Sepulang dari sekolah, aku menangis sejadi-jadinya di kamar hingga membuat Mamahku bertanya-tanya. Mamah terus menanyaiku tanpa aku jawab apapun.
Lagi dan lagi kata-kata Bobby terngiang di kepalaku. Aku adalah sosok yang dibully namun aku tak sadar aku seorang pembully.
Aku dicemburui oleh Sarah namun aku sendiri cemburu dengan Mika. Aku merasa dilukai oleh Bobby, namun aku lupa aku juga pernah melukai Bobby.
Teringat olehku aku langsung lari menjauh setelah ciuman dengan Bobby. Sekembalinya ke kelas, banyak anak-anak juga menanyaiku perihal apa yang terjadi. Aku hanya menyebut tidak terjadi apa-apa antara kami meski jelas mereka tak percaya.
Aku hanya mendapat info bahwa Mika sudah pulang ke rumah tak lama dari kejadian tadi.
Di dalam kamar, aku terus menangis sampai kelelahan. Seragam batikku berantakan dan sedikit basah karena tangisan. Tak lama kemudian aku ketiduran dan baru terbangun pada sore hari.
Sebangunnya dari tidur, Mamah ternyata sedang berada di dalam kamarku. Ia tengah melipat bajuku di sampingku. Tak biasanya ia melakukan aktivitas di kamarku.
“Erin? Enak tidurnya?,” tanyanya lembut sambil mengusap rambutku.
Awalnya aku tak mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Mamah. Mamahku ternyata sudah membuatkan aku bolu gula jawa agar aku lebih tenang.
“Kalau kamu ga mau cerita, tapi kamu mau makan ya, Mamah bikin bolu kesukaanmu,” kata dia.
Rasanya sulit untuk aku tidak beranjak dari Kasur untuk setidaknya mencicipi kue tersebut. Kemudian, dengan sendirinya aku menceritakan segala yang telah terjadi, mulai dari anak-anak yang suka merundungku, Sarah, Bobby, hingga Mika.
Jika biasanya ia selalu cerewet, Mamahku kini terlihat tenang saat mendengarkanku dan tidak menghakimiku begitu saja.
Justru ia merasa kasihan padaku hingga memelukku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak mendapatkan perhatian sebesar ini dari keluargaku.
Menurut Mamah, banyak faktor hingga seseorang membully. Salah satunya adalah seseorang tidak ingin terlihat lemah hingga ia membuat orang lainnya terlihat lebih lemah. Sebelum disakiti, ia akan menyakiti orang lain lebih dahulu berlagak dirinya lebih powerful.
Bullyan bisa merusak mental seseorang bahkan tak jarang ditemukan korbannya sampai bunuh diri. Mamah mengatakan, aku harus segera meminta maaf pada Mika dan berjanji tidak mengulanginya.
Selain itu, ia memintaku agar aku juga benar-benar memaafkan orang-orang yang sudah membullyku meski itu tidak mudah.
"Memaafkan itu bukan berarti kalah, bahkan menjadi kemenangan sesungguhnya karena tidak semua orang bisa melakukan itu," kata Mamah.
Setelah mendengar kata-kata Mamah dan melahap bolu gula jawa tentunya, aku merasa lebih baik. Aku bertekad segera meminta maaf dengan Mika di sekolah.
Aku sempat ingin membuatkan sulaman tanda maaf kepada Mika sama seperti aku memberikannya pada Bobby. Namun sayang beberapa toko tempat aku membeli bahan sulam sudah tutup.
Keesokan harinya ternyata Mika tidak masuk sekolah karena sakit. Hal ini tentu membuatku khawatir. Apa benar dia sampai terpukul hingga jatuh sakit.
Aku pun memberanikan diri bertanya kepada Bobby, apakah Mika sempat mengechatnya mengapa dia tidak masuk hari ini. Dengan agak canggung kudatangi meja Bobby di belakang.
“Bob, kamu tahu Mika kenapa dia tidak masuk hari ini? Apakah dia sempat mengechatmu kemarin,” tanyaku.
“Tidak tahu, tapi semalam aku mengechatnya hingga hari ini belum dibalas,” kata Bobby.
“Mending nanti kamu samperin rumahnya. Semoga dia baik-baik saja,” ujarnya.
“Oh oke makasih ya Bobby,” kataku canggung mengingat kejadian kemarin.
