Read More >>"> Bittersweet My Betty La Fea (BAB 11 I HURT SOMEONE) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bittersweet My Betty La Fea
MENU
About Us  

            "Tidak perlu jadi yang terbaik, asal kita tetap konsisten untuk menjadi lebih baik," ujarku dalam hati.

            Saat itu aku sedang mencoba menyantaikan pikiranku setelah kejadian kelas bahasa Inggris. Sembari bersepeda menuju rumah, aku mencoba memikirkan hal-hal lain untuk membuat moodku kembali ceria.

            Namun sesampainya di rumah moodku kembali buruk lagi. Aku yang masih lelah dan masih sedikit kesal tiba-tiba saja mendapat chat Whatsapp dari Bobby.

            "Nanti aku traktir beli jus yuk di lapangan dekat rumahmu itu," tulis Bobby.

            Melihat itu, aku semakin kesal dengannya. Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, Bobby dengan percaya dirinya mengajakku keluar.

            Aku yang saat itu benar-benar marah dan sebetulnya agak risih selalu di-chatnya memutuskan untuk memblokir kontak Bobby. Ya meskipun aku tidak benar-benar ingin putus hubungan dengannya, namun setidaknya pikiranku tenang saat ini.

            Aku kemudian memilih tidur siang untuk menjernihkan pikiran. Sekitar pukul 4 sore aku terbangun dari tidurku.

Dengan malas, aku turun dari tempat tidur berniat untuk mandi sore. Saat kubuka pintu kamar, kaget kulihat Bobby sudah berada di meja makan.

            Dengan santainya, Bobby makan kue bolu bersama Mamah dan kedua adik kembarku. Mereka terlihat mengobrolkan sesuatu yang sangat seru hingga tak menyadari kehadiranku.

            “Mah,” ujarku pada Mama.

"Eh Rin baru bangun kamu, dari tadi Bobby udah di sini nungguin kamu bangun," sapa Ibukku.

            Aku cukup kaget dan sangat malu melihat Bobby ada di sana. Mukaku pasti sekarang lebih buruk dari biasanya, apalagi aku baru bangun tidur.

Selain itu badanku juga terasa sangat lengket dan bau karena keringat. Meski demikian, aku mencoba untuk pura-pura biasa saja.

            Aku juga masih tak ingin berbicara dengan Bobby, sekalipun ia mendatangi rumahku. Mereka akhirnya ku tinggal mandi begitu saja.

Seusai mandi aku masih tidak berniat untuk mengobrol dengan Bobby. Sempat Bobby mengajakku beli jus, namun aku tolak mentah-mentah.

“Rin, aku pengen jus yang deket lapangan tenis itu,” ujar Bobby saat aku hendak masuk kamar.

“Gak males,” kataku.

“Rin kok kamu gitu, kamu udah ditunggu loh dari tadi,” kata Mama membela Bobby.

“Salah sendiri nunggu, gak Mah aku males, suruh temenin Eren atau Eran tuh,” kataku.

“Rin, Bobby nunggu kamu dari tadi. Mama tadi sebenarnya niat mau bangunin kamu tadi, tapi ga dibolehin Bobby takut ganggu kamu,” lanjut Mama dengan sabar.

“Emang ganggu kan,” kataku ketus sambil sedikit melirik Bobby.

“Enggak Tante ga usah, nanti saya beli sendiri bisa kok gapapa tante,” kata Bobby mencoba menengahi.

            Hingga pukul sekitar jam 5 lebih, Bobby pamit pulang. Selama di rumahku, Bobby lebih banyak berbincang dengan keluargaku.

            Jika kalau bukan karena Mamah, aku pasti akan memilih mengunci kamar. Setiap Bobby mengajakku bicara selalu aku jawab dengan ketus.

            Bobby hanya menanyakan soal hal-hal remeh mengenai kegiatanku di rumah. Ia juga sempat memintaku untuk ditunjukkan di mana aku menyimpan cupang pemberiannya.

            “Aman kok cupangmu di kamarku,” kataku ketus.

Dalam pertemuan itu, Bobby masih belum membahas soal kejadian tugas Bahasa Inggris. Aku sendiri sempat bertanya-tanya mengapa Bobby juga tidak menyinggung soal aku mem-block kontaknya.

            Dia seperti pura-pura tidak terjadi apa-apa, itulah yang membuatku semakin kesal.

