Apa Ari lupa bahwa di sini ada orang lain? Nama di balik Venator akan terbongkar nanti... Arghhh! Dasar Ari si biang kerok!

Aku tersenyum kaku, mengangguk. "Ho-oh..." Lalu kedua mataku melotot ke arah Ari.

"Wah, seru dong. Apa rank kamu, Wa?"

"Masih Mythic divisi 5..." Aku menjawab pelan. Ingin sekali aku menjitak kepala Ari lalu meninju kepalanya sekarang juga!

"Itu hebat, Wa! Jarang-jarang aku nemu cewek main AL." Rian tersenyum penuh kebanggaan.

Aku mengangguk, lalu senyumanku pudar saat menatap Ari yang hanya nyengir seolah tidak merasa bersalah.

"Jadi ikut, gak?"

"Gak!" Aku menjawab ketus pertanyaan Ari.

"OK, deh." Ari mengangkat bahu, santai. Sementara Rian terkekeh-kekeh.

Aku tahu. Ari bertanya tadi karena dia ingin menunjukkan kepada temannya bahwa aku juga hebat dalam bermain game itu (sebenarnya skill bermainku tidak seberapa). Aku merasa kesal. Tidak bisakah dia menjaga rahasiaku?

Sementara Ari dan Rian sudah asyik pada ponselnya masing-masing. Dari tempat dudukku aku memperhatikan mereka. Ada juga suara Ari yang menyumpahserapah seperti kebiasaannya. Dan Rian, hanya tertawa. Dia tidak toxic seperti Ari. Aku kagum dengan caranya bermain.

Victory terdengar keras dari ponsel mereka. Pertandingan itu selesai hanya dalam waktu dua belas menit saja. Diam-diam aku menghitungnya melalui jam analog di bar ponselku.

Kelas mulai ramai oleh siswa-siswi. Selesai dengan game-nya, Ari dan Rian keluar kelas. Bel berbunyi sepuluh menit lagi, entah apa yang akan mereka lakukan. Mungkin bermain bola di lapangan mencari keringat, atau sarapan di kantin. Ari juga mengajak temannya yang lain.

Aku menghela napas. Kali ini aku tidak bisa menjitak kepalanya. Huft, awas saja!

 

***
  

  
Istirahat pertama. Waktu melesat bagai merangkak.

Wajahku mungkin terlihat kesal saat ini. Sejak tadi Ari selalu menghindar—tahu bahwa aku akan memarahinya. Setelah istirahat ini, jam olahraga. Aku sudah mengganti pakaianku, kali ini aku mencari keberadaan Ari—yang sedang bermain bola voli di lapangan.

Aku melihat Ari tertawa dengan teman-temannya. Lihatlah, sebentar lagi aku akan menyumpal tawanya itu!

Aku berjalan cepat menghampiri lelaki berambut kusut itu. Ari menyadari keberadaanku, seolah paham, dia langsung menyisih ke tepi lapangan.

"Halo, Wawa cantik." Ari nyengir, rambutnya kusut dan basah karena keringat.

Aku mengernyit, masa bodoh dengan pujian itu. "Kamu bisa gak sih, Rik, jaga rahasiaku?" Aku terus terang.

"Rahasia apa?"

"Soal Venator," Suaraku memelan.

"Biarlah, Wa. Sampai kapan kamu nutupin bakat kamu?" Ari menghela napas. Kali ini nadanya terdengar serius.

"Itu bukan bakat yang harus aku banggakan, Rik."

"Kamu berbakat dalam hal e-sport, Wa. Itu suatu kebanggaan. Kamu pernah ada di posisi Top Provinsi, nggak semua player bisa ada di posisi itu. Kamu pernah setim sama aku. Aku tahu gimana cara kamu main." suara Ari terdengar lembut.

Aku menatap wajah Ari.

"Aku tahu, Wa. Hal apa yang bikin kamu minder sama bakat kamu. Setiap player pernah ada di posisi low performance. Tapi kamu bisa bangkit suatu saat. Nggak selamanya kamu terpuruk nyembunyiin bakat kamu kayak gini." Imbuh Ari, suaranya begitu tenang.

