Setibanya di rumah, hujan belum terlalu deras juga berkat payung daun pisang tadi, kami tidak basah kuyup.
Emak yang tengah mengangkat jemuran terperangah melihat kedatangan kami. Atau mungkin terkejut dengan Arya yang menggendongku seperti ini.
"Maaf, Nyisanak atas kelancangan saya menggendong Viva," tutur Arya setelah menurunkanku. Kau bahkan sering kali berbuat hal lebih lancang dari itu. Aku hanya berani mendumel dalam hati.
Emak mengangguk, tersenyum kikuk kemudian menyuruh kami berdua masuk.
"Terima kasih," ucapku.
"Aku langsung pulang saja," sahut pemuda itu.
"Hujannya tambah deras, di sini saja dulu,"
🌼
Matahari mulai menyorot dari ufuk barat, memberi kilauan yang kemudian terbias oleh embun di sore hari. Kini, aku dan Arya tengah menapak di jalan kebun yang berada di belakang rumah sedangkan Emak pergi ke pasar menjual hasil kebunnya.
Kami beriringan menyusuri jalan berbatu di antara semak tetehan kemudian Arya menyodorkan sebuah kembang wora wari atau bunga sepatu. Aku pernah iseng membaca artikel tentang makna bunga sepatu. Di zaman dulu, memberi kembang sepatu atau wora wari ini artinya si pemberi mengakui kecantikan si penerima.
Jangan terbawa suasana.
Kami saling tatap beberapa detik. Andai saja aku bisa membaca pikiran orang lain. Aku tidak ingin berlebihan hanya karena bunga yang ia berikan. Aku menerima bunga itu dan membalas senyumannya dengan kikuk.
Puas menyusuri kebun, Arya pamit karena ada hal yang harus dikerjakannya. Aku mengantarnya sampai halaman dan terus mengawasi hingga ia tak tampak, tertutup pepohonan.
Sembari tersenyum lebar, aku berbaring di ranjang bambu menatap langit-langit kamar yang tak luput dari sarang laba-laba. Kuarahkan bunga sepatu ke balik ventilasi yang menyorotkan kilauan mentari. Kuharap bunga ini tak cepat layu. Ah, jadi begini rasanya kasmaran.
Aku beruntung bisa menjadi rakyat Majapahit setelah mengalami kebingungan beberapa hari yang lalu. Hidup sederhana tanpa adanya ambisi duniawi yang berlebihan. Tak ada lagi gila belajar, tak ada lagi gawai yang mengalihkan dunia. Setelah Emak pulang dari pasar, aku membantunya masak untuk makan malam.
"Arya sudah pulang?" tanyanya, kubalas dengan anggukan.
"Kalian terlihat dekat."
"Apakah tak boleh? Kalau memang dilarang, aku masih bisa menjauhinya."
"Tentu tidak. Aku senang ada yang menjagamu selain emakmu ini. Umurku sudah tua, tidak bisa menjagamu selamanya." Emak mengucapkannya dengan sendu.
"Emak jangan bicara seperti itu!" tegurku.
"Maafkan emakmu ini, Viva. Jika waktu itu aku lebih mengawasimu, kau takkan hilang ingatan begini." Emak menatapku sayu.
"Tidak apa-apa, Mak. Hari itu memang sudah menjadi hari apesku."