Selain kepada Bobby, aku juga bertanya soal Mika pada Meta. Namun, yang aku peroleh adalah jawaban yang sama. Pesan whatsapp Meta belum dibalas hingga sekarang.
Ya sedangkan aku tak berani mengechatnya sejak kemarin.
Aku yang masih khawatir dengan keadaan Mika lantas mengajak hingga mengajak Meta ke rumah sahabatku di sekolah itu. Butuh 15 menit sampai ke rumah Mika dengan menaiki angkutan umum.
Sesampainya di rumah Mika, kami disambut oleh ibunya. Ibunya sangat ramah pada kami berdua.
"Tante, kami mau menjenguk Mika, Mika bagaimana keadaannya," ujarku pada Ibu Mika.
"Mika agak tidak baik sepertinya, dia di dalam kamar."
“Ayo masuk ke kamarnya aja ya,” tambahnya.
Aku dan Meta lantas masuk ke dalam kamar Mika di lantai dua. Di sana kulihat Mika sedang tidur terlelap hingga kami tidak berani membangunkannya.
“Wah dia masih tidur, dia agak kurang enak badan. Mungkin kelelahan abis kemarin lomba,” jelas Ibu Mika.
Akibatnya, Ibu Mika mengajak kami untuk mengobrol di ruang makan sambil menunggu Mika bangun.
Rumah Mika cukup besar dan bisa dibilang mewah. Properti di dalam rumahnya terlihat bukanlah barang-barang murah. Rumah ini juga dipenuhi foto-foto yang digantung di dinding.
Di beberapa foto, kulihat ada satu anak perempuan yang sangat gemuk. Setelah kuamati betul-betul sepertinya itu adalah foto-foto masa kecil Mika.
Awalnya aku tak mengira itu Mika sampai aku melihat dengan jelas ada tahi lalat di atas alis seperti yang Mika miliki.
"Duduk dulu Erin, Meta, Tante tadi beli brownis keju ini," kata Ibu Mika sambil menyodorkan sekotak brownis kepada kami.
Selaman menunggu Mika bangun, kami mengobrol banyak tentang keseharian kami di sekolah, Ibu Mika juga ganti bercerita soal masa kecil Mika. Ibu Mika ini merupakan sosok yang humble. Bisa akrab dengan kami yang umurnya jauh di bawahnya.
Dari obrolan itulah, ku temukan jawaban lebih jelas mengenai gangguan makan yang dialami Mika. Sepertiku, dia juga sempat mendapat perundungan di sekolahnya dahulu.
Anak-anak di SMP Mika dahulu suka merundung berat badan Mika.
"Mika sewaktu kecil sangat gemuk, pipinya tembem, lucu, makannya banyak. Saat di bangku SD semuanya baik-baik saja. Namun sewaktu SMP, anak-anak di sekolahnya merundungnya."
"Mika dikatai gemuk, gemuk, seperti gajah dan semacamnya," jelas Ibu Mika.
Akibat dari perundungan itu, Mika sampai sempat putus asa menjalani hari-harinya di sekolah. Ia pun nekat rela mengurangi banyak makan hingga lama-lama terobsesi.
"Akibatnya, Mika sangat sedih dan memutuskan untuk mengurangi jumlah makannya. Tubuhnya memang berangsur-angsur menjadi kurus dalam setahun."
"Namun lama-lama dia semakin terobsesi untuk menguruskan tubuhnya lagi dan lagi hingga sampai di titik di mana ia tidak mau makan sama-sekali,” lanjut Ibu Mika.
Mulanya orang tua Mika juga tidak terlalu merasa khawatir saat Mika memutuskan untuk diet. Namun penurunan berat badan Mika yang makin cepat dan lemah membuat mereka memutuskan membawa Mika ke dokter.
"Ia benar-benar takut kalau dirinya akan kembali menjadi gemuk. Kami yang khawatir sempat membawanya ke dokter. Dokter menyebut, Mika mengalami anoreksia, ketakutan berlebih akan kenaikan berat badan hingga takut makan,” ujar Ibu Mika.
Dengan bantuan dan dukungan orang tuanya, Mika akhirnya kembali pulih secara perlahan. Diperlukan kesabaran ekstra demi pulihnya Mika
"Sehingga orang tua harus ekstra membantu dan mensuport Mika," jelas Ibu Mika.
"Lalu kapan akhirnya Mika sembuh tante," tanya Meta.
