"Semoga Erin bisa menjaga prestasinya, karena mencapai tak semudah mempertahankannya," ujar Wali Kelasku, Bu Endang pada Mama.
Bu Endang mengatakan bahwa aku berhasil mendapat rata-rata nilai terbaik selama tengah semester hingga menjadi jawara kelas. Sementara itu, Mika berada di rangking dua dan Sarah berada di rangking tiga.
Aku sendiri tidak menyangka bahwa aku berhasil meraihnya. Meski dalam beberapa bulan terakhir aku fokus belajar, namun aku mengira hanya akan menempati posisi 10 besar.
Ku cermati raporku tertera sejumlah nilai 80 ke atas. Hanya nilai Matematika saja yang membuatku kecewa, walaupun aku sudah menduganya, yakni 72.
"Selamat ya Rin," ujar Mika sambil menutup buku rapor yang baru dilihatnya.
"Wah, iya Mik aku enggak nyangka juga," kataku.
"Berarti kamu hebat Rin," pujinya.
"Ah, enggak biasa aja," selaku malu.
"Omongan adalah doa loh rin, iyain kenapa biar makin hebat beneran kan," sanggah Mika.
"Ya soalnya, masak iya aku bilang aku emang hebat," candaku.
"Ya kalau mau sombong ya gapapa, palingan cuma enggak aku temenin," celoteh Mika membuatku tertawa.
Setelah sedikit bercanda dengan Mika aku langsung pulang bersama Mama. Saat pengambilan rapor tengah semester biasanya memang ditiadakan pelajaran.
Para siswa sebenarnya juga tidak diwajibkan untuk masuk sekolah pada hari itu. Namun, daripada aku hanya bengon di rumah aku memilih untuk menemani Mama ke sekolah.
Berbeda dengan semesteran, ujian tengah semester siswa tidak mendapat liburan setelah itu. Sehingga pada hari Senin aku sudah kembali masuk sekolah.
Sementara itu, orang tuaku yang senang dengan pencapaianku lantas membuat syukuran kecil-kecilan. Mereka mengajakku dan kedua adikku kembarku untuk makan malam bersama di restoran cepat saji kesukaanku.
Hal itu sudah cukup bagiku, lantaran selama ini kami juga jarang makan di luar.
***
Pada hari Senin, aku kembali ke sekolah. Kebahagiaanku menjadi jawara sekolah masih membuat moodku sangat bagus.
Tetapi rasa senang itu luntur setelah menyadari sikap berbeda yang ditunjukkan oleh Sarah kepadaku. Awalnya semuanya terasa normal hingga waktu istirahat datang.
Biasanya, sosok dominan dalam lingkaran pertemanan kami itu mengajak semua teman dekatnya, termasuk aku untuk jajan bersama. Kali ini dia seperti mengabaikanku.
"Jajan yuk, nyoto yuk," kata Sarah pada Leila.
Lalu, ia juga mengajak Venny, Regina, Mika, dan Sabrina. Ia tentu tidak mengajak Meta, karena ada permasalahan yang belum pasti aku ketahui.
Awalnya aku tidak terlalu peduli bahwa Sarah tidak mengajakku. Aku berpikir dia hanya lupa saja mengajakku.
"Ah mungkin dia lupa, bukan masalah besar," batinku.
Apalagi saat Sarah mengajak teman-teman, aku masih sibuk mencatat pelajaran PKN. Mungkin Sarah merasa tidak enak mengangguku.
Lalu kususul saja mereka ke kantin Mbok Sar. Sesampainya di kantin, tak kujumpai muka mereka.
Hanya ada anak-anak cowok berkumpul. Dengan malasnya ku lihat Sean juga berada di sana.
"Erin, nyari siapa," tanya Bobby menghampiriku.
"Cewek-cewek pada ke mana?," jawabku.
"Oh Sarah dkk ya, tadi ke arah sana, paling ke kantin Pak Ratno," ujarnya sambil menunjuk arah timur.
“Oh oke makasih ya Bob,” jawabku sambil lalu.
Saat aku berjalan menuju kantin Pak Ratno, sempat aku terpikirkan bagaimana Bobby menyebut namaku. Aku jarang sekali berbicara dengannya.
Bobby juga termasuk anak yang bisa dibilang tengil. Sehingga aku sudah berasumsi bahwa dia paling juga termasuk orang yang suka menertawaiku atau bahkan ikut merundungku selama ini.