Aku tahu. Ari si biang kerok, kusut, menyukai masalah. Tapi di balik itu semua, aku menyukai sisi kepribadiannya yang lebih dewasa ketimbang aku yang suka kesal dan marah-marah karena ulahnya.

Perlahan aku tersenyum sembari mengerjap-erajp agar air mataku tak tumpah.

"Besok ada turnamen e-sport satu provinsi. Aku sama Iyan udah daftar di divisi Ancient Legends buat mewakili sekolah. Kamu ikut, ya?"

"Eh? Aku?"

"Ho-oh."

"Tapi aku takut..."

"Takut apa lagi, sih? Aku juga ngajak Fajar, kok." Ari mengusap wajahnya yang berkeringat dengan lengan.

"Fajar?" Aku yakin tidak salah dengar.

"Ho-oh. Kemarin aku sama Iyan mabar bareng Fajar. Skill dia nggak main-main, Wa. Tim kita kuat, kita pasti bisa menang." Ari mengepalkan tinju ke udara, percaya diri.

"Eh, cuma empat? Bukannya ada lima? Kurang satu, dong?"

"Ada. Aku ngajak Yaya, anak kelas RPL. Jadi nggak kamu doang yang cewek."

Aku menghela napas, syukurlah Ari mengerti apa yang sedang aku pikirkan. "Yaya anak kelas sepuluh itu, ya?"

"Bukan. Kelas sebelas, Wa. Ih, kamu nggak tahu, ya?"

Aku menggeleng pelan.

"Ya elah. Gitu aja nggak tahu."

Oke, deh. Ari si paling tahu, Ari si paling kenal semua makhluk di sekolah ini. Sifat sombongnya itu mulai nampak. Kesal aku melihatnya.

"RIK! KENAPA? AYO LANJUT!" Rian berteriak memanggil temannya itu untuk melanjutkan aktivitas voli mereka.

Tanpa basa-basi, Ari langsung berlari, ikut bergabung bermain bola voli bersama temannya. Sementara aku duduk di tepi lapangan yang sejuk, karena tepat di sebelahku ada pohon mangga.

Ari memang terkenal di sekolah, baik murid perempuan maupun laki-laki, semua kagum dengan kemampuannya yang bermain bola voli (mengesampingkan sikapnya yang biang kerok dan suka mencari masalah). Aku mengakuinya, lihatlah di sisi-sisi lapangan, banyak murid perempuan yang bersorak antusias melihat idola mereka.

Tch, idola konon.

Aku menghela napas. Bosan sekali. Jam istirahat ini begitu lama. Teman perempuan yang satu kelas denganku juga sudah keluar dari kelas dengan pakaian olahraga mereka. Ah, aku tidak terlalu dekat dengan cricle mereka. Karena dulu ke mana-mana aku selalu bersama Nala.

Kali ini aku sendirian.

"Hai."

Aku memekik, menoleh ke arah kiri. "Eh, Fajar?"

Lelaki itu mengangguk, kemudian duduk di sebelahku, meneguk minuman dari botol yang ia bawa.

"Tumben?" Aku bertanya. Mood-ku sekarang jadi lebih baik.

"Nggak sengaja lihat kamu duduk di sini sendirian." Ucap Fajar setelah selesai minum, tak lupa dia menutup botol.

Aku manggut-manggut. "Eh, kamu tahu? Ari ngajak kamu gabung tim e-sport divisi Ancient Legends, lho. Buat turnamen. Nggak tahu kapan. Katanya itu turnamen tingkat provinsi."

Fajar mengangguk. "Iya. Kemarin dia bilang ke aku. Aku terima lah. Aku nggak pernah ikutan kayak begituan. Pasti seru."

Aku tersenyum. "Kita mewakili sekolah. Tapi aku takut, deh. Jujur takut banget."

Fajar seolah tahu apa yang aku maksud, lantas lelaki itu tersenyum kepadaku. "Ada masanya seseorang itu takut sama bakatnya sendiri, Wa. Kamu nggak perlu takut sama sesuatu yang belum tentu terjadi."

Aku mengembuskan napas, mengangguk samar.