"Selama enam bulan dengan usaha yang tekun, rutin berobat medis, dan terus membantunya meningkatkan kepercayaan dirinya, akhirnya Mika kembali sehat." ungkapnya.
Meski kembali sehat, namun Mika mengajukan syarat pada keluarganya. Dia hanya akan makan dua kali dalam sehari saja, pagi dan sore. Itupun dia memilih untuk memakan masakan ibunya yang rendah lemak dan rendah gula.
"Iya, jadi misal kalau lagi masak apa gitu, tante bikinin makanan lain khusus Mika, biasanya cuma kentang sama sayur apa gitu."
"Kalau daging dia sudah tidak mau, paling cuma telur rebus sama sosis dikit," terang Ibu Mika.
Mungkin itulah jawaban mengapa Mika sama sekali tidak mau makan siang, apalagi makan-makanan di sekolah. Meski begitu, pikiran mengenai Mika sampai muntah memakan nasi tumpeng dua hari lalu mengusik pikiranku.
Ku ceritakanlah bahwa Mika sampai muntah saat diharuskan melahap nasi tumpeng buatan teman-temannya. Bukan tanpa alasan kuceritakan sekalian kejadian itu pada orang tuanya.
Aku hanya takut gangguan makan yang dialami Mika akan kembali parah seperti dulu. Sehingga harus segera ada pencegahan sebelum Mika benar-benar mengalami anoreksia lagi.
"Sampai segitunyakah? Duh anak itu, coba nanti aku ngobrol lagi sama ayahnya Mika, kami takut kalau Mika seperti dulu lagi," ujar Ibu Mika.
"Aku malah terima kasih atas cerita kalian, kalau tidak ada laporan seperti ini, aku tidak akan tahu bahwa Mika bisa kambuh lagi," lanjutnya terlihat khawatir.
Tak terasa sudah 45 menit kami mengobrol. Sepertinya, Mika sudah bangun dari tidurnya. Terdengar dari pintu terbuka dari lantai atas. Benar saja itu Mika.
Dengan setelah piyama bergambar beruang, Mika terlihat lemas berjalan turun ke anak tangga. Begitu melihatku di ruang tamu, wajahnya kembali berubah lebih muram. Ia begitu saja meninggalkan kami dan kembali ke kamarnya.
Ibu Mika sempat keheranan melihat sikap Mika, segeralah ia pergi menyusul anak keduanya tersebut. Lalu, ku susulah Ibu Mika menuju kamar tidur.
“Gapapa Nak, ini Mika emang agak sakit jadinya begini, dimaklumi ya” kata Ibu Mika sembari meninggalkan aku dan Meta di kamar.
Kamar Mika cukup besar dan nyaman. Terdapat pernak-pernik serba warna ungu lilac di kamarnya. Mulai dari cat temboknya, sejumlah poster BTS dengan background warna lilac, hingga sprei tidurnya yang bermotif lavender warna lilac.
Aku sudah mengetahui lama dia menyukai warna itu. Dia sering kali menyebutkannya padaku.
“Aku kalau beli barang tidak ada warna lilac mending aku balik pulang aja, haha,” ujar Mika pada suatu hari saat kami berjalan-jalan bersama di mall.
“Haha, cita-cita jadi janda kamu ya,” candaku disusul tawa kami berdua.
Begitulah kenanganku bersama Mika beberapa bulan lalu yang kini aku tidak yakin akan bisa seperti semula atau tidak.
Seperti dugaanku, Mika hanya mendiamkan kami. Ia hanya memilih rebahan di atas kasur sambil berpura-pura memainkan ponselnya. Meski demikian, aku tetap bertekad untuk meminta maaf padanya atas apa yang terjadi.
“Mik, gimana kabarmu? Kamu sehat aja kan,” tanyaku mendekatinya.
Hening tak ada jawaban. Lalu aku menoleh pada Meta.
“Kamu gapapa kan Mika? Aku harap kamu sehat ya,” kata Meta.
“Iya,” ujar Mika masih mau menjawab Meta.
Tak mau berbosa basi lagi dan ingin agar masalahku segera selesai, aku langsung to the point mengungkapkan keinginanku.
"Mika, aku tidak bermaksud, aku kemarin hanya penasaran kenapa kamu tidak pernah mau makan," ucapku kaku.
