Pulang sekolah, kami yang besok dijadwalkan berangkat prakerin —aku dan Windy tentunya, juga Erika Meli dan Sofia— pergi ketoko swalayan bersama-sama untuk membeli perlengkapan prakerin.
Sebenarnya aku hanya ikut-ikutan saja, karena aku tidak tahu apa yang mau aku beli. Dan lagi, semua kebutuhan prakerinku sudah tersedia dengan lengkap dari jauh-jauh hari. Baik almamater sekolah, sepatu, baju, rok kerja, semua sudah aku persiapkan dengan matang. Hanya mentalku saja yang belum cukup matang untuk menjalankan prakerin ini.
Saat yang lain sedang sibuk memilih-milih sepatu, aku dan Windy menyelinap kesalah satu café. Karena istirahat kedua tadi aku tidak makan, sekarang cacing-cacing di perutku sudah berdemo kelaparan.
Aku dan Windy memesan menu yang sama, matcha green tea latte dan chiken fingers.
Matcha green tea latte adalah minuman favoritku, aku memaksa Windy menyukainya karena aku benar-benar menyukainya. Dan chiken fingers adalah makanan favorite Windy, dia juga memaksaku untuk menyukai makanan itu karena dia sangat menyukainya.
Awalnya aku dan Windy saling menolak, karena walapun kami bersahabat, tapi kami punya selera makan yang berbeda. Aku lebih suka makanan khas Indonesia seperti pisang goreng atau siomay, dan Windy benar-benar menyukai chocolate milkshake.
Saat itu Windy marah padaku karena aku tidak mau memesan chiken fingers, dan aku juga marah pada Windy karena dia tak mau meminum matcha green tea latte. Kami saling diam selama beberapa menit karena perbedaan selera makan.
Memang terdengar seperti anak kecil dan sangat tidak penting juga untuk dibicarakan, tapi memang seperti inilah kami.
Aksi saling diam kami menyita banyak perhatian pengunjung, hingga aku memutuskan untuk mengalah dengan syarat dia juga mau menyukai matcha green tea latte.
Setelah itu kami berdua sepakat menjadikan chiken fingers dan matcha green tea latte sebagai menu favorite kami.
Aku dan Windy makan dengan santai sambil sesekali bergurau membicarakan hal-hal di sekitar kami yang kami anggap menarik. Karena selain memiliki menu favorite yang sama, kami juga memiliki hobi yang sama, bergosip.
"Win, coba lo liat ibu-ibu yang duduk di deket tembok itu" Aku menunjuk sudut sebelah kiri, Windy mengikuti arah telunjukku yang mengarah tepat pada kumpulan ibu-ibu yang sedang asik bergosip di pojokan café.
"Kenapa?" tanya Windy bingung.
"Coba lo tebak, siapa di antara mereka yang anaknya paling banyak?" tanyaku, tanpa mengalihkan arah pandangku dari kumpulan ibu-ibu sosialita itu.
"Mana gue tau, nggak penting juga buat gue" jawab Windy tak mengindahkan, padahal aku berniat mengajaknya menggibahi ibu-ibu itu, tapi Windy sama sekali tidak memberikan respon positifnya.
Aku mengerucutkan bibirku kesal, tidak biasanya Windy bersikap seperti ini. Biasanya, jika aku mengajak Windy menggibahi orang, dia akan sangat bersemangat. Bahkan biasanya, dia dulu yang memulai acara gibah kami.
Saat aku sedang bingung memikirkan apa yang terjadi pada Windy yang tidak mau menggibah bersamaku, tiba-tiba Windy memekik keras.
"Anjay!" teriaknya tiba-tiba, hampir saja dia tersedat makanannya sendiri.
"Kenapa lo? Kesedat?" tanyaku, namun bukannya menjawab, Windy malah memekik lagi dengan intonasi yang jauh lebih keras dari sebelumnya.
"Anjir anjir, Jay!" dia memukul-mukul lenganku keras.
"Win, lo kenapa sih?" tanyaku semakin penasaran.
Dia tidak menjawab, tapi langsung menunjuk ke arah belakangku. Aku mengikuti arah jarinya menunjuk, sedetik setelah aku melihat objek apa yang membuatnya memekik, aku juga ikut memekik dan hampir tersedat makananku sendiri.