"Nah, yang kamu butuhkan itu hanya percaya diri, Wa. Kamu itu sudah berbakat. Aku kagum sama skill kamu. Itu hebat." imbuhnya

"Makasih..." Aku tersenyum. Sepertinya pipiku memerah karena dipuji seperti itu.

"My pleasure." Fajar mengangkat kedua alisnya, santai.

"Eh, itu bukannya quote dari hero kesukaan kamu, ya?"

Fajar menyeringai. "Hehehe..."

Mendadak suasana di antara kami menjadi canggung. Fajar memperhatikan dengan seksama seniornya yang bermain voli di tengah lapangan sana.

"Fajar," panggilku, memecah keheningan.

"Hm?"

"Aku pengen tahu, deh... Kok kita bisa kenal, ya?" Pandanganku mengarah ke lapangan.

Pertanyaan itu membuat Fajar tersenyum, aku bisa melihatnya dari ujung mataku.

"Takdir, Wa. Ini semua udah jadi takdir. Kamu tahu? Andai aku nggak masuk sekolah waktu itu, pasti aku bakalan nggak tahu kalau kamu ada."

Kini aku menoleh ke arah Fajar. "Maksudnya?"

"Ah, itu rumit..." Fajar menggaruk tengkuknya. "Aku angkatan baru di sini. Aku sering nggak masuk kelas pas tahun ajaran baru dimulai. Akhirnya aku masuk setelah dua minggu tanpa keterangan. Dan aku dengar nama Venator disebut-sebut sama temen-temen di kelas."

Aku mengangguk, lantas dahiku terlipat. "Kenapa nggak masuk?"

Fajar menunduk, ekspresinya seolah dia sedang menyembunyikan sesuatu.

Aku menunggu jawabannya sekitar sepuluh detik. Kemudian Fajar tersenyum menatap wajahku. "Aku dulu bandel, Wa. Males sekolah. Gitu, lah."

Aku manggut-manggut, separuh tidak percaya. Tapi sudahlah. Fajar sepertinya kurang nyaman membahas masalah di mana dia pernah tidak masuk sekolah saat tahun ajaran baru dimulai.

"Oh iya, Wa. Mas Ari udah bilang ke kamu, nggak?"

"Bilang apa?"

"Nanti pulang sekolah tim yang ikut turnamen kumpul di basecamp OSIS buat rapat."

"Beneran?" Aku mengangkat kedua alis. "Aku baru tahu."

Aduh, si Ari itu memang tidak memberitahuku. Atau dia lupa?

"Kayaknya di tim cuma aku yang dari kelas sepuluh, ya, Wa?" tanya Fajar.

"Nggak masalah. Itu tergantung skill. Eh, tapi kenapa kumpulnya harus di basecamp OSIS?"

"Kamu tahu? Mbak Yaya dari kelas sebelas RPL itu wakil ketua OSIS. Makanya kumpul di sana."

Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu, tapi aku lupa bahwa Yaya kelas sebelas, kukira masih kelas sepuluh seperti Fajar.

Lalu, sebuah suara mengejutkan kami berdua. Suara itu berasal dari ponsel Fajar, kulihat lelaki itu tiba-tiba memasang ekspresi cemas ketika menekan tombol dan membuat dering di ponsel itu berhenti.

"Eh, udahan dulu, ya. Aku mau balik ke kelas." Ucap Fajar, lantas dia beranjak dari tempat duduk sebelum mendengar jawabanku.

Aku diam di tempat memeluk kedua lutut, memandang punggung Fajar yang mulai menjauh di tepi lapangan.

Kenapa? Ada apa dengan perasaanku? Kenapa tiba-tiba perasaanku menjadi cemas begini? Aku teringat wajah cemasnya ketika ponselnya berbunyi. Suara itu seperti alarm ketika kami nongkrong di mall—setelah menonton film bioskop kemarin malam.

Kesiur angin memainkan anak rambutku, membuat perasaanku semakin gelisah, khawatir, campur aduk. Besok-besok aku harus bertanya kepada Fajar, apakah dia menyembunyikan rahasia dariku?