            Keesokan harinya, Bobby tidak banyak macam-macam. Aku sendiri masih berlagak dingin, agar dirinya tak mendekat.

            Namun, bukan Bobby namanya kalau belum bersikap anteng. Pada pukul 11 siang, saat itu Guru bahasa Indonesia kami, yaitu Bu Intan tidak bisa mengisi pelajaran karena sakit.

            Bu Intan lantas memberi tugas untuk mengerjakan LKS. Hal ini tentu membuat anak-anak senang.

            Sebagian dari mereka justru memilih untuk mengabaikan tugas dari Bu Intan. Ada yang bergosip, ada yang terus keluar ke kantin, ada pula yang gitaran.

            “Awal ku melihat

Ku yakin, ini bukanlah yang biasa

Mengagumkan

Melemahkan aku melihat tatap matanya” kudengar lantunan lagu favoritku dari Peterpan berjudul Khayalan Tingkat Tinggi dari arah belakang kelas.

            Aku yang sedang mengerjakan tugas bersama Mika, merasa tertarik dan menoleh ke belakang ke arah sumber suara. Rupanya itu suara Bobby. Ku lihat Bobby dengan serunya memainkan gitar sembari dikerubungi teman-temannya.

“Garis tawanya

Waktu berhenti apabila ku memandangnya

Mengagumkan

Melemahkan aku melihat tatap matanya,” lanjut Bobby bernyanyi.

            Baru kali ini aku melihat Bobby bernyanyi. Suaranya memang tidak benar-benar merdu, namun aku kagum dengan yang Bobby cukup lihai memainkan gitar.

            "Wah, gak nyangka dia ternyata punya bakat," batinku diam-diam menikmati lantunan lagu.

            Seakan tahu tengah aku pandangi, Bobby lantas menoleh ke arahku. Akibatnya mataku tepat jatuh di tatapan matanya.

Aku yang sedikit agak kaget segera saja menolehkan wajahku kea rah lain.  Aku sedikit salah tingkah untuk kembali ke meja mengerjakan tugas.

            Aku hanya sedang tidak mau berkomunikasi dalam bentuk apapun dengannya. Sebenarnya mendengarnya bermain gitar seperti itu, aku mulai agak melupakan kemarahanku padanya.

            Meski demikian, aku masih kesal tiap teringat Bobby belum meminta maaf pada kelompokku atas kejadian kemarin.

“Khayalan ini setinggi-tingginya

Seindah-indahnya

Tempat ku memikirkannya

Bila ku dapat, kusimpan wajahnya

Memegang indahnya

Berpura memilikinya," lanjut Bobby.

Anak-anak lantas bersiul dan bersorak mendengar nyanyian Bobby. Krisna malah sempat berseru lagu itu pasti dinyanyikan untukku.

Anak-anak lain juga lantas ikut bersiul menggodaku dengan Bobby. Sepertinya desas-desus bahwa Bobby menyukaiku sudah diketahui banyak orang.

            "Cie, cie, Borin.. Bobby Erin," seru Yus.

            "Ahahaha Borin," susul Anton sambil tertawa.

            Entah apa yang terjadi, aku merasa kurang nyaman seketika mendengar mereka menggodaku. Ya mungkin aku sedikit malu.

            Aku langsung memilih keluar karena aku benar-benar tidak tahu harus bertingkah bagaimana. Hal itu justru membuat anak-anak semakin ramai menggodaku.

            “Wah beneran salting tuh Erin,” kata Anton diikuti gelak tawa anak-anak lain.

Saat aku keluar, tak sengaja kulihat Sarah dari bangkunya masih memandangku sinis.Aku sendiri sudah tidak peduli dengannya.

            Aku juga tak ingin mendekati Sarah semenjak dia mengabaikanku tanpa ada alasan yang jelas. Bahkan, terkadang aku lupa dengan keberadaannya.

***

 

Sepulang sekolah, Bobby kembali berulah. Dia mengikutiku dari belakang dengan motornya.

            Awalnya aku tak sadar dengan kehadirannya. Setelah agak menjauh dari lingkungan sekolah, aku kaget Bobby sudah berada di belakangku.

Setelah sadar dengan keberadaannya, Bobby malah menjejerkan motornya di samping sepedaku.

            "Ngapain sih, minggir sana," kataku.

            Jalan menuju rumahku memang biasanya cukup sepi. Pasalnya, aku memilih jalan di kawasan perumahan.