"Anjir, itu bapak-bapak kenapa perutnya buncit banget, mana badannya bantet lagi" ucapku refleks.
Aku mengubah arah dudukku, memperhatikan seseorang di luar sana yang aku rasa cukup menarik untuk menjadi bahan gibahan kami sore ini.
Aku memicingkan mata, memperjelas satu objek di depan sana yang sedang cengo memandangi sekitarnya, dia terlihat kebingungan mencari sesuatu.
Jidat lebarnya mampu menarik perhatian lebih dariku, ditambah perutnya yang buncit dan postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi membuatku semakin bersemangat untuk segera menggibahinya. Aku yakin, sore ini akan jadi sangat menyenangkan karenanya.
"Gue yakin, dia pasti guru kimia" tebakku sok tahu.
"Sotoy lo, kalo dari mukanya, dia pasti debtcollector" balas Windy sok tahu juga. Aku menatap Windy sebentar kemudian kembali menatap pria tua itu.
"Tampangnya emang serem si, tapi pasti bukan debtcollector. Dia itu guru kimia atau nggak fisika kalo menurut gue" sergahku cepat, karena menurut analisaku, dia memang terlihat seperti guru mata pelajaran eksak.
"Tau dari mana lo?" tanya Windy tak kunjung mengeti maksudku.
Aku mendekatkan kepalaku kearahnya, berbicara dengan pelan seolah apa yang aku katakan adalah rahasia Negara yang tidak boleh terdengar oleh penguntit manapun.
“Coba lo liat jidatnya, lebar banget, kan? tanyaku, Windy mengangguk.
"Nah! Bisa diliat dari kelebaran jidatnya yang udah melebihi batas suci itu, dia pasti guru mata pelajaran eksak" ucapku menyimpulkan. "Dia pasti kebanyakan mikir, makanya rambut depannya rontok, terus dia jadi jenong gitu" lanjutku berteori.
Windy yang mendengarkan hanya menanggapinya dengan ber-oh ria saja.
"Tapi kalo diliat dari tinggi badannya, dia pasti tukang panggul" elak Windy, kurang sependapat dengan apa yang baru saja aku jabarkan.
"Kok, tukang panggul? Gimana bisa?" tanyaku, kali ini aku yang tak mengerti dengan pernyataan Windy.
"Lo liat tingginya sekarang" titah Windy, aku segera melakukan apa yang dia perintahkan, dua detik setelah aku melakukannya, aku kembali menatap Windy dengan banyak kerutan di keningku.
"Pendek, kan?" tanya Windy setelahnya, aku mengangguk setuju.
"Karena dia sering bawa beban berat, makanya tinggi dia nggak nambah-nambah" terang Windy.
"Hmmm, manuk akal" Setelah berpikir sejenak, aku mengangguk setuju.
"Gimana kalo kita buat taruhan" lanjutku, membuat Windy kembali memandangiku dengan tatapan cengonya.
"Taruhan apaan?" tanyanya tak mengerti.
"Kita main kertas batu gunting, yang kalah harus godain bapak itu" ideku.
Awalnya Windy menolak, tapi setelah aku bujuk berkali-kali, dia akhirnya setuju. Yah, apa salahnya, toh, kami memang sesering itu membuat masalah, terangnya.
Satu kali shoot, kami seri. Dua kali shoot, masih seri, hingga untuk yang ketiga kalinya, aku menang. Aku mengeluarkan kertas dan Windy kalah dengan batunya.
"Nah, sana lo godain bapak-bapak itu" titahku.
Aku menyeringai, sepertinya sore ini akan jadi lebih menyenangkan.
Sementara Windy, dia terlihat ragu, dia menatapku dan pria paruh baya itu bergantian. "Jay, lo yakin?" tanyanya. Tatapannya seolah menyuruhku untuk menghentikannya.
"Yakin. Lagian lo juga setuju sama kesepakatan awalnya" tegasku.
"Yang bener aja, Jay, masa cewek cantik kaya gue disuruh godain bapak-bapak kaya gitu" Windy memelas, ekspresinya benar-benar membuatku ingin tertawa.
"Eh, dari awal lo udah setuju ya, Win, jangan ngelak"
"Tapi...."
"Ngga ada tapi-tapian, sana maju!" Aku mendorong Windy maju mendekati pria paruh baya itu.
