Ayam berlomba-lomba menyuarakan kokok mereka yang beragam, sibuk dengan rutinitas tiap pagi membangunkan para manusia yang suka menyabung dan menyembelih mereka.
Aku beranjak membantu Emak menumbuk padi, memasak, mencuci, kemudian sarapan bersama.
"Apakah kau akan menemui Arya lagi?" tanyanya sambil menyapu halaman.
Aku berdeham sebagai jawaban.
Tapak kaki kuda terdengar tak jauh dari tempatku berdiri. Semakin dekat, aku semakin bertanya-tanya melihat Emak yang meletakkan sapu secara asal kemudian berlutut dan menunduk dalam-dalam sembari menyatukan telapak tangan di depan hidung.
Aku menggaruk tengkuk bimbang, tak paham tujuan Emak berlutut seperti itu. Tak acuh, aku melangkah ke luar gapura angkul-angkul* dan mencari-cari asal suara itu. Tak lama kemudian puluhan kuda melesat dengan pria-pria gagah sebagai penunggangnya. Rambut mereka yang setengah digelung berkibas menabrak angin. Dua penunggang kuda di baris terdepan tampak mencolok dibanding yang lain. Tatkala mereka lewat di hadapanku, debu beterbangan dari pijakan kaki kuda, membuat mataku kelilipan dan tak dapat melihat dengan jelas paras menarik para penunggang kuda itu.
"Apa yang kaulakukan, Bocah Dungu?! Tadi itu Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Kau dengan beraninya malah mendongak seperti itu!" Emak mencak-mencak seraya menjewer telingaku ketika derap kuda sudah tak lagi terdengar.
"Memangnya kenapa kalau aku menatapnya?"
"Itu tidak sopan! Tidak sembarang orang boleh melihat seperti apa sosoknya," jelasnya.
Aku kelabakan, khawatir jika sewaktu-waktu aku dihukum atas kelancangan itu. "Apa yang harus kulakukan?"
“Tidak apa-apa. Lagi pula tadi mereka tak mungkin memperhatikanmu.”
🌼
Emak pergi bersama beberapa wanita seumurnya entah akan ke mana dan saat ini aku berada di rumah sendirian dengan pintu depan maupun belakang dikunci. Sungguh, aku sangat bosan. Andai ada gawai, aku pasti tidak akan bosan dan bisa mengabadikan suasana di Majapahit.
Ketukan di jendela kayu mengagetkanku yang hendak berkelana di alam mimpi. Ketukan itu semakin cepat, aku tak berani membuka suara apalagi membuka jendela hingga suara familier membuatku lega.
"Ini aku."
Kubuka jendela dan keluar menemui Arya.
"Kenapa kau tidak ke sawah?" tanyanya ketika kami sedang duduk di bawah pohon maja di kebun belakang rumah.
"Aku sedang malas bepergian, lagi pula Emak mengunciku," sahutku.
"Seorang gadis tidak boleh bermalas-malasan," protesnya.
Dia tidak tahu saja kalau aku berasal dari zaman yang isinya orang-orang pemalas termasuk diriku.
Sekonyong-konyong ia menyandarkan kepalanya di pundakku, membuat tubuhku meremang.
"Kau tahu? Aku iri padamu yang mempunyai biyung perhatian seperti itu."
Aku tidak tahu harus merespons bagaimana. Jadi aku hanya diam, menunggu dia melanjutkan ucapannya. Tak tahu saja kalau Emak itu galaknya minta ampun, tapi aku takkan mengutarakannya karena tak mau dianggap adu nasib.
"Biyungku setiap mempunyai beban pikiran, pasti melampiaskannya padaku dengan kekerasan," lanjutnya dengan lesu.
"Tapi biyungmu pasti masih sayang padamu walau bersikap kasar," sahutku, mengusap rambut sebahunya. Ia pejamkan mata menikmati sentuhan itu.
_______
*Gapura angkul-angkul biasa digunakan untuk pintu halaman rumah.