"Belajar dari kemarin, hidup untuk sekarang, berharap untuk besok," begitulah kutipan yang aku baca dari unggahan foto baru milik Venny di Instagram.
Baru sejam lalu Venny memposting foto selfinya di dalam kelas. Kutipan dan foto milik Venny yang sebenarnya tidak nyambung itu benar-benar menggambarkan suasana hatiku sekarang.
"Erin belajar dulu, main hpnya nanti dulu," tegur Mamahku tiba-tiba dari balik pintu kamar.
"Besok kan kamu ujian tengah semester," lanjutnya.
"Iya mah, bentar aja.. kan abis belajar satu jam agak ngantuk, biar fresh lagi," balasku sambil berguling malas di atas ranjang.
Dua bulan setelah kejadian di mana aku menepuk muka Krisna, aku sebenaranya jadi makin rajin belajar. Orang tuakupun juga makin ketat mengawasiku.
Awalnya aku ingin berbohong saja mengenai buku Pramoedya yang sobek itu pada Mama. Namun pada akhirnya aku memilih jujur dengan segala apa yang terjadi.
Mamah tak memarahiku dan bahkan bersedia mengganti buku Pram yang sobek itu. Meski begitu, Ia memberikanku syarat agar aku benar-benar mengabaikan teman-teman yang membullyku dengan cara fokus belajar.
"Kalau kamu mau niru Pram, harusnya melawan bukan pakai otot, pakai otak," ujar Mamahku setelah aku curhat padanya.
Semenjak itu aku mencoba menutup mata dan telinga pada anak-anak yang masih membullyku. Akibatnya, hari demi hari bullyan itu berkurang.
Entah mereka sudah bosan menggodaku atau entah aku yang sudah fokus pada pelajaran hingga aku tak sadar mereka masih membully.
Waktu berjalan cepat hingga tibalah ujian tengah semester. Aku tidak peduli dengan hal-hal di luar dunia sekolah, termasuk soal Sean.
Bagiku ketampanan Sean serta merta hilang begitu saja mengingat dia ikut membullyku. Aku terkadang mual mendengar gadis-gadis di kelas yang mengaguminya karena ketampanannya.
“Hahaha, aku lupa aku pun sempat kagum karena hal yang tampaknya saja,” batinku.
Sementara itu sejumlah ujian bahasa tidak terlalu menyulitkanku. Apalagi bahasa Inggris, aku cukup menyukai pelajaran tersebut.
Saat ujian, beberapa kali anak-anak cowok memintaku memberi contekan. Mungkin ini adalah waktu yang paling tepat untuk melawan pikirku.
Aku tidak salah kan jika tidak memberikan mereka bantuan saat ujian? Seperti yang terjadi pada ujian Bahasa Inggris.
Saat aku tengah fokus mengerjakan, tiba-tiba saja bahuku dari belakang disenggol oleh Anton. Anton lantas memberikan secarik kertas padaku.
"Ssst,ssttt dari Yus," kata Anton.
Dengan hati-hati kuterima dan kubuka kertas itu. Ku pastikan pengawas ujian tak sedang mengawasiku.
"Nomor 5? Please tolong kasih tahu," tulis Yus.
"Pikir sendiri, baru tanya sekarang, kemaren sibuk ngebully sih," tulisku.
Kemudian kertas itu kuserahkan pada Anton agar diberikan pada Yus yang duduk di belakangnya. Sebelum Anton memberikannya pada Yus, rupanya ia juga menantikan jawaban dariku.
Ia membuka kertas itu dan sedikit kaget setelah membaca isinya. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan saat mencuri pandang ke arahnya.
Tak hanya Yus dan Anton, sebelumnya beberapa anak laki-laki lainnya juga sempat memanggilku saat ujian berlangsung, secara berbisik-bisik tentunya. Akan tetapi, aku selalu mencoba untuk pura-pura tak mendengar mereka.
Di sisi lain berbeda dengan ujian bahasa atau mata pelajaran lainnya, aku masih cukup kesulitan dalam mengerjakan ujian matematika.
Ingin rasanya ku minta bantuan pada Sarah atau Mika yang pandai dalam Matematika. Namun aku memilih mengurungkannya
Mereka tidak pernah pernah mencontek dariku. Aku merasa tidak enak, sedangkan mereka berusaha keras sendiri untuk ujian bahasa.
"Yuk jajan," kata Sarah dan Sabrina setelah ujian Matematika usai.
Seperti biasa kami anak-anak cewek selalu jajan bersama setelah ujian selesai. Kami semua merasa ujian itu benar-benar menguras otak hingga membuat kami sangat kelaparan, kecuali Meta.
"Yuk Meta," kataku mengajaknya.
"Enggak ah, aku masih kenyang," jawab Meta.
Aku cukup merasa aneh dengan temanku yang suka menggigit jarinya ini. Beberapa hari terakhir, dia jarang ikut kami jajan bersama-sama di kantin.