 

***

 
  
Selesai olahraga, aku malas berganti baju. Begitu juga dengan semua teman sekelasku yang tetap memakai pakaian olahraga. Karena untuk apa ganti baju lagi? Dua jam lagi materi selesai, lalu pulang.

Dua jam sebelum bel berbunyi, ada kelas Desain Media Interaktif. Kami melakukan pembelajaran di lab komputer. Ini adalah tempat kesukaanku di sekolah. Karena setelah aku mengerjakan tugas dari guru pemateri, aku langsung bermain game atau membuka YouTube, mendengarkan lagu-lagu dari artis kesukaanku. Seperti Ariana Grande, Lana Del Rey, Taylor Swift, Olivia Rodrigo, dan maish banyak lagi.

Apalagi Ari dan teman-temannya. "Gamer Boys", mereka bermain game yang tidak aku mengerti tapi aku tahu jenisnya—FPS (Frist-Person Shooter). Aku hanya bisa bermain game moba, tidak seperti Ari dan gengnya.

Dan seperti tabiatnya, Ari selalu marah-marah. Bahkan aku yang menggunakan headset bisa mendengar suaranya yang lantang seperti raungan beruang kutub. Jika temannya berbuat salah, dia marah, jika koneksi internet tiba-tiba putus, dia marah, lalu pada akhirnya dia berkata, "udah gak main-mainan! Bubar bubar!" sambil beranjak dari tempat duduk.

Aku menghela napas. Tidak bisakah dia tenang di tempat duduknya? Ari si tidak tahu diri! Tempat ini bukan miliknya sehingga dia bisa berteriak-teriak secara leluasa seperti itu.

Dan akhirnya, bel pulang berbunyi.

Aku tidak tahu ke mana Ari. Setelah kembali ke kelas untuk mengambil tas, aku tidak melihat keberadaannya. Mungkin Ari sudah lebih dulu ke basecamp OSIS.

"Wa, ayo ke basecamp OSIS."

Sosok yang kucari sejak tadi datang dari kelokan koridor.

"Arik?" Aku bergumam. "Aku juga mau ke sana."

"Hah? Kamu tahu kalau tempat kumpulnya di basecamp OSIS?" wajah Ari separuh tak percaya, bersandar di tepi pintu.

Aku mengangguk. "Fajar yang ngasih tahu."

"Oh, yaudah ayo." Ari tersenyum, lebih dulu berjalan. Aku mengikutinya di belakang.

Kami berdua berjalan menuruni tangga. Aku menyadari bahwa ada yang janggal dari penampilan Ari. "Tasmu mana?"

Arik menoleh, kami berdua sudah sampai di koridor lantai satu. "Nggak ada."

"Nggak ada?" Aku mengernyit.

"Masa kamu nggak tahu aku? Setiap hari aku nggak pernah bawa tas ke sekolah, Wa."

"Lah terus bukumu?"

"Aku taruh di kolong meja."

Aku menghela napas. "Jadi kamu nggak belajar dong?"

"Apa peduliku?" Ari santai mengangkat bahu. Aku berusaha menyejajari langkah kakinya.

"Jangan gitu, Rik. Kamu harus belajar. Nanti kalau nggak lulus gimana?"

"Sogok lah. Ayahku kaya raya." Kemudian lelaki itu tertawa. Aku tahu itu hanya candaan.

Aku menghela napas. Sudahlah. Tidak ada kemenangan berdebat dengan Ari. Sementara itu kami sudah sampai di tempat tujuan.

Ari lebih dulu memasuki basecamp OSIS, aku menyusul di belakangnya. Lantas aku melihat Rian, Fajar, perempuan berambut panjang yang dikuncir kuda—dia adalah Yaya anak kelas sebelas RPL. Dan juga...

"Ini dia kartu as kita udah datang."

"Palamu kartu as!" Sentak Ari kepada seorang laki-laki yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Siapa dia? Aku bertanya-tanya di dalam hati.

Fajar tersenyum menyapaku, aku membalas sapaannya dengan senyuman juga. Kemudian wajahku menatap laki-laki yang sempat memberi julukan kartu as kepada Ari.