            Meski jadi lebih agak jauh, namun jalannya sepi dan terkesan adem karena tidak banyak motor lewat, serta banyak pohon di sekitarnya.

            "Kamu masih marah ya, maaf ya please?," tanya Bobby.

            "Udah tahu nanya kemarin ke mana aja, aku bilang minggir," kataku galak.

            “Ya maaf Rin, dari kemarin aku sudah mau mencoba minta maaf tapi kamu selalu menghindariku,” ujarnya.

            “Halah alasan, kamu kan bisa ngomong dari awal apa sih susahnya?,” balasku.

            “Soalnya aku pengen minta maaf tidak cuma di-chat, makanya aku ke rumahmu kemarin,” katanya.

            “Ya kenapa kemarin belum omong pas di rumah? Malu ya ada Mamahku,” desakku.

            Bobby lantas diam saja sepertinya membenarkan argumenku.

            “Iya, makanya kemarin aku ajak kamu beli jus biar aku bisa menjelaskan semuanya,” katanya.

            “Bodo amat, minggir sana,” pintaku galak.

Sia-sia aku bersikap kasarpun Bobby tidak akan menyerah begitu saja.  Jadi aku diamkan dia dan terus fokus mengayuh sepeda.

            Sepertinya Bobby memang lebih suka aku galakin hingga ia menggodaku lagi dengan cara memepet sepedaku. Akibatnya, aku kehilangan keseimbangan hingga terjatuh.

            "Brak," aku terjatuh cukup keras.

Kemudian, Bobby segera menghentikan dan memarkirkan motornya.

            "Maaf, maaf duh aku beneran enggak sengaja," ujarnya.

Lutut dan sikuku berdarah. Meski tak banyak, namun rasanya cukup perih.

            Ku abaikan Bobby dan segera ku ambil tisu dalam tasku. Saat Bobby memaksa untuk membantuku mengelap darah, aku rasanya sudah tak tahan. 

            "Cukup Bobby, sekarang pergilah! Kamu hanya tahu mengganggu orang!,” ujarku pelan namun menekankan semua kata kepadanya.

            Seakan merasa sangat bersalah, Bobby berhenti untuk menyentuhku. Ia memilih untuk mengangkat sepedaku yang terjatuh ke posisi semula.  Dia juga membersihkan sedel yang kotor terkena pasir.

            Kemudian, dia pergi begitu saja dengan motornya. Tapi itu lebih baik, justru itulah yang benar-benar aku inginkan.

            Saat aku hendak naik ke atas sepeda, Bobby ternyata datang lagi di hadapanku. Ia membawa kantong plastik berisi obat merah beserta plester.

            “Aku tahu pasti kamu tidak akan mau jika aku bantu, tapi nih biar lukamu tidak infeksi,” ungkapnya.

            “Aku janji akan berhenti mengganggumu, di sini, di sekolah, di manapun asal kamu menggunakannya,” kata dia.

            Mendengar janji yang diucapkanya padaku, selain memang kakiku terasa perih, aku kemudian mengunakan obat merah itu.

            Ku lihat ia tersenyum melihatku menuruti kemauannya.

            “Ya sudah ya Rin, aku pulang dulu. Kamu boleh marah sama aku hari ini, tapi jangan lama-lama ya,” katanya.

            “Berisik,” kataku sambil menahan rasa perih karena tetesan obat merah itu kini berada di atas lukaku.

            Setelah itu Bobby kembali ke motornya dan berkendara pulang.

            “See you tomorrow, Erin,” katanya sembari melambaikan tangan ke arahku.

 

***

            Keesokan harinya di sekolah, hariku berjalan agak lebih tenang tanpa ada Bobby yang menganggu.

            Bobby sama sekali tidak mengajakku berbicara bahkan menatapku saja tidak. Aku cukup senang dan mungkin saja akan memaafkannya jika ia benar-benar menghindariku.

            Sepulang sekolah, aku dan Mika mengerjakan tugas kelompok Matematika bersama. Mika dan aku sepakat mengerjakannya di perpustakaan sekolah.

            Di sela-sela mengerjakan tugas, kami sempat melihat dari balik jendela perpustakaan bagaimana Bobby, Sean, dan dua anak dari kelas IPS tengah membersihkan taman sekolah karena hukuman berkelahi tiga hari lalu.

            Baru kuketahui bahwa dua anak dari kelas IPS yang berkelahi dengan Bobby dan Sean adalah Beni.

Beni adalah temanku yang suka merundungku di kelas sebelumnya. Sedangkan, satu anak lainnya adalah Raja yang kuingat merupakan teman Bobby di kelas lamanya.

Aku penasaran dengan apa yang mereka perebutkan atau perdebatkan hingga mereka berkelahi sedemikian rupa.

“Rin, Bobby tuh. By the way dia hari ini tumben enggak ganggu kamu?,” ujar Mika membuyarkan lamunanku.

“Duh, Rin kamu ngamatin Bobby segitunya,” godanya.

“Hah? Enggak dong. Tadi kamu nanya apa,” kataku meminta Mika untuk mengulangi pertanyaannya.

Kemudian kuceritakan kejadian aku jatuh dari sepeda gara-gara Bobby. Mika yang mendengarnya malah tertawa dan menggodaku lagi dan lagi.

“Haha, kalian konyol banget sih. Tapi kamu gak boleh gitu ke Bobby, nanti kamu dijauhin beneran kangen,” ujarnya sambil mengedipkan satu matanya.

“Huft diam,” ujarku melengos.

Sekitar setengah jam berlalu, aku merasa kehausan. Maklum cuaca sedang panas-panasnya, ditambah AC perpustakaan yang sedang rusak belum diperbaiki.

Aku kemudian keluar perpustakaan berinisiatif untuk membeli es dan mencari angin segar. Baru berjalan beberapa langkah, ku dengar suara Beni memanggilku.

“Eh Erin, sini Rin,” seru Beni.

Mendengar seruan Beni, aku kemudian menghampirinya tanpa curiga meski dia dulu sering merundungku.

“Rin, aku mau es dong bisa beliin enggak?,” ujar Beni.

“Enggak beli sendiri lah,” kataku tegas.

            Melihatku menghampiri Beni, Bobby lantas menghentikan dari kegiatannya mencabuti rumput taman yang sudah meninggi. Raut mukanya berubah kecut.

            “Ayolah Rin, nanti aku janji gak bully kamu lagi kayak dulu,” kata Beni.

            “Nanti ga nyebut kamu Betty La Fea lagi dan kami mau panggil kamu cantik,” imbuh Raja di sampingnya.

            “Tidak perlu,” tersinggung dengan perkataan Raja. Apalagi aku tak pernah mengenalnya namun sudah ikut campur.

            Saat aku hendak pergi, Beni menarik tanganku memaksaku menerima uangnya untuk membelikannya es.

            “Apaan sih aku bukan babumu, ga capek ya gangguin aku,” kataku dengan kasar

            “Lepasin Ben, enggak usah mulai lagi,” seru Bobby menambahi.

            “Apa? Kamu mau membela kekasihmu lagi ya?,” kata Raja.

            “Aku enggak omong sama kamu ya,” kata Bobby menatap Raja penuh emosi.

            “Udah-udah Bob, jangan lagi,” kata Sean saat Bobby mendekat.

            Bukannya melepaskan tangannya dariku, Beni dan Raja malah makin menggangguku. Mereka sepertinya menggunakanku sebagai alat memancing emosi Bobby.

            “Bobby kenapa ya bisa suka sama cewek kayak kamu? Aku ngejar Selly, eh Sellynya malah suka Bobby, eh Bobby sukanya sama kamu,” ujar Raja sambil melihatku dengan tatapan merendahkan.

            Ku coba ingat-ingat lagi siapa itu Selly. Ya aku ingat, aku pernah berteman dengan Selly setahun lalu saat masuk ekstrakurikuler menari, meski aku hanya bertahan dua minggu saja.

            Selly sebelumnya berada satu kelas dengan Bobby di kelas 10. Dia memang cewek yang cantik dan terkenal baik kepada semua orang. Tak ku sangka Selly bisa jatuh hati pada Bobby.

            “Ini buat aku aja ya Bob, aku nerima dapat yang jelek. Aku ikhlasin kamu dapatin Selly,” ujar Raja.

            Aku memang tersinggung dengan perkataan Raja, akan tetapi Bobby terlihat lebih emosi mendengar ucapan cowok yang sebenarnya rupawan ini.

 Di balik wajah Rajanya yang manis tapi sungguh-sungguh menyimpan kelakuannya yang menyebalkan.

            “Kamu ga usah sangkut pautin aku dalam urusanmu dengan Bobby, Selly, siapapun itu,” tegasku pada Raja.