Windy menghampiri pria itu ogah-ogahan, dia menyeret langkahnya seolah tak ada tenaga. Setelah sampai di depan pria itu, Windy kembali menatapku.
'Buruan!' aku memelototinya, menyuruhnya segera memulai aksinya.
Aku memperhatikan Windy sembari menikmati makananku. Yah, begini tidak terlalu buruk juga. Sejenak aku bisa melupakan tugas prakerin yang membuatku pusing itu.
Setelah beberapa menit, aku berhasil menandaskan makananku, tapi Windy tak juga kembali. Setelah membayar pesanan kami, aku keluar menghampirinya. Di sana, Windy terlihat sedang menggebu-gebu memarahi pria tua itu.
Aku segera menghampirinya, "Win, kenapa?" tanyaku. Bukannya menjawab, Windy malah menepis tanganku.
"Jangan sembarangan ngomong ya Pak, saya wanita terhormat!" teriaknya. Aku hampir tertawa mendengar ucapannya yang menggebu-gebu itu, entah apa yang terjadi padanya.
"Dasar nggak waras" ucapnya kemudian, dia menarikku menjauh dari pria tua itu.
Kami sampai di parkiran dengan emosi Windy yang masih berapi-api. Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap-usap punggungnya pelan dan memberinya minum, setelah beberapa menit, barulah dia mulai tenang.
"Lo kena—"
"Dia nawarin gue buat jadi pacarnya, Jay! Apa nggak gila itu bapak-bapak tua?" sergahnya.
"Udah tua bukannya tobat malah banyak gaya, nyesel banget gue ikut taruhan sama lo"
"Hah? Gimana bisa...""
"Diem, gua nggak mood!"
Aku membungkam mulutku, sepertinya Windy benar-benar marah.
*****
Windy masih tidak mau bicara padaku, sepanjang perjalanan pulang pun, dia tetap diam seribu bahasa.
Aku sama sekali tidak berniat untuk mempermalukannya. Sungguh, aku membuat taruhan itu hanya untuk bersenang-senang. Aku tidak mengira akan berakhir seperti ini.
"Win, lo masih marah?" aku meliriknya dari kaca spion, dia tidak menanggapi.
"Maap deh Win, Gue nggak tau kalo bapak-bapak itu ternyata hidung belang" mohonku, Windy tetap tak mengindahkan.
Satu hal yang aku lupakan tentang Windy, jika dia marah, dia akan mengabaikan siapapun yang ada di sekitarnya, tanpa pengecualian.
Untungnya, aku tahu cara ampuh untuk meredakan amarahnya.
"Win, gue masih laper tau" ucapku, ku lirik dia sekilas. Dia diam, masih enggan untuk bicara denganku.
"Gimana kalo kita mampir ke warung Mang Ocoy dulu, entar gue traktir mie ayam deh" tawarku kemudian.
Daaaaaan......berhasil! dia segera menghentikan laju motornya dan berbalik menatapku dengan mata yang berbinar-binar.
"Serius Jay? Lo nggak bohong, kan?" tanyanya antusias. Aku mengangguk dengan senyuman termanisku, berharap semoga dia segera melupakan kejadian tadi dan mau memaafkanku.
"Iya, tapi lo harus janji, lo mau maafin gue ya?" pintaku.
"Tenang, jangankan lo minta maaf, lo minta gue jadian sama kakak lo juga gue mau kalo ditraktir mie ayam mah" ucapnya semangat.
"Nggak akan pernah!" sergahku cepat. Itu hal pertama yang sudah masuk daftar blacklistku.
"Padahal gue termasuk kategori kakak ipar goals lho, Jay. Selagi masih ada kesempa—"
"Diem atau nggak jadi gue traktir" potongku.
"Maafkan hamba, yang mulia" Windy menjawab dengan senyuman yang sengaja dia suguhkan untuk mengejekku. Aku ikut tertawa.
Aku tahu, seberapa besarpun amarahnya padaku, dia akan selalu memaafkanku. Dan karena hal itulah aku jadi sangat menyayanginya.
Tak hanya teman, Windy adalah segalanya bagiku. Dia tempat untuk aku bercerita, teman untuk aku ajak bermain dan orang yang akan lebih dulu membelaku walaupun aku bersalah.
Dia sahabatku, walaupun tingkahnya absurd dan kalau bicara tidak pernah difilter dulu, aku sangat menyayanginya.