"Ah bodoh amatlah sama mereka," batinku. Aku teringat bahwa aku sudah bertekad untuk tak akan peduli lagi dengan orang-orang yang merundungku. Aku bersyukur lama-lama mereka mulai berhenti mengangguku.
Sesampainya di kantin Pak Ratno, kulihat Sarah dkk tengah menikmati gorengan bersama-sama. Seperti biasa, mereka selalu menjadi pusat keramaian di antara siswa-siswa lain.
"Ih kalian di sini, aku ditinggal tadi," candaku.
"Wah, Erin aku sampe lupa tadi, kirain udah bareng kita tadi," ujar Mika.
Lalu aku langsung memilih tempat duduk di sebelah Sarah yang sepertinya masih muat untuk aku duduk. Di kantin Pak Ratno, kursinya berupa bangku panjang hingga bisa diduduki oleh beberapa orang bersamaan.
"Sarah geser dong," pintaku pada Sarah.
"Eh bentar aku mau pesan es teh," balasnya sambil bangkit dari kursinya.
Setelah Sarah memesan es teh, ia justru memilih duduk di tempat lain, bukan kembali di dekatku. Sarah bahkan memaksa bertukar tempat dengan Leila yang duduk bersebarangan jauh dariku.
"Leila, kamu dekat Erin saja, aku di sini," katanya.
"Kenapa sih Rah," protes Leila.
"Please aku sini aja, di sana sumpek," ujarnya judes.
Akhirnya Leila mengalah dan pindah duduk di sebelahku. Suasana pun di meja kami sempat menjadi canggung.
Sarah yang biasanya cerewet dan mendominasi bahan obrolan pada kelompok kami, saat itu tiba-tiba saja memilih diam. Sedangkan sebelum aku datang, aku sempat melihatnya tertawa keras seperti biasa.
"Hei, Erin kamu dapat rangking 1 ya," kata Sarah tiba-tiba.
"Iya hehe," kataku.
"Wah pintar ya kamu di kelas 11 ini," ujarnya.
"Makasih Rah, kamu juga bagus kok," kataku bingung membalas bagaimana.
"Ya enggak dong, ga sepintar kamu, aku mah apa atuh, ya kan ya Venn," katanya pada Venny.
"Oh iya, adikmu Meta mana kok enggak diajak," kata Sarah lagi.
Ini hanya perasaanku saja atau memang benar, aku merasa dia tengah menyindirku. Tak seperti biasanya dia bersikap ketus kepadaku.
"Kenapa jadi adikku?," tanyaku heran.
Lalu, suasana kembali sunyi. Semuanya juga memilihn diam saja.
Aku rasa keadaan memang sedang tidak baik-baik saja. Hingga Leila mencoba memecah kebuntuan dengan membahas kucingnya.
Suasana kembali cair dan mereka kembali tertawa. Hanya aku dan Sarah yang tidak banyak bicara saat itu,
"Kringg-kringg," suara tanda kembali ke kelas bergema.
Tak berbeda saat akan ke kantin, hanya aku lagi-lagi yang tidak diajak Sarah untuk balik ke kelas. Ia menatap semua teman kecuali aku.
Aku masih keheranan dengan apa yang terjadi, apa benar Sarah marah padaku? Tetapi karena apa? Apa karena aku dekat dengan Meta?
Apakah siapapun yang dekat dengan Meta juga akan menjadi masalah baginya? Padahal aku sendiri merasa tidak ikut campur dalam masalah keduanya.
"Ah tidak, Leila juga masih dekat dengan Meta tapi Sarah dan Leila masih normal saja," ujarku.
Aku masih tidak tahu dengan apa yang terjadi. Kejadian serupa berulang hingga tiga hari.
Sarah sangat jarang berbicara denganku. Jika kami saling berbicara, itupun karena aku yang memulainya.
Beberapa kali Sarah juga sering membahas kepintaran-kepintaranku yang ku rasa tidak perlu. Alhasil aku mulai sadar bahwa dia memang marah padaku.
Setelah menelaah beberapa analisis kuduga dia marah padaku, karena tak hanya aku, dia pun kaget aku menjadi jawara kelas melampauinya.
Di kelas kami sebelumnya, Sarah berada di rangking dua jauh melebihi diriku. Sedangkan, aku hanya berada di posisi delapan.
