Rumah sahabatku adalah tujuan kaki ini melangkah pelan, memijak tanah tandus di tengah rimbunnya Alas Kejenang yang terkenal wingit. Instingku membilangi bahwa ada yang mengintai di balik rimbunan pohon. Aku menoleh ke kanan-kiri tetapi tidak ada apa-apa selain pohon dan belukar yang memalangi sorot matahari.
Sebuah suara seorang pria tertangkap indra pendengarku dan aku menoleh menuju sumber suara. Pria itu melangkah ke arahku, entah kenapa aku langsung tertunduk memandang kakiku yang tampak ganjil melayang di atas tanah. Aku penasaran dengan pria itu tetapi kepalaku berat sekali untuk mendongak.
Wibawa pria itu menguar, membuatku ciut dan hanya mampu melirik tubuhnya yang bertelanjang dada dan mengenakan bawahan berupa jarik serta sampur yang pernah kulihat di film kolosal. Pergelangan kakinya memakai binggel emas tanpa alas kaki.
Suaranya bariton dan aku tak bisa menangkap arti tuturannya. Aku hanya mengerti secuil kata yang dilontarkannya menggunakan bahasa Jawa Kuno itu.
🌼
Aku menghitungnya. Tujuh kali aku bermimpi seperti itu sejak malam pertama pindah ke ujung timur Pulau Jawa ini. Aku tidak paham makna mimpi itu. Sudah kucoba untuk menghalaukan keanehan mimpi yang beruntun itu dan berpikir bahwa itu hanya bunga tidur semata yang tak ada sangkut pautnya dengan keseharianku. Namun, aku tak begitu bebal untuk mengabaikan ketujuh kalinya bunga tidur itu mampir di kepalaku.
Setelah kuceritakan isi mimpi kepada kakek buyutku yang lebih tahu menahu, Mbah Buyut mengatakan hal yang membuatku semakin bertanya-tanya. Beliau mengatakan bahwa orang di mimpiku adalah bapakku di masa yang berbeda. Lalu apa yang harus kulakukan? Apa yang akan terjadi? Cukup jalani garis takdir katanya.
🌼
Ganjil benar kali ini aku tertidur lelap sampai butuh waktu lama untuk mengumpulkan nyawa keseluruhan. Aku berkedip linglung sebelum menyadari betapa dinginnya cuaca hingga lenganku timbul bintik-bintik merinding. Aku kembali berkedip linglung mendapati lengan ini ditumbuhi bulu-bulu halus yang tampak jelas di atas kulit cerahku. Aku tercengang, sejak kapan aku punya bulu sebanyak ini.
Kuamati sekelilingku yang merupakan kamar dengan tembok dari anyaman bambu. Ranjang yang menjadi peraduanku terbuat dari bambu pula tanpa adanya kasur, melainkan tikar pandan. Di sebelahku teronggok tempurung kelapa yang berisi cairan hijau tua.
"Sudah siuman rupanya," celetuk seorang wanita paruh baya yang mendekatiku.
Aku yang sedang memikirkan segala kemungkinan hanya bisa mengernyit bingung.
"Maaf, Anda siapa?" Wanita tambun itu melepas rengkuhannya, memandangku skeptis.
"Kau ingin menjadi anak durhaka, ya? Berlagak pikun dengan emak sendiri?"
"Aku tidak tahu, memangnya apa yang terjadi padaku?"
Wanita itu mengerutkan kedua alisnya kemudian menjelaskan apa yang menimpaku. Ternyata aku dengan cerobohnya jatuh ke jurang saat berlarian mengejar capung dan kepalaku terantuk batu hingga tak sadarkan diri. Kusentuh belakang kepalaku dan mendapat tampikan dari wanita yang mengaku emakku itu.
"Kepalamu sudah ditempel bubuk tumbuhan dan jangan disentuh." Dasar emak-emak, tak bisa santai sedikit kalau mengomel. "Jadi benar kau tak mengingat apa pun?" Wanita paruh baya itu memastikan.
Aku mengangguk, membohongi wanita yang katanya emakku ini. Aku masih ingat siapa diriku, Renjana Maheswari yang dua bulan lagi ulang tahun untuk yang kesembilan belas dan seorang mahasiswa baru di Universitas Airlangga. Mengingatku yang sedang disibukkan kegiatan studi itu membuatku dongkol setengah mati. Aku tidak niat kuliah sama sekali sementara Bapak menuntut gelar sarjana pendidikan dariku.
"Namaku siapa? Nama Anda juga siapa?" tanyaku setelah terjadi keheningan beberapa saat.
"Kamu Nayaviva Citrakara, aku Lastri, sedangkan bapamu Kara Wardhana yang telah gugur di medan perang," jelasnya. Raut tegas yang tadi membingkai kini berganti jadi pilu. Kurasa ia belum merelakan suaminya.
Kuelus punggungnya memberi semangat. Nayaviva Citrakara, aku menyandang nama bagus ini sekarang. Aku baru sadar bahwa dari tadi berbicara memakai bahasa Jawa Kuno, dan aku tidak bisa mengucap bahasa asliku sendiri.
"Di mana ini?" tanyaku.
"Wilwatikta, masa pemerintahan Prabu Sri Rajasanagara," ungkap Emak, membuatku tercengang.
"Oh ya, ini ramuan yang kubuat. Kau harