Hari ini Ari sudah banyak menggangguku selama di sekolah. Cukup sudah. Besok aku harus segera menjauh karena dia biang masalah.
Tapi itu tidak cukup bagi Ari, dia memang menyukai masalah sejak dulu. Iya, aku satu sekolah dengannya sejak SMP. Rumah kami dekat, sekitar dua ratus meter saja. Ibuku pernah bercerita kalau sewaktu kami kecil, rumah Ari ada di sebelah rumahku. Sehingga kami bisa dikatakan teman sejak lahir. Namun, saat kami kelas empat SD, orangtua Ari pindah dan rumah di sebelah kami ditempati oleh saudaranya.
Kami satu TK, tetapi SD sampai SMP kami sekolah di tempat yang berbeda. Hanya di SMK ini aku satu sekolah dengan Ari. Dan saat SD dan SMP, Ari satu tempat les denganku. Sejak kecil dia suka menggangguku hingga aku menangis mengadu ke Ibu.
Iya, dia teman masa kecilku dulu.
Keluarga Ari sangat sederhana, tapi dia selalu bisa membeli apa saja seperti laptop, handphone yang harganya tidak masuk akal. Puluhan bahkan ratusan juta. Orang lain akan terkejut melihat kondisi rumah Ari yang begitu sederhana, tapi gaya hidupnya jauh dari kata demikian.
Setahuku, ayahnya itu pengusaha. Ibunya dokter ahli bedah dan spesialis saraf yang hebat.
Badanku terasa segar setelah mandi. Aku duduk di kursi sofa, melanjutkan membaca buku novel yang sudah seminggu tidak selesai-selesai kubaca. Itu karena tugas sekolah yang menumpuk seperti cucian.
Persis saat aku membuka buku novel, ada yang mengetuk pintu rumah.
Aku menghela napas. Ibu tidak ada di rumah karena arisan, bapakku masih kerja. Adikku masih les. Aku sendirian di rumah. Betapa malasnya aku menerima tamu jika sendirian seperti ini.
Pintu diketuk semakin keras.
"Iya, sebentar!" Aku berseru, beranjak dari sofa. Membuka pintu.
"Assalamualaikum, Wa."
Aku tercekat. Rupanya Ari. Dia datang ke rumahku.
"Kenapa, Rik?" Aku bertanya ketus, bersedekap.
"Jawab salamku dulu."
Aku menghela. Iya juga, aku tadi tidak menjawab salamnya karena masih kaget. "Wa'alaikumussalam." Jawabku, kali ini nadaku memelan.
Ari tersenyum.
"Kenapa, Rik?" Aku mengulangi pertanyaanku.
"Nonton, yuk." Ari terlihat terus terang.
Dahiku terlipat. "Hah? Nonton apa?"
"Film horror yang kamu pengen itu."
"Sejak kapan aku pengen nonton film horror? Sama kamu?"
"Aku sempat dengar kamu sama Nala ngobrol soal film itu kemarin lusa. Ya udah, aku beliin tiket nonton." Ari mengeluarkan dua kertas itu dari saku jaketnya. Menunjukkannya kepadaku.
Aku mendengus. Laki-laki ini ternyata mengawasi diriku dan Nala.
"Tapi aku izin dulu sama orangtua, Rik." Suaraku memelan. Berusaha untuk menolak, tapi Ari sudah membeli tiket itu. Mubazir jika aku tidak menerimanya. Lagipula film horror itu lumayan seru menurut cerita teman-teman di kelas. Aku jadi penasaran dan ingin menonton.
"Ya minta izin, lah. Apa susah—"
"Bapak sama Ibuk keluar." Sahutku.
Namun, hei! Aku baru menyadari tiket itu yang jumlahnya ada tiga. Ari sengaja hanya menunjukkan satu tiket itu dengan menumpuk dua tiket yang lain.
"Bentar. Itu tiketnya ada tiga?" Tanganku menunjuk ke arah tiket itu.
Ari menyeringai, seolah penyamarannya terbuka. "Iya, hehe... Aku ngajak adik kelas yang tadi itu. Siapa namanya? Fajar? Ayo, Wa, sekalian ajak dia nonton. Filmnya dimulai jam setengah tujuh malam."
Aku menepuk dahi.
"Anggap aja sebagai ucapan maafku ke dia, Wa. Aku traktir dia nonton. Kamu nggak usah mikirin biayanya kalau dia minta popcorn juga. Ari bin Erico yang traktir semua."
Bukan begitu maksudku saat aku menepuk dahi. Bagaimana kalau Fajar tidak suka genre horror, heh?
Namun, baiklah. Aku setuju. Lagipula aku tahu alamat rumah Fajar. Juga film itu, aku juga ingin menontonnya. "Oke. Aku ikut." Jawabku dengan wajah datar.
"Yes!" Ari berseru semangat, mengepalkan tinjunya ke udara. "Nanti naik mobilku, ya, Wa. Sekarang aku pulang ke rumah. Nanti habis maghrib aku ke sini lagi."
Aku mengangguk, melambaikan tangan tidak peduli. Mood-ku tidak baik-baik saja untuk saat ini. Bagaimana jika Ari akan mencari masalah lagi dengan Fajar? Aku akan pusing mengurus mereka nantinya.
Sementara Ari sudah melaju meninggalkan area rumahku dengan sepeda kayuhnya berwarna merah muda yang terdapat keranjang di depannya. Aku ingat, itu sepeda lama milik Ari yang digunakan saat les sewaktu SD.
***
Akhirnya bapakku pulang dari kerja, lima menit setelah Ari pergi. Aku berpamitan bahwa aku diajak Ari nonton (bersama anak lain juga).
"Habis maghrib Arik ke sini, Pak."
Bapakku mengangguk setuju. Karena beliau kenal dengan Ari sejak kami kecil. Dia sering bermain ke rumah ini bersama adikku. Walau menjengkelkan, dia kadang teman yang baik.
"Pokoknya jangan terlalu malam pulangnya." Ujar Bapak. Aku mengangguk, setuju.
Setelah sholat maghrib, aku mengganti pakaian. Rok panjang dengan kaos lengan panjang pula. Aku mengepang rambut panjangku agar tidak mengganggu.
"Ibuk arisan kok lama banget, sih, Wa?" Bapakku bertanya saat hendak menyalakan televisi.
"Makan-makan mungkin, Pak. Biasalah. Ibu-ibu." Aku nyengir.
Bapak terkekeh, mengangguk.
Tiba-tiba terdengar suara mobil. Aku yakin itu Ari.
"Assalamualaikum!"
Tuh, belum sempat aku keluar dari rumah, lelaki itu muncul di ambang pintu yang terbuka.
"Waalaikumussalam, Rik." Aku dan Bapak hampir kompak menjawab salamnya dari rumah.
Bapakku yang asyik menonton televisi, beranjak menuju ruang tamu untuk menyambut Ari.
Ari tersenyum ke arah Bapak, kemudian mencium tangan Bapakku. "Pak, saya mau ngajak Wawa ke Bioskop. Itu, lho, Pak, film horror."
Aku melotot. Tumben sekali Ari menggunakan bahasa yang sangat halus. Biasanya dia blak-blakan kalau berbicara. Dasar pencitraan.
Bapakku tersenyum, mengangguk. "Hati-hati, ya, Nak."
"Siap, Pak!" Ari mengacungkan jempolnya.
Aku juga berpamitan, mencium tangan Bapak. Setelah itu aku memakai sandal selop hitam, kemudian berjalan menghampiri mobil Ari yang terparkir di halaman rumah.
Ari lebih dulu masuk ke dalam mobil. Kulihat Bapak sudah kembali masuk ke rumah. Aku jadi bisa leluasa mengomeli Ari.
Aku menghela napas, membuka pintu mobil, lantas memasukinya.
"Lho, kok duduk di situ, seh?" tanya Ari dengan kesal.
Aku memang membuka pintu mobil lantas duduk di bangku nomor dua. Aku menahan tawa melihat wajah Ari yang sok cemberut itu. "Kenapa?"
"Di sebelahku aja sini." Ari protes.
"Enggak mau! Enak aja." Sergahku.
Ari masih cemberut.
"Oke lah. Enggak jadi nonton—"
"Ya udah. Duduk di sana aja." Ari memotong.
Aku tersenyum. Menang. Sementara Ari mulai melajukan mobilnya, membelah jalanan.
"Rumahnya Fajar di mana, Wa?" Sambil mengendalikan mobil, Ari bertanya kepadaku.
"Perumahan Ngampelsari itu, lho."
"Banyak perumahan di Ngampelsari, Wa."
"Aku lupa namanya. Gapura perumahan itu ada di depan masjid besar."
Ari masih fokus mengemudi. "Owalah. Bumi Candiloka?"
"Iya itu" Aku berseru antusias.
Sementara Ari terus melajukan mobilnya. Sesekali aku merasakan semilir angin melalui jendela mobil.
"Jadi kamu kenal Fajar lewat game, Wa?"
Aku mengangguk setelah menceritakan bagaimana aku bisa kenal dengan Fajar, anak kelas sepuluh.
"Berarti selama ini kamu mabar dong sama dia?" tanyanya lagi.
"Iya." jawabku dengan senang hati. "Kenapa emangnya?"
Ari kembali memasang wajah cemberutnya.
Mobil yang kami kendarai memasuki jalanan perumahan. Aku masih mengingat jalannya. Harus kuakui, jalanan di perumahan itu membuatku kebingungan. Ada banyak kelokan dan rumah-rumahnya berjajar. Bahkan warnanya ada yang hampir sama.
Setelah lima menit, aku berseru. "Berhenti, Rik! Itu rumahnya."
Kami sampai di depan gerbang rumah Fajar. Begitu sepi, terlihat dari sini, cahaya lampu kuning berpendar-pendar di teras rumah.
Aku lebih dulu keluar dari mobil, disusul Ari.
Persis saat aku hendak menekan tombol bell, si penghuni rumah yang kami cari datang keluar. Kemudian dia membuka sedikit gerbang, wajahnya terkejut melihat kami berdua.
"Najwa?" Fajar memastikan.
Aku mengangguk. Penampilan Fajar kali ini cukup membuatku tertegun. Lihatlah, kaos putih polos dengan celana pendek se-lutut. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat seperti baru saja bangun tidur.
Entahlah, mungkin perasaanku saja yang biasanya melihat Fajar dengan seragam sekolah seperti biasanya.
"Eh? Mas yang tadi di lapangan, kan?" Fajar menunjuk Ari, bertanya.
Ari mengangguk. "Kamu mau ikut, gak?" Ari berusaha tersenyum.
"Ikut ke?"
"Nonton." Aku yang menjawab. "Film horror. Kamu suka genre horror, nggak?"
"Lumayan, sih."
Ari menoleh ke arahku. Merasa tebakannya benar.
"Ya udah, Jar. Kamu mau ikut kita, gak?" tanya Ari.
Fajar terlihat berpikir, menimbang. Entah apa yang ada di pikirannya. "Ayahku masih belum pulang, Wa, Mas."
"Ibu, kan, ada." Ari menyahut.
"Ibu udah meninggal."
"Hah?" Aku tersentak, begitu juga dengan Ari. Aku refleks menyikut dan mencubit lengan Ari.
"Aduh, Wa... Sakit..." Ari meringis.
"Kalau mau nanya itu disaring dulu!" Aku berbisik, sudah terlanjur kesal.
"Enggak apa-apa, Wa." Fajar tersenyum, mendengar bisikanku. "Mas Ari mungkin belum tahu. Tapi ada Bunda kok di rumah."
Eh? Aku masih tidak mengerti. Fajar ini... Apakah ayahnya menikah lagi, begitu? Dia menyebut ibu kandungnya dengan sebutan "ibu" sedangkan untuk ibu sambungnya, dengan sebutan "bunda"?
"Mari masuk dulu." Fajar membuka lebar-lebar gerbang. "Mobilnya taruh situ aja, aman kok."
Ari mengangguk, menyikuti lenganku.
"Apa, sih?" Bisikku kesal.
"Bedanya ibu sama bunda itu apa?" Ari berbisik.
Aku mengangkat bahu. Berjalan memasuki tanah rerumputan.
Kami mulai menginjak lantai marmer. Sebelumnya aku hendak melepas sandal, tapi Fajar melarangku. Bilang kalau di dalam rumah biasanya keluarga mereka mengenakan sandal atau sepatu.
Teras rumah ini begitu terlihat menyegarkan di malam hari. Fajar mempersilakan aku dan Ari duduk di kursi.
"Bentar, ya, ganti baju dulu, terus minta izin sama Bunda." Fajar berkata.
Aku mengangguk. Kemudian Fajar memasuki rumahnya.
"Bukan main, sih, Wa. Fajar ini orang kaya." Ari bergumam saat melongokkan kepalanya ke arah pintu rumah.
"Ngapain, Rik? Nggak sopan." Aku melarangnya agar menghentikan sikapnya itu.
"Iya juga, ya. Maaf."
Aku menghela napas.
Kami hanya diam selama lima menit terakhir. Ari sibuk bermain ponsel, menggulir beranda TikTok. Aku tetap diam memperhatikan halaman rumah yang sepi.
"Hati-hati di jalan, ya, Nak. Jangan lupa alarm-nya."
Samar-samar suara seorang wanita dari dalam rumah mengejutkan kami berdua. Refleks aku berdiri dari kursi, juga Ari—yang menghentikan kegiatannya menggulir beranda TikTok.
Fajar keluar lebih dulu (dengan pakaian yang sudah ganti), disusul dengan seorang wanita yang terlihat muda, rambutnya pendek sebahu. Aku tertegun, bahkan Ari sampai melongo melihat ibu sambungnya Ari yang... terlihat seumuran dengan kami.
"Halo, Tante..." Ari lebih dulu menyapa.
"Eh, temannya Fajar, ya?" Bundanya Fajar menatapku dan Ari bergantian.
"Iya, Tante. Kakak kelas." Ari menjawab lagi, tersenyum.
"Ya sudah, kalian berangkat sekarang. Keburu filmnya dimulai. Rugi, lho." ujar bundanya Fajar dengan riang.
Fajar bersalaman dengan Bundanya, aku dan Ari juga melakukan hal yang sama.
Kemudian kami bertiga berjalan membelah halaman rerumputan itu. Di teras rumah, bundanya Fajar melambaikan tangan. Aku yang menjawab lambaiannya. Sedangkan Fajar hanya tersenyum.
Ari memasuki mobil terlebih dahulu. Aku dan Fajar menyusul.
Ari sepertinya protes soal tempat duduk Fajar—yang memilih duduk di sebelahku. Tapi dia menahannya, tahu bahwa aku tidak suka dirinya mencari keributan. Ari sendirian ada di bangku depan. Aku menahan tawa saat melihat wajah cemberut Ari yang dicueki oleh kedua temannya.
Namun, aku salah menilainya. Bukan itu maksud wajah Ari yang cemberut melihatku duduk bersebelahan dengan Fajar.
Nanti-nanti, aku baru memahaminya.
****
Sykurlah kami tidak terlambat dengan filmnya. Ari memesan bangku di paling atas bioskop agar kami bisa dengan jelas melihat film layar lebar itu.
Agar Ari tidak mencari masalah dengan Fajar, aku duduk di tengah-tengah mereka. Sepanjang film, Fajar hanya diam. Atau lebih tepatnya dia tidak takut dengan film horror itu. Sebaliknya, Ari berteriak ketakutan. Dia bahkan refleks merangkulku karena terkejut ketika ada adegan jumpscare.
Aku membalas dengan menyikut lengan Ari. Sejak kecil dia selalu saja begitu, refleks merangkul orang di sebelahnya ketika kaget.
"Ehem ehem." Fajar berdeham, sengaja meledekku.
Aku melotot ke arahnya. Fajar menahan tawa, lanjut ke film-nya.
Hampir dua jam, film itu telah usai. Ari menghela. Jelas dia tidak suka genre horror.
"Beli es, yuk." Ajak Ari yang wajahnya masih pucat.
Aku hampir menolak, tapi Fajar lebih dulu setuju. Aku jadi kalah suara, satu banding dua.
Kami bertiga duduk di kursi, Ari yang mentraktir minumannya. Karena dia sudah berjanji untuk mentraktir aku dan Fajar.
"Lain kali gak usah ngaja nonton film horror. Kamu sendiri gak suka film horor." celetukku pada Ari.
Laki-laki itu menyeringai. "Emang kalau aku ajak nonton film romance, kamu pasti menolak."
Aku terdiam.
Sementara Fajar sibuk mengaduk minumannya dengan sedotan, tetapi dari raut wajahnya, dia seperti menengarkan obrolanku dengan Ari. Keadaan menjadi canggung di antara kami bertiga.
Tiba-tiba suara dering ponsel mengejutkan keheningan di antara kami bertiga. Itu bunyi handphone Fajar.
"Bentar, ya." Lelaki itu bangkit, sambil menggeser layar ponselnya.
Aku mengangguk, juga Ari. Itu mungkin privasi, aku tidak mau bertanya lebih lanjut.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Tadi Bundanya Fajar berkata, jangan lupa alarm, kan? Alarm apa maksudnya? Dan bunyi ponsel tadi, itu bukan dari telepon seseorang. Melainkan alarm itu.
Aku jadi penasaran—melebihi rasa penasaran Ari.
***
Malam itu, kami bertiga melakukan banyak hal selain menonton film atau menikmati minuman dingin.
Ari itu banyak tingkah, dia bahkan menyewa mobil-mobilan di mall, menyuruhku dan Fajar untuk mengabadikan moment-nya saat mengendarai mobil-mobilan itu. Aku melotot tidak mau, sedangkan Fajar dengan senang hati meladeni seniornya itu.
Seperti yang dikatakan Bapak, aku tidak akan pulang terlalu malam. Ari kemudian mengantar Fajar kembali ke rumah. Ayahnya ternyata sudah pulang. Fajar disambut dengan Ayah dan Bundanya di ruang tamu. Aku dan Ari sempat bersalaman, ternyata wajah Fajar tidak jauh berbeda dengan ayahnya.
Ayahnya Fajar orang yang humoris. Aku dan Ari sempat memperkenalkan diri bahwa kami seniornya Fajar di sekolah, juga mengobrol dengan beliau selama tiga puluh menit. Kemudian Ari mengantarku pulang ke rumah.
"Thanks, Rik." Ucapku singkat.
"Eh, Wa!" Ari berseru saat aku baru saja keluar dari mobil.
"Kenapa?" Aku mengedikkan dagu, berdiri di samping jendela tempat kendali mobil Ari.
"Nih, kasih ke Bapak, Ibuk, sama Azar."
Ari memberikan dua bungkusan makanan yang dilapisi kresek bening—entah berisi apa—melalui jendela mobil.
Asal kalian tahu, Azar adalah nama adik laki-lakiku yang masih SD.
"Eh? Ini apa?" Tanyaku sambil menerima bungkusan itu.
"Rujak buah, satunya es bubur kacang ijo."
"Kapan belinya?" Dahiku terlipat.
"Tadi pas kamu ketiduran di mobil. Aku juga udah beliin Fajar, kok."
Aku mengangguk-angguk. Aku baru ingat tadi di perjalanan pulang aku sempat tidur karena terbawa suasana perjalanan. "Cuma buat Bapak, Ibuk, sama Azar? Buat aku mana?"
"Ada besok-besok. Lebih banyak lagi." Ari menyeringai, kemudian mobilnya melaju. Sebelum itu dia sempat berseru, "Dadah, Wawaaaa!"
Aku termangu untuk beberapa saat di halaman rumah dengan jalanan yang sepi karena ini sudah malam. Sejenak aku mengembuskan napas, berjalan untuk memasuki rumah. Boleh jadi Bapak dan Ibuk belum tidur, jadi aku bisa memberikan pemberian Ari kepadanya.
Dan Azar, sudah pasti dia tidur sekarang.
***
"Ingat, Fajar. Kamu jangan sampai lupa obatmu. Lain kali Ayah nggak akan kasih izin kamu keluar rumah kecuali sekolah. Itu bahaya."
"Tadi aku nggak lupa minum obatnya, kok, Yah. Tenang aja." Fajar mengangkat bahu, membela diri.
Sejak Fajar pulang, dia diomeli oleh ayahnya. Dengan Bunda yang berkali-kali membela Fajar. Bilang Fajar tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi Fajar sudah kembali ke rumah. Keadaannya sehat-sehat saja.
Ayah menghela napas, menepuk pundak Fajar yang duduk di sebelahnya. "Ayah hanya mau kamu sehat, Nak." Sambil menyeka ujung mata.
"Aku selalu sehat, Ayah." Mata Fajar menatap Ayah dan Bunda bergantian. "Aku pengen punya pengalaman indah di masa-masa ini, Yah... Beri aku kebebasan, setidaknya..."
Bunda menyeka ujung mata yang mulai basah, kemudian dia beranjak dari tempat duduk, memeluk Fajar erat-erat.
"Boleh, kan, Yah?" Fajar memohon.
Ayah menunduk, samar-samar mengangguk. Kemudian Fajar tersenyum, tak sadar, air matanya menetes ke kerah baju Bunda.
Berkali-kali Fajar mendengar seruan semangat dari keluarganya, dia sudah jauh lebih dari semangat. Namun, dia merasa hampir putus asa ketika melihat obat-obatan yang selalu ada di saku bajunya, menjadi teman kesehariannya.
Fajar memasuki kamarnya, kamar yang telah dia tempati selama dua tahun terakhir sejak dia "dijemput" oleh Ayah setelah kematian Ibu di Jawa Barat. Kamar Fajar sangat nyaman, hangat, terdapat poster dengan kata-kata motivasi yang boleh jadi membuat semangatnya bangkit.
Lelaki itu menghempaskan punggungnya ke sandaran tempat tidur. Hari ini cukup melelahkan, namun dia bisa menghabiskan waktu dengan kedua temannya, Najwa dan Ari dari kelas dua belas.
Lelaki itu refleks menggaruk kepalanya yang terasa gatal, kemudian dia tercekat, melotot saat menatap telapak tangannya yang penuh dengan rambut rontok.
Fajar menghela napas, baginya itu sudah biasa. Jika pada suatu hari nanti dia tampil tanpa rambut di kepalanya, dia akan senantiasa menerima fakta itu.
"Ibu... Aku pengen ketemu Ibu..."
***