Mendengar permintaan maafku pada Mika, Meta sedikit keheranan dan memandangku dengan mata bertanya-tanya. Maklum, dia belum tahu atau belum sadar bahwa memaksa Mika untuk makan hanyalah akal-akalanku saja.
Mika memang terlihat sangat marah padaku. Jangankan menjawab menoleh ke wajahku saja tidak. Itulah yang justru membuatku makin merasa bersalah dan tidak nyaman.
Meta lalu menyikutku lagi menuntut penjelasan apa yang terjadi. Sebagai balasan aku hanya melambaikan tangan lembut kepadanya.
“Nanti ya Met,” kataku.
“Mika aku tahu kamu marah, ya sudah kalau itu membuatmu lega aku akan menerimanya. Tapi jangan sampai pertemanan kita berakhir ya,” kataku.
Mika masih diam saja dan masih sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia tertawa melihat video yang dilihatnya, ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak peduli dengan keberadaan kami.
“Meta mending kamu pulang dulu aja, aku lagi males,” kata Meta akhirnya setelah setengah jam lebih kami saling diam di kamar.
Bingung harus berbuat apa lagi, Aku dan Meta akhirnya memilih untuk pamit pulang. Saat baru saja keluar dari pagar rumah Mika, Meta langsung menuntutkku untuk menceritakan segala yang terjadi.
Kami lantas memilih untuk menepi mengobrol di taman perumahan Mika. Kalau suasana hatiku tidak bimbang seperti ini, aku pasti terus memujinya.
Taman ini tak terlalu luas, namun sungguh rindang ditanami banyak pohon-pohon yang menumbuhkan bunga-bunga yang indah. Ada pohon tabebuya seperti di rumah Bobby, ada pohon angsana kuning, hingga pohon ketapang kencana.
Terdapat beberapa kursi duduk yang nyaman di beberapa titik yang masih sangat terawat. Selain itu taman ini cukup bersih, tak banyak atau hampir tidak ada sampah berserakan, kecuali ceceran daun yang baru jatuh.
“Kamu kenapa sih sebenarnya dengan Mika? Kok tiba-tiba dia marah sama kamu,” kata Meta
Lalu kuceritakan segala permasalahan yang terjadi dari sejak hari di mana Bobby mulai menyukaiku kemudian marah padaku lalu Bobby mendekati Mika hingga membuatku berbuat jahat pada sahabatku sendiri.
Tentu aku tidak menceritakan bagian di mana aku akhirnya berciuman dengan Bobby.
Mendengar itu, Meta tak mencoba menghakimiku begitu saja. Ia justru terdiam dan juga merasa kasihan padaku. Mencoba memahami posisiku.
“Oh jadi seperti itu, sebenarnya aku agak bingung harus menjawab seperti apa. Tapi masalahmu dengan Bobby saja sudah rumit.”
“Seperti Mamahmu, aku hanya meminta kamu meminta maaf sungguh-sungguh kepada Mika dan berjanji tidak akan mengulanginya meski agak sulit mengingat penyakit anoreksia Mika juga bukan hal remeh,” ujar Meta bijak.
Aku tak mencoba membela diri dan mengangguk mengiyakan Meta.
“Ya sudah Rin, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Sebisaku aku akan membantumu agar Mika mau memaafkanmu, kamu masih punya aku,” katanya tersenyum sambil mengenggam tanganku.
Setelah itu, aku dan Meta kembali pulang. Agar aku tak terus kepikiran, Meta mencoba mengajakku mengobrol hal-hal selain masalahku dengan Mika.
Keesokan harinya, Mika masih belum masuk sekolah. Ku beranikan diri untuk mengiriminya pesan lewat Whatsapp.
“Mika kamu hari ini tidak masuk lagi ya? Semoga kamu baik-baik saja,” tulisku pada saat jam istirahat.
Hingga malam hari aku mengecek pesan itu, statusnya masih delivered. Kemungkinan besar sengaja tidak dibuka karena Mika terakhir online setengah jam yang lalu.
Pada hari selanjutnya, setelah dua hari tidak masuk, barulah Mika kembali bersekolah. Aku sedikit lega melihatnya terlihat lebih segar daripada saat aku menjenguknya.
Di sekolah, Mika masih mendiamkanku. Bahkan, dia memilih untuk tidak duduk bersebelahan denganku lagi. Ia sedikit memaksa Bella untuk duduk bertukar tempat dengannya.
“Bell tukeran denganku dong kursinya kamu di depan bareng Erin,” ujar Mika pada Bella.