            Seakaan tak peduli, Raja mengabaikan perkataanku dan malah fokus dengan Bobby yang  wajahnya sudah makin terlihat seperti kepiting rebus.

            “Liat tuh mukanya makin emosi Rin, dia ngebela cewek kayak kamu mati-matian sampe nonjok mukaku kemaren,” ucap Raja.

            “Dia tuh engga terima ceweknya disebut Betty La Fea, padahal kan aku ngungkapin fakta saja,” lanjutnya disusul tawa Beni.

            Beni yang dari dulu memang suka mem-bullyku terlihat sangat senang. Aku kira jika kami sudah beda kelas, dia tidak akan tertarik mengangguku lagi. Ternyata jelas tidak.

            “Dendam apa sih dia sama aku heran,” batinku sambil melepas lenganku yang dari tadi masih dipegangnya.

            Melihat Bobby yang tersulut emosi, aku lantas mencoba untuk menenangkannya meskipun aku sendiri juga kesal. Aku tak ingin masalah ini berakhir dengan perkelahian.

            “Bob udah Bob,” kataku pada Bobby.

            “Hahaaha, kalo berani pukul lagi dong kayak kemaren,” pancing Raja.

            Bobby lantas menarik kerah leher Raja. Raja sendiri justru tampak makin senang.

            “Udah Bobby, please,” kataku sambil menarik tubuh Bobby.

            Kemudian Bobby akhirnya melepaskan tangannya dari kerah Raja.

            “Ya ampun nurut sama cewek jelek ya lu Bob,” ujar Raja menggoda lagi.

            Kemudian, Bobby langsung menonjok muka Raja hingga laki-laki menyebalkan itu tersungkur. Tak membalas, Raja hanya meringis kesakitan.

Raja kemudian tersenyum penuh kemenangan berhasil memancing emosi Bobby. Dia langsung berdiri dan mencegah Beni yang hendak balas memukul Bobby.

“Sayang sekali Bob sekolah udah sepi sudah enggak ada guru, kalo enggak ya selamat masuk BK lagi,” kata Raja sambil tersenyum lalu beringsut menjauh diikuti Beni.

Tepat saat itu Mika akhirnya menghampiri kami. Dia terlihat bingung dengan apa yang barusan terjadi.

            Matahari yang menyengat di kepala, hawa panas yang membuat badan kami tidak nyaman, ditambah dengan kejadian barusan membuatku ingin meluapkan segalanya.

            Aku kesal dengan Beni yang masih merundungku, aku kesal dengan Raja yang melibatkanku dengan masalahnya, aku kesal dengan Bobby yang tak bisa menahan emosinya.

            Terutama Bobby. Semenjak aku kenal dengannya, aku merasa sering terlibat dalam kesulitan.

            "Kamu selalu kekanak-kanakan Bob, kamu selalu membuatku terlibat dalam kesulitan,” seruku pada Bobby.

            “Maafin aku Rin,” ujar Bobby pelan.

            "Aku sudah risih dengan tingkah lakumu, aku juga sebenarnya masih sangat marah dengan kejadian kemarin!."

            "Berkelahi kayak anak kecil sampai buat kelompok kita rugi gara-gara kamu!," kataku lebih kencang.

            Bobby masih diam saja.

            "Kamu bahkan belum minta maaf pada teman-teman sekelompok Bahasa Inggris kita, kini kamu masih mau berkelahi lagi,” kataku mulai agak berteriak.

            “Kamu paham enggak sih Raja tuh mancing kamu? Kenapa sih Bob kamu selalu bikin keadaan makin ruwet. Dasar bocah liar!,” kataku makin kasar.   

            Diperlakukan begitu di depan Sean dan Mika, raut muka Bobby yang sempat melembut kini kembali merah padam mendengar kata-kata kasarku.

Sorot matanya tajam menatap mataku. Aku tidak pernah melihatnya semarah ini, bahkan saat dia menonjok muka Raja beberapa menit lalu.

            "Asal kau tahu aku sudah meminta maaf pada semua teman kelompok kita. Namun, saat aku hendak meminta maaf padamu baik-baik, kamu selalu menghindariku," katanya.  

“Asal kamu tahu saja, aku berkelahi karena ada alasannya bukan karena masalah bocah seperti yang kamu sebut, dan kamu tidak berhak menyebutku liar!," ujarnya tajam.

            "Aku kemarin berkelahi karena anak-anak itu mengolok-olokmu. Mereka menggodaku yang memang sedang dekat denganmu,” ujarnya panjang lebar.