Selain itu dia juga jadi agak pendiam ketika anak-anak cewek sedang berkumpul. Terkesan menghindar mungkin.
"Ih ikut aja Met, minum aja kalau masih kenyang," pintaku lagi.
"Enggak nanti aja," balas Meta.
"Ih nanti kapan? Abis ini kan masih ada satu ujian lagi, yuk mumpung istirahat," kataku.
"Kamu juga akhir-akhir ini ga pernah ke kantin," ujar Mika menimpali.
"Udahlah ga usah dipaksa kalau enggak mau," ujar Sarah tiba-tiba sinis.
Kemudian, Sarah dan anak-anak lainnya langsung menuju kantin. Aku agak sedikit terkejut Sarah tiba-tiba berkata sinis.
"Keburu keroncongan kali perutnya," pikirku dalam hati.
Kemudian aku coba lagi meminta Meta untuk ikut jajan dengan kami. Aku hanya merasa kasihan saja dia sendirian sedangkan anak-anak lainnya pergi ke kantin.
Selain itu aku juga cukup kangen dengan kehadirannya di kantin. Selama ini dalam "Geng Sarah", orang yang cukup dekat denganku selain Mika adalah Meta.
"Apa enggak lapar enggak haus," batinku.
"Aku traktir deh Met, aku kangen kamu," ujarku jujur.
Mendengar itu, Meta sepertinya luluh. Dia lantas berdiri dan menggandeng tanganku.
"Ya udah yuk, bentar aja ya," katanya.
Di kantin, aku memesan semangkuk kecil soto daging sapi dan es jeruk. Sedangkan Meta memesan satu gelas es teh saja.
Kemudian kami bergabung di kursi tempat "Geng Sarah" berkumpul. Sembari menunggu makanan datang, kami banyak mengobrol ujian matematika yang baru saja kami kerjakan.
Aku perhatikan Meta lagi-lagi terlihat diam saja. Meski dia dikenal sebagai sosok yang pendiam, namun saat ini dia benar-benar tak bicara, tersenyum saja tidak.
"Ah udahlah, ga usah bahas ujian lagi, yang sudah-sudah," ujar Leila menyarankan tepat saat Mbok Sar sudah datang membawakan sejumlah pesanan kami.
"Mending kita makan dulu, bahas lainnya aja yang ga ada hubungannya dengan pelajaran, pusing aku," jelasnya.
Hanya beberapa menit saja, kami sibuk dengan makanan kami hingga tiba-tiba saja Sarah membahas masalah artis.
"Eh kalian tahu enggak Rebecca Stefanni kemarin ketangkep kamera jalan sama Dean Pratama," cerita Sarah.
"Lah bukannya Dean itu pacarnya Stella Wijoyo," ujar Venny menanggapi.
"Ah masak? Kalau tidak salah kan Rebecca dan Stella itu sahabatan?" kataku kemudian.
"Tapi emang dua-duanya cantik sih, Rebecca khas bule, Stella khas cewek-cewek korea," tambah Regina.
"Duh Rebecca tuh yang kegatelan, ngambil Dean dari Stella," ujar Sarah agak keras.
Saat mengatakan Sarah menaikkan volume suaranya hingga beberapa orang di meja lain ikut menatap kami. Namun, Sarah justru menatap tajam Meta yang tengah minum es tehnya.
"Cantik sih tapi genit, sok diem aja orangnya, hmm padahal," lanjut Sarah lagi-lagi memandang Meta.
"Tapi ketahuan jalan bukan berarti udah kencan sama Dean kan, kita kan enggak tahu aslinya," kata Leila akhirnya menimpali.
Leila selama ini memang dikenal sebagai sosok yang santai. Dia kurang suka jika kami mulai mengeluh atau pun memikirkan hal-hal yang tidak penting, seperti kehidupan para artis.
Sementara itu, aku malah kepikiran mengenai tatapan Sarah pada Meta baru saja. Dari sorot mata Sarah ia tengah memendam kemarahan.
Apakah yang itu membuat Meta akhir-akhir ini tidak ingin bergabung dengan kami di kantin. Ah salah bukan hanya di kantin, Meta menghindari kami kemanapun.
Aku pun jadi ingat kejadian saat kami belajar bersama di rumah Sarah. Sarah yang baru saja kesengsem dengan Anton malah harus mendengar Meta juga ternyata saling chat dengan cowok itu.
Aku merasa kasihan dengan Meta diperlakukan seperti itu. Akibatnya aku langsung berinisiatif untuk mengalihkan pembicaraan.
Ku lihat sekeliling untuk mencari topik apa yang pantas untuk dibahas. Saat ku lihat Mika, baru kusadari dari tadi dia tidak makan.
"Lah dari tadi kamu enggak makan Mik, kok aku baru sadar," ujarku pada Mika.
"Eh iya, aku udah kenyang kok," jawabnya.
“Oh,” jawabku hingga meja kami kembali sunyi.