“Duh tiba-tiba banget, aku enggak suka di depan nih males bisa gampang diliat sama guru-guru. Kurang bebas,” balas Bella.
“Nih aku ada CD Taylor Swift asli yang terbaru, kamu bisa ambil asal aku bisa tukeran duduk denganmu,” ujar Mika sambil mengeluarkan kaset itu dari tasnya.
Melihat itu, Bella yang merupakan swifties (sebutan fans Taylor Swift) berat langsung mengiyakan kemauan Mika. Beberapa kali sebelumnya ia menyebut ingin sekali membeli CD Taylor Swift namun uang sakunya bulan ini tidak mencukupi.
Berbeda dengan Bella, aku makin sedih mengingat bahwa Mika sampai sebegitunya tak mau lagi duduk bersebelahan denganku.
Beberapa kali aku sudah mencoba untuk sekedar berbosa-basi pada Mika, namun terus diacuhkan. Saat aku mencoba menghampirinya, Mika langsung menghindar.
Saat jam istirahat, Mika juga memilih untuk menghabiskan waktunya dengan teman-temannya di luar kelas. Beberapa kali ia melengos tiap tak sengaja berpapasan denganku.
Hal ini tentunya membuatku tidak tenang dan sedih. Teringat ide aku belum sempat membuat embroidery lucu untuk Mika seperti yang aku lakukan dulu pada Boby.
Sepulang sekolah, kuhabiskan waktu untuk menyulam gambar bunga lily favoritnya di atas kain ungu lilac, warna kesukaannya. Akibatnya aku bahkan hampir lupa mengerjakan sejumlah PR Bahasa Indonesia dari Bu Intan.
Seperti dugaanku sebelumnya, Mika memang tidak mudah untuk dibujuk. Ia menolak pemberianku itu dan malah ingin memberikannya pada Meta.
“Mika, ini aku buat sesuatu untuk kamu. Aku harap kamu suka,” ujarku saat jam istirahat tiba.
“Enggak usah, kasih aja ke Meta,” katanya sinis sambil langsung pergi dari hadapanku.
Sedangkan, Meta hanya melihatku dengan rasa kasihan. Ia kembali menepuk bahaku agar jangan menyerah.
"Sabar ya Rin, ini mending kamu simpan dulu, besok-besok kalau kalian sudah baikan, ini kamu kasih ke Mika," ujar Meta menghiburku.
"Eh enggakpapa buat kamu aja nanti gampang Meta bisa aku buatkan lagi yang lain," kataku sedih.
"Erin... lagipula aku tidak suka bunga lily, aku sukanya mawar," ujar Meta mengajakku bercanda.
Akibat tingkah laku Mika yang makin mengabaikanku, hampir semua anak-anak di kelasku juga bertanya-tanya mengapa aku dan Mika kini berjauhan sejak hari Kartini. Sedangkan selama ini kami selalu bersama di sekolah.
Mereka menduga kuat, ini ada kaitannya dengan kejadian saat kami atau lebih tepatnya aku memaksa Mika untuk makan. Meski begitu, teman-teman di kelas sepertinya tidak terlalu peduli dan tidak ingin terlibat dalam perseteruan yang terjadi.
Hanya beberapa anak perempuan terutama geng Sarah yang beberapa kali sempat kudengar tengah membicarakan kami berdua. Satu kali aku pernah mencoba melabraknya.
“Alah paling rebutan Bobby mereka berdua,” kata Sarah saat berada di kantin Mbok Sar.
“Sepertinya si Erin marah tuh Bobby milih Mika,” balas Venny cekikikan.
“Hush, enggak usah bahas mereka deh,” kata Leila seperti biasa menengahi.
Mereka sepertinya tak sadar aku baru saja memasuki kantin Mbok Sar bersama Meta. Mereka terdiam saat aku tiba-tiba langsung mendekati mereka.
“Heh kalian kalau mau bicara berani di hadapanku langsung, kerjaannya gossip mulu. Cemen amat,” kataku menantang.
Mereka terlihat kaget dan terdiam beberapa saat. Sarah kemudian mencoba berdiri sepertinya hendak melawanku. Namun, ternyata dia hanya diam tak berkata apapun.
Mungkin dia kelewat takut melihatku kini terlihat seperti banteng yang melihat bendera merah. Tak kusangka “anggotannya” yang lebih banyak tak membuatnya berani untuk melawanku, setidaknya saat ini.
