"Yeah, is it too late now to say sorry?
'Cause I'm missing more than just your body
“Oh, is it too late now to say sorry?
“Yeah, I know that I let you down
“Is it too late to say I'm sorry now?. Lagu Sorry dari Justin Bieber berputar-putar di kepalaku.
Kudengar tetangga samping rumahku memutar lagu itu cukup keras hingga terdengar dari kamarku dan membuatku sulit tidur.
"Hih brisik malam-malam," pikirku.
Sudah menjadi kebiasaan tetanggaku mendengar lagu-lagu sampai malam. Biasanya aku merasa maklum dengan kebiasaan tetanggaku ini.
Sebaliknya, aku malah ikut terhibur mengingat selera musikku dengannya tak jauh berbeda. Namun malam ini kurasa aku sedang agak stres.
Aku benar-benar tidak bisa tidur hingga pukul 22.30 WIB. Padahal biasanya, jam sembilan aku sudah terlelap.
Rasanya semua hal menyebabkan aku tidak bisa tidur adalah ucapan Bobby tadi siang yang terus berputar-putar di kepalaku.
Ada perasaan di mana seharusnya aku tak berkata jahat atau bersikap kasar padanya. Ya bukan hanya perasaan saja, tapi memang tidak boleh aku berlaku demikian.
"Dia menyukaiku," batinku.
Baru kali ini di dalam hidupku ada cowok yang menyatakan perasaan sukanya padaku. Namun caranya sunggu tidak romantis memang.
Ku ambil kaca lalu kupandangi wajahku, masih seperti biasanya. Apa yang membuatnya menyukaiku.
Sedangkan, banyak anak-anak laki mengabaikanku, merundungku, mendekat saja ogah takut 'dikecengin'. Hal apa yang membuat Bobby suka padaku dan terang-terangan mau bersama aku.
"Kok kamu bisa pintar sih, keren sekali," ucapan Bobby kembali masuk ke dalam pikiranku.
"Apakah itu yang membuatnya suka padaku," pikirku.
Membayangkan itu, wajahku kini malah terasa hangat dan rasanya ingin senyum-senyum sendiri. Setelah kuingat-ingat lagi perlakuannya padaku, ia membuatku merasa bahwa aku juga seorang perempuan cantik.
“Bentar, ada apa denganku? Tiba-tiba perasaanku menjadi seperti ini,” ujarku berbicara sendiri.
Baru kemarin aku marah dan tidak ingin bertemu dengannya, kini malah sebaliknya. Ya sangat aneh, kenapa dia justru lebih menarik saat marah dan bersikap tegas.
Ingatan-ingatan mengenai hal manis dan hal menyedihkan tentang Bobby berputar-putar di kepalaku datang silih berganti hingga membuatku sulit tidur.
Hingga pukul 11.20 malam, aku mengambil kesimpulan bahwa aku harus meminta maaf padanya. Ku rasa perlu ekstra usaha, lebih dari hanya sekedar ucapan maaf mengingat kata-kataku yang menyakitinya.
Aku bingung apa yang harus aku lakukan agar dia tidak marah lagi padaku. Ku lihat dua ekor cupang pemberian Bobby di sudut kamar.
"Bikinin dia makanan? Duh tapi apa? Aku ga tahu dia suka apa dan apalagi aku enggak bisa masak," ujarku menghampiri dua ekor cupang,
"Membelikan dia topi, jam? Duh duit dari mana, nggak spesial juga beli," kataku pada cupang seakan-akan mereka mengerti apa yang aku katakan.
Ketika aku sudah mulai buntu harus berbuat apa, ku lihat hasil tugas prakarya menyulam bordir saat SMP tergantung di dinding dekat meja belajar.
Kain berwarna biru itu aku sulami bunga matahari di atasnya. Aku mendapat nilai bagus untuk prakarya tersebut.
Aku sebenarnya tidak benar-benar hebat dalam pelajaran seni, namun sulamanku masih bisa dibilang lumayan. Terlintas di pikiranku untuk membuat sapu tangan dengan sulaman nama Bobby di atasnya.
"Akan aku tulis, Bobby minta maaf ya," pikirku.
Keesokan harinya, aku habiskan waktuku dari pagi hingga sore menyulam. Kebetulan hari itu adalah hari Minggu.
Aku sengaja bangun pagi untuk mencari bahan-bahannya di toko kain. Pasalnya, toko kain itu jauh dari rumahku, apalagi aku ke sana menggunakan sepeda.
Ibukku sampai keheranan aku cukup rajin di hari minggu. Tak hanya itu, dia juga keheranan mengapa aku mengurung diri di kamar di hari libur.
“Kamu tuh kalo libur bantuin Mama dong,” seru Mama.
"Lagi sibuk ngerjain tugas Mah," kataku saat Mamah hendak masuk kamarku.
Tentunya aku tak ingin Mamah tahu masalahku ini aku juga pasti malu jika ia melihatku membuat sesuatu yang manis untuk Bobby.
Pukul 3 sore, sulaman itu jadi. Sebenarnya menyulam tidaklah lama, berhubung aku ingin hasil yang sempurna, aku sampai mengulanginya beberapa kali.
Setelah jadi, aku langsung mandi dan mengunjungi rumah Bobby. Awalnya aku ingin mengechat Bobby untuk memastikan apakah dia berada di rumah.
Mengingat dia marah besar padaku, aku takut justru dia akan menghindariku. Aku juga baru teringat masih memblokir nomor ponselnya.
Sebelum pergi, kuputuskan untuk membuka blokir nomor Bobby terlebih dahulu. Sementara itu, di perjalanan aku berdoa dan berharap semoga Ia bisa memaafkanku.