"Wa, kenalin dia Guntur. Anak kelas sebelas RPL, sekelas sama Yaya."

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Ari. "Kok ada enam? Bukannya lima, ya...?" Kalimatku memelan.

"Buat cadangan. Siapa tahu tiba-tiba kamu minder gak mau main, alasannya takut lah, itu lah." Ari menjawab asal.

Aku menghela napas. Ingin sekali aku menjitak kepalanya.

"Tapi dia bukan cadangan biasa, lho." Yaya angkat bicara. "Di antara kita, dia yang rank-nya paling tinggi, Mythic 1290 point. Mas Rian aja kalah."

Wajah Guntur terlihat memerah karena dipuji. "Eh, nggak kok, hehehe... Tetep Mas Iyan yang paling jago."

Rian tertawa. Fajar hanya tersenyum mendengarnya.

"Oke. Sekarang rundingan buat turnamennya." Rian berbicara.

Kami berenam duduk melingkar di lantai beralaskan tikar. Sebenarnya basecamp OSIS di sekolah kami seperti tempat lesehan yang lumayan luas. Ada televisi, kulkas, lemari buku, juga poster boyband Korea dan anime yang terpasang di dinding-dindingnya.

"Fajar baru masuk ruangan ini, ya?" Suara Yaya.

Yang ditanya tersenyum. Tentu saja karena dia angkatan baru di sekolah ini.

"Sayang banget kamu bukan OSIS. Nanti aja kalau kelas sebelas jangan lupa daftar OSIS, ya." Yaya memberi usul, dia sepertinya moodbooster tim kami.

Fajar mengangguk, tersenyum. Lantas senyumannya itu memudar saat dia menunduk.

Aku memperhatikannya. Apa-apaan raut wajahnya itu?

"Jangan jadi OSIS, Jar. Jangan mau disuruh-suruh." Ari menceletuk, dia duduk di sebelah Fajar.

"Fajar mau kok jadi OSIS nanti pas kelas sebelas." Yaya melotot ke arah Ari. Kemudian wajahnya tersenyum ke arah Fajar. "Iya, kan, Dek?"

Fajar mengangguk kaku. "Nanti aku pikir-pikir lagi, Mbak..."

"Yosh! Gitu dong. Jangan dengerin Mas Arik, ya. Dia itu pemalassss." celetuk Yaya.

Kami semua tertawa, kecuali Ari yang hanya menggaruk tengkuknya karena semua yang dikatakan Yaya adalah fakta.

Dan aku melihat tawa dari laki-laki kelas sepuluh itu. Tawa yang seperti dipaksakan.

"Oke." Rian bersuara. "Kemarin lusa Yaya sempat mengajukan turnamen ini ke kepala sekolah. Dan beliau setuju. Turnamennya diadakan hari Minggu, tiga hari dari sekarang, di alun-alun Kota Surabaya."

"Tiga hari lagi?" Guntur termangu. "Cukup nggak, ya, buat kita latihan?"

"Cukup, Gun. Aku yakin kita berenam semuanya jago mikro atau penguasaan hero. Nah, kita cuma butuh latihan chemistry biar kita kompak. Oh, ya, untuk makro atau penguasaan map, nanti diajarin sama Arik. Dia jagonya." Rian menjelaskan.

Ari mengangguk. Wajahnya serius sekali. Seolah akan mengikuti pertempuran hebat dan dia sebagai pahlawannya.

"Game-nya berapa babak?" Fajar tiba-tiba bertanya.

"Empat. Babak pertama itu kita harus menang karena itu penentuan siapa yang masuk ke babak selanjutnya. Satu babak dua pertandingan. Nah, babak pertama itu hari Minggu nanti pukul 9 pagi."

Fajar mengangguk-angguk.

"Babak keduanya?" Aku bertanya.

"Kalau kita menang, kita nanti masuk ke babak kedua. Babak kedua ini kalau kalah nggak masalah. Tapi usahain menang biar tim kita naik ke upper. Kalau kita menang di babak kedua, kita bakalan tanding di babak ketiga. Babak ketiga ini namanya semifinal. Siapa yang lolos di babak ketiga, nanti tim kita naik ke final atau babak ke-empat."