Aku awalnya hendak memberi pelajaran mereka dengan menggebrak meja. Mungkin aku lama-lama muak dengan Sarah yang memusuhiku tanpa sebab selama ini.
Aku sempat berpikir untuk melawannya agar dia tak bersikap semena-mena, tapi tarikan tangan Meta membuatku kembali tersadar. Sudah beberapa kali emosiku menghancurkan diriku sendiri.
Seperti saat aku menimpuk muka Krisna, marah dan berkata menyakitkan pada Bobby, hingga kecemburuanku pada Mika yang berakhir pecahnya persahabatanku dengannya.
“Tenang Erin, masalahmu sekarang bukan dia, kami masih belum berdamai dengan Mika, jangan tambah masalah Rin,” bisik Meta yang langsung kuturuti dengan cara menjauh dari mereka.
Sekitar dua minggu berlalu, Mika masih mendiamkanku. Dalam rentang waktu itu pula aku terus berusaha untuk minta maaf pada Mika dan membuatnya kembali berbicara padaku.
Omong-omong soal Bobby aku sendiri sudah tidak terlalu memikirkannya. Ya kecuali momen ketika dia menciumku di gang belakang sekolah.
Beberapa kali terbesit muka Bobby saat ia menundukkan kepalanya mendekati bibirku. Terkadang mukaku terasa panas mengingat kejadian itu. Namun tak jarang pula aku segera melenyapkan bayangan tersebut dalam pikiranku.
Kini, aku berusaha fokus untuk berdamai dengan Mika serta belajar untuk ujian kenaikan kelas. Tak hanya itu, aku juga tengah berusaha meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisku.
Sekolahku baru saja ini mendapatkan tawaran untuk program pertukaran pelajar dengan salah satu SMA di Melbourne, Australia. Dua anak terpilih dari kelas bahasa di sekolah kami berhak mendapat short course selama tiga bulan di negara Kangguru tersebut.
Sekolah itu ingin anak-anak dari kelas bahasa karena mereka ingin kami ikut membantu Bahasa Indonesia bagi murid-murid di sana. Sedangkan diketahui, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang banyak diajarkan di sekolah-sekolah di Australia.
Bu Endang memberitahukan, anak yang berangkat ke sana harus murid yang cukup baik kemampuan berbahasa Inggrisnya. Mendengar itu, tentu saja aku sangat tertarik.
Belajar di luar negeri bisa menjadi pengalaman yang sangat menarik dan berharga bagiku. Selain itu, aku bisa meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku serta mengetahui budaya orang Australia.
Akibatnya, kini aku mulai menonton film-film holywood tanpa subtitle untuk meningkatkan kemampuan speaking dan listening-ku. Aku juga beberapa kali membeli novel berbahasa Inggris untuk menunjang kemampuan reading.
Biasanya, aku memilih menghabiskan waktuku di perpustakaan selama jam istirahat untuk membaca buku-buku berbahasa Inggris. Terlebih sekarang aku tidak memiliki teman dekat untuk kuajak ke kantin.
Ya sebenarnya masih ada Meta, namun akhir-akhir ini Meta memilih untuk membawa bekal dari rumah agar lebih hemat.
Di tengah-tengah fokusku untuk belajar, aku sendiri masih terus terbayang untuk mencari cara meminta maaf pada Mika. Aku masih punya keyakinan yang besar aku akan kembali bersahabat dengannya.
***
Pada suatu siang, Bobby yang sudah tak lama berbicara padaku menghampiriku di tribun penonton lapangan basket di sekolahku. Akhir-akhir ini, sepulang sekolah aku sering menghabiskan waktu di sana untuk membaca novel berbahasa Inggris dan merenung.
Tempat itu cukup sepi dan rindang hingga bisa membuatku tenang. Biasanya lapangan basket baru akan menjadi tempat latihan “anak basket” pada sore hari.
Saat aku menyadari akhir-akhir ini aku terus menyendiri dan belajar, aku berpikir bahwa aku rasanya benar-benar seorang kutu buku. Tapi kurasa asal tidak masalah jika menjadi diri sendiri.
"Erin, aku boleh duduk ya," ujar Bobby mengagetkanku.
Aku agak kaget dia menemukan aku lapangan basket, sepertinya tidak ada orang di kelasku yang mengetahui aku sering ke sini. Apalagi letaknya berada di paling ujung utara sekolah. Sangat jarang murid ke sini siang hari.