Seminggu sejak kejadian aku ditinggal ke kantin, keadaan makin memburuk. Sarah benar-benar mendiamkanku.
Sarah yang terkenal sebagai sosok cerewet itu beberapa kali kedapatan memandang sinis padaku. Aku yang tak tahu harus berbuat apa lantas memilih untuk balik menjauhinya.
Menurutku, aku tidak melakukan kesalahan hingga tak perlu meminta maaf atau memberikannya penjelasan. Saking dominannya Sarah, teman-teman lain pun ikut menjauh dariku.
Aku jadi penasaran kata-kata apa yang diungkapkan Sarah di belakangku hingga teman-teman ikut patuh padanya, kecuali Mika.
Mika sendiri masih memilih untuk tetap dekat denganku dan menemaniku setiap jam istirahat. Akibatnya, hubunganku dengan Mika makin hari makin dekat.
Saat hubunganku renggang dengan Sarah, aku juga makin dekat dengan Meta. Orang bilang musuh yang sama menciptakan pertemanan.
Ah tidak aku tidak menganggap Sarah sebagai musuh. Mungkin Sarah yang menganggapku demikian, oh mungkin tidak juga, tapi dia jelas menghindariku.
"Loh kamu kok ga ikut gabung mereka?," tanya Meta suatu hari.
"Kamu sendiri juga dah lama ga gabung, mengapa?," tanyaku balik.
"Iya malas saja," kataku asal tak mau menunggu jawaban Meta.
Kemudian aku yang tak tahan dengan duduk masalah Sarah dan Meta, lantas menebak apakah permasalahan mereka ada kaitannya dengan Anton. Rupanya dugaanku benar.
Meta langsung berbicara panjang lebar mengenai apa yang sebenarnya terjadi padanya dengan Sarah.
Aku tak menyangka Meta akan menceritakannya padaku sedangkan selama ini dia selalu menutupinya mengatakan bahwa hubunganya dengan Sarah normal-normal saja.
"Mungkin saja dia sudah tak tahan," pikirku.
"Kamu ingat pas kita belajar Matematika bersama di rumah Sarah?,” tanya Mika.
“Tentu,” kataku.
“Sehabis itu, dia mengechatku bertanya mengenai Anton. Kemudian aku jawab ya Anton beberapa kali mengechatku."
"Lalu, Sarah membalas bahwa dia juga dekat dengan Anton, bahkan sangat dekat. Sarah juga mengatakan, Anton juga sudah pernah ke rumahnya," cerita Meta.
"Lalu?," tanyaku.
Sebelum melanjutkan ceritanya, Meta sempat menghembuskan napas panjang melepaskan kekesalannya. Aku pun mencoba memegang tangan Meta tanda aku mendukung dirinya.
"Aku rasanya paham dia memang sengaja menceritakan itu padaku, agar aku cemburu dan menjauhi Anton. Ya sejujurnya aku memang sedikit cemburu," lanjut Meta.
"Akibatnya, aku mengalah memilih menjauhi Anton, ku rasa tidak perlu terjebak dalam situasi seperti itu pikirku," jelas Meta.
"Lah lalu masalahnya apa?," tanyaku heran.
"Setelah itu sepertinya Sarah dan Anton berhubungan intens, tapi aku tak tahu sudah pacaran belum."
"Kemudian hubunganku dengan Sarah kembali normal, apalagi aku memang menjauhi Anton. Tapi Sarah sepertinya marah semenjak tahu Anton beberapa kali meminjam catatanku menjelang ujian tengah semester."
"Aku sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Anton, aku hanya sekedar meminjaminya catatan," ujar Meta.
"Loh kenapa si Anton tidak pinjam Sarah saja ya?," ujarku bertanya-tanya.
"Ya nggak tahu, aku selama ini juga pura-pura tidak tahu hubungan mereka dan aku pun berlagak seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Anton,” ujar Meta sambil mengedikkan bahu.
"Apalagi kamu tahu kan, Sarah dan Anton berhubungan dekat namun seperti disembunyikan dari anak-anak kelas," lanjutnya.
Setelah ceritanya selesai, Meta langsung membuat sejumlah analisis mengenain masalahku dengan Sarah. Meta menduga Sarah marah padaku karena berhasil melampauinya menjadi jawara kelas.
"Dia sepertinya juga cemburu padamu Rin," kata Meta.
"Mungkin, tapi aku belum yakin," kataku.