            “Kamu seharusnya tidak terpancing emosi Bob,” kataku membalas.

            “Ini bukan soal terpancing emosi atau tidak. Aku tidak akan terima perempuan yang aku sukai dihina seperti itu,” ungkapnya.

            Deg, mendengar itu aku semakin tidak bisa berbicara apa-apa. Ya memang sebelumnya aku curiga dan sering mendengar komentar orang bahwa Bobby menyukaiku, tapi aku masih sedikit kaget kata-kata itu benar-benar terlontar dari mulutnya.

            "Baru aku tahu, kamu yang selalu kupuja karena kepintaranmu ternyata aku salah. Kamu tidak lebih dari orang yang suka menilai orang lain dari luarnya saja, kamu juga seorang pembully," katanya lagi.

            Aku makin terdiam disebut seperti itu. Sebelum Bobby pergi menjauh, ia berkata hal yang membuatku justru makin merasa bersalah.

            "Maafkan aku yang terus membuatmu masuk ke dalam masalah, maafkan aku juga sudah membuatmu risih selama ini."

            "Ku rasa memang seharusnya aku tidak pernah menyukaimu," kata Bobby pergi begitu saja meninggalkan aku dengan sejuta tanda tanya.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Tulus Paling Serius
1690      727     0     
Romance
Kisah ini tentang seorang pria bernama Arsya yang dengan tulus menunggu cintanya terbalaskan. Kisah tentang Arsya yang ingin menghabiskan waktu dengan hanya satu orang wanita, walau wanita itu terus berpaling dan membencinya. Lantas akankah lamanya penantian Arsya berbuah manis atau kah penantiannya hanya akan menjadi waktu yang banyak terbuang dan sia-sia?
Cute Monster
621      346     5     
Short Story
Kang In, pria tampan yang terlihat sangat normal ini sebenarnya adalah monster yang selalu memohon makanan dari Park Im zii, pekerja paruh waktu di minimarket yang selalu sepi pengunjung. Zii yang sudah mencoba berbagai cara menyingkirkan Kang In namun selalu gagal. "Apa aku harus terbiasa hidup dengan monster ini ?"
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
3516      1163     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...
Cinta Sebelum Akad Itu Palsu
101      73     1     
Inspirational
Hayy dear...menurut kalian apa sih CINTA itu?? Pasti kalian berfikir bahwasanya cinta itu indah, menyenangkan dan lainnya. Namun, tahukah kalian cinta yang terjadi sebelum adanya kata SAH itu palsu alias bohong. Jangan mudah tergiur dan baper dengan kata cinta khususnya untuk kaum hawa niii. Jangan mudah menjatuhkan perasaan kepada seseorang yang belum tentu menjadi milikmu karena hal itu akan ...
PALETTE
491      258     3     
Fantasy
Sinting, gila, gesrek adalah definisi yang tepat untuk kelas 11 IPA A. Rasa-rasanya mereka emang cuma punya satu brain-cell yang dipake bareng-bareng. Gak masalah, toh Moana juga cuek dan ga pedulian orangnya. Lantas bagaimana kalau sebenarnya mereka adalah sekumpulan penyihir yang hobinya ikutan misi bunuh diri? Gak masalah, toh Moana ga akan terlibat dalam setiap misi bodoh itu. Iya...
After School
1432      853     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Tumpuan Tanpa Tepi
7325      2574     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Hyeong!
122      105     1     
Fan Fiction
Seok Matthew X Sung Han Bin | Bromance/Brothership | Zerobaseone "Hyeong!" "Aku bukan hyeongmu!" "Tapi—" "Seok Matthew, bisakah kau bersikap seolah tak mengenalku di sekolah? Satu lagi, berhentilah terus berada di sekitarku!" ____ Matthew tak mengerti, mengapa Hanbin bersikap seolah tak mengenalnya di sekolah, padahal mereka tinggal satu rumah. Matthew mulai berpikir, apakah H...
Memories About Him
2905      1465     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
Premium
RESTART [21+]
5030      2221     22     
Romance
Pahit dan getir yang kurasa selama proses merelakan telah membentuk diriku yang sekarang. Jangan pernah lagi mengusik apa yang ada di dalam sini. Jika memang harus memperhatikan, berdirilah dari kejauhan. Terima kasih atas semua kenangan. Kini biarkan aku maju ke depan.