Penjelasan Rian cukup membuat kami berlima paham.

"Semoga kita menang, at least pas babak pertama." Yaya mengembuskan napas.

"Kita harus menang sampai final! Sampai jadi juara! Jarang-jarang kita bikin bangga sekolah ini, kan?" Ari menyemangati.

Kami serempak mengangguk.

Setelah itu, pembagian role. Kami setuju kalau Rian yang menjadi kapten tim. Dan Rian tidak keberatan. Dia sosok yang berjiwa pemimpin. Karena dulu saat kelas sebelas, dia ketua OSIS di sekolah ini.

"Oke. Kalau gitu Najwa ngisi Mid Lane."

Aku mengangguk. Aku tidak keberatan karena aku menguasai hero-hero dan basic Mid Lane.

"Ari ngisi Roam. Dia yang paling paham soal makro." Suara Rian terdengar tegas.

"Siap!" Ari bersemangat.

Aku sudah sepenuhnya percaya, karena saat satu tim denganku dulu, Koraki AE alias Ari ini dulu seorang Roamer. Tugasnya adalah melindungi satu tim, atau mengelilingi map untuk mengungkap posisi musuh kepada teman satu timnya.

"Yaya ngisi EXP Lane."

Yaya mengacungkan jempol.

"Fajar ngisi Jungle."

Fajar mengangguk, tidak keberatan.

Aku tidak tahu kapan Rian bisa mengetahui skill Fajar hingga dia dijadikan Jungler. Mungkin kemarin malam Fajar mabar dengan Rian dan juga Ari untuk melihat kemampuannya.

"Aku ngisi Gold Lane. Kalau Guntur, dia bebas main apa aja. Orang dia kayaknya gak dapat giliran main."

Guntur menyeringai. "Semoga aja nanti Najwa tiba-tiba takut atau minder, jadi aku bisa main. Hehehe...."

Aku melotot. Ari tertawa terbahak-bahak, mengolok diriku.

Aku yakin, untuk kalian yang pernah bermain game MOBA, pasti sudah mengetahui istilah role-role yang sudah disebutkan oleh Rian.

(Bagi kalian yang belum pernah main ml, foto di atas adalah keterangannya)

(Bagi kalian yang belum pernah main moba, foto di atas adalah keterangannya)

"Oke. Kita latihan nanti malam. Rik, nanti undang Najwa. Aku gak tahu username-nya apa."

"Oke, Yan. Kalian nanti kaget pas lihat username-nya Wawa." Ari menatap ke arahku.

Aku menunduk, semoga saja nanti malam aku tidak salah tingkah. Dan aku akan membuka nama VenatorNox di hadapan publik.

Fajar di hadapanku tersenyum memberikan semangat. Dia seolah tahu perasaanku yang pernah mengalami masa-masa low performance sehingga aku meninggalkan teman-temanku seperti Ari.
  
  
  

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Guguran Daun di atas Pusara
427      286     1     
Short Story
Comfort
1117      474     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Trust
1727      700     7     
Romance
Kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan.
Teilzeit
717      357     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Her Glamour Heels
470      319     3     
Short Story
Apa yang akan kalian fikirkan bila mendengar kata heels dan berlian?. Pasti di khayalan kalian akan tergambar sebuah sepatu hak tinggi mewah dengan harga selangit. Itu pasti,tetapi bagiku,yang terfikirkan adalah DIA. READ THIS NOWWW!!!!
Pacarku Arwah Gentayangan
3853      1314     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Tulus Paling Serius
1482      622     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Transformers
243      203     0     
Romance
Berubah untuk menjadi yang terbaik di mata orang tercinta, atau menjadi yang selamat dari berbagai masalah?
I\'m Too Shy To Say
396      260     0     
Short Story
Joshua mencintai Natasha, namun ia selalu malu untuk mengungkapkannya. Tapi bagaimana bila suatu hari sebuah masalah menimpa Joshua dan Natasha? Akan masalah tersebut dapat membantu Joshua menyatakan perasaannya pada Natasha.
Be Yours.
1887      1032     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...