Aku juga agak terkejut dia kembali mengajakku bicara setelah sekian lama. Setelah kejadian ciuman itu, Bobby juga memang terlihat lebih pendiam dan tidak pecicilan di kelas.
“Erin kamu sering ke sini?,” tanya Bobby mengagetkanku.
“Wah iya, kok kamu tahu aku di sini,” kataku masih terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
“Iya tadi aku iseng aja jalan-jalan eh liat kamu jadi aku ke sini,” ujarnya sambil menggosok-gosok lehernya.
Sudah menjadi kebiasaan Bobby menggosok-gosok leher tiap kali ia dilandang kebingungan.
Kemudian, hening sejenak.
"Itu kamu lagi baca apa Erin sepertinya novel Bahasa Inggris ya?," ujar Bobby kemudian sambil mengambil duduk beberapa jarak dariku.
“Oh ini, ini novel Looking for Alaska dari John Green,” kataku.
“Oalah, aku tidak tahu,” katanya.
“Aku tidak suka membaca kamu tahu, aku lebih suka melihat gambar-gambar hewan atau bermusik. Ya kurasa sudah tahu hehe,” kata dia sambil tertawa canggung.
“Oh iya, by the way bagaimana keadaanmu Erin?,” katanya seperti bingung mencari topik.
"Mmm kurasa belum baik, kesalahanku sendiri menyia-nyiakan sahabat," kataku to the point.
"Aku minta maaf padamu atas ucapan dan perlakuan kasarku padamu saat itu," kata Bobby menatapku tepat di mata.
Ditatap seperti itu, aku langsung mengalihkan wajahku. Aku tak mau kejadian ciuman itu terulang kembali. Ya berlebihan sebenarnya aku berpikir demikian.
“Aku juga minta maaf, aku juga melakukan kesalahan padamu,” kataku pada Bobby canggung.
Pikiranku memang tak bisa untuk tidak kembali melayang pada hari itu. Hari di mana aku berkelahi hebat dengan Bobby, hari di mana aku mempermalukan Mika hingga kini aku kehilangannya.
Seakan sadar dengan kesedihanku, Bobby lantas menepuk pundakku. Aku rasa Bobby tengah mencoba untuk menguatkanku.
"Aku tahu, Mika masih mendiamkanmu dan belum memaafkanmu," tutur Bobby lalu melepaskan tangannya dari pundakku.
"Aku pikir, perlu ada cara lain untuk mengungkapkan penyesalanmu dari pada sekedar ucapan," jelasnya.
"Tapi aku sudah terus minta maaf Bob, tapi dia tidak peduli, aku bingung mau gimana lagi," jelasku.
"Coba kamu bersabar, Mika adalah orang spesial untukmu, maka perlu usaha yang spesial juga untuknya," kata Bobby lembut.
Aku merasa perkataan Bobby itu ada benarnya. Selama ini, aku belum benar-benar melakukan tindakan ekstra untuk meminta maaf pada Mika. Padahal, aku sempat membangkitkan trauma dalam hidup Mika.
"Aku yakin kamu bisa menemukan cara, kalau perlu aku akan membantumu," tawar Bobby.
Aku mengangguk beberapa kali tanda mengiyakan pendapatnya.
Suasana kembali sunyi dan canggung. Aku dan Bobby sama-sama diam, sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Aku sendiri masih bingung apa yang harus aku lakukan agar Mika memaafkanku.
Setelah hampir 15 menit saling diam, aku memutuskan untuk pamit pulang. Padahal aku baru sekitar 30 menit di sini, sedangkan biasanya aku menghabiskan waktu di lapangan basket sekitar satu setengah jam lebih.
Bobby membuatku canggung sekaligus tidak fokus untuk melanjutkanku membaca novel.
"Bob, kamu enggak pulang? Aku mau pulang duluan ya," kataku segera memberesi perabotanku.
Namun Bobby tak menjawabku, matanya masih lurus ke depan, ke arah lapangan basket.
Saat aku sudah berjalan satu langkah, ku dengar Bobby mengatakan sesuatu yang sangat pelan, hampir seperti menggumam.
"Aku masih ingat ciuman kita dulu, Rin," gumamnya tanpa menoleh padaku.
Sedetik kemudian, aku memilih langsung kabur. Wajahku terasa panas menahan malu.