"Halo permisi," kataku sesampainya di depan pagar rumah Bobby.
Tiga kali mengetuk, seseorang muncul dari balik pintu rumah, yang kuduga adalah Ibu Bobby. Sosok itu merupakan wanita umur 40-an yang cukup cantik.
Badannya tinggi semampai dan kulitnya coklat manis dengan rambut lurus hitam legam. Dia masih kelihatan muda seperti ibu yang baru saja melahirkan bayi.
"Pasti itu ibunya," pikirku.
"Halo Tante, ini aku Erin teman Bobby, apakah Bobby ada di rumah?," ujarku.
"Halo juga nak, Bobbynya lagi keluar, tadi bilangnya sama Mamah sih main basket," kata Ibu Bobby ramah.
“Oh begitu, maaf tante, apa tante tahu jam berapa ya Bobby pulang?," tanyaku.
"Wah nggak tahu ya nak, biasanya sih jam 5 baru pulang," kata Ibu Bobby.
"Kalau ditunggu saja bagaimana?," lanjutnya.
Ku lihat jam di tanganku baru menunjukkan pukul 4.30 sore. Kuputuskan untuk menunggunya.
"Sepertinya tidak lama, baiklah tante aku tunggu saja," jawabku.
Ibunya sebenarnya menyuruhku untuk menunggu di ruang tamu. Namun, aku bersikeras memilih menunggunya di teras.
"Di sini saja tante, sambil nyore di sini enak," kataku bersikeras.
Dia sempat menyuguhkan aku es sirup merah dengan keripik. Mama Bobby sungguh sosok yang terlihat ramah dan akrab kepada orang baru.
"Maaf sekali ya aku tinggal ya Erin, soalnya tante lagi sibuk buat kue putri salju buat arisan besok," ujar Ibu Bobby.
"Iya tante, tante masak aja, aku malah minta maaf merepotkan," kataku.
Ku pandangi rumah Bobby, rumahnya benar-benar nyaman untuk ditinggali. Terdapat taman berukuran sekitar 4x2 meter di depan teras.
Taman itu ditumbuhi pohon tabebuya kuning dan sejumlah tanaman-tanaman hias lainnya. Ada lavender, bunga anggrek, janda bolong hingga sirih gading.
Pohon tabebuya ini tidak terlalu rimbun dan cukup sebagai peneduh. Warna kuning bunga-bunganya membuat siapa saja yang berada di sana merasa betah.
"Pasti itu koleksi ibunya," batinku.
Meski aku sebelumnya pernah ke sini, tapi aku baru kali ini benar-benar takjub dengan rumah milik Bobby. Sebelumnya, aku hanya sibuk dengan memikirkan tugas drama Bahasa Inggris.
Sekitar setengah jam lebih berlalu, sosok yang aku tunggu-tunggu muncul juga. Ku lihat Bobby menggeser pagar.
Dari kejauhan terlihat keringat membasahi baju basketnya. Bobi tampak agak terkejut melihatku sudah duduk di terasnya.
Ku kira dia tak akan berbicara denganku. Rupanya, dia mau juga menghampiriku. Namun, raut mukanya masih dingin.
"Erin, ada apa?," ujar Bobby datar.
"Aku mau kasih ini ke kamu," ujarku sambil menyerahkan sapu tangan dari dalam tasku.
Aku sedikit gugup hingga membuat tasku terjatuh. Tak pernah ku merasa seperti ini di depannya.
Dengan tangan yang agak gemetaran aku ambil tasku dan ku serahkan sapu tangan buatanku pada Bobby.
"Eh ini," kataku gugup.
"Aku juga membuatnya ini sendiri loh," ujarku menjelaskan.
Lalu ku lihat dia membuka lipatan sapu tangan itu dan membacanya serius. Mukanya bercucuran keringat hingga menetes ke atas sapu tangan.
"Dia benar-benar manis," pikirku saat melihatnya serius seperti itu.
"By the way sejak kapan aku berpikir dia benar-benar manis," batinku lagi.
Aku mengira, dia bakal masih marah padaku dan tak mau menerima sapu tangan itu. Sebaliknya, dia justru juga meminta maaf padaku.
"Aku juga minta maaf, aku simpan ya ini," ujarnya sambil tersenyum.
Aku sangat senang dia mau memaafkan aku begitu saja. Mengingat kemarahannya kemarin. Namun, entah hanya perasaanku saja, aku merasa kata-katanya tidak mengandung keramahan seperti biasanya.
"Oh iya ini udah sore, mending kamu pulang sekarang, keburu magrib," ujarnya.
"Hah, apa? Eh iya ya bener," ujarku masih gugup.
Lalu aku langsung berpamitan pulang padanya. Sebelum itu, aku sempat meminta tolong Bobby untuk memanggilkan Ibunya di dapur.
Aku ingin berpamitan pada Ibu Bobby. Namun, Bobby menolaknya dan mengatakan bahwa aku sebaiknya segera pulang keburu magrib.
"Nanti aku salamkan padanya," ucapnya.
Kemudian, aku memilih menurutinya dan beranjak pulang.
“Oh ya sudah kalau begitu, titipkan salam terima kasih juga ya Bob pada Mamamu,” kataku.
“Oke,” ujar Bobby sambil mengantarku menuju gerbang.
Aku cukup senang dia mau memaafkanku. Namun, aku rasa ada yang janggal dengan sikapnya.
Aku berpikir, kata-kataku kemarin mungkin terlalu menyakitinya. Tak mau terus berburuk sangka, segera saja ku enyahkan pikiran tersebut.
"Ah mungkin dia capek abis olahraga," kataku mencoba positive thingking.
"Yang penting dia kan sudah memaafkanku kan, besok dia akan dekat denganku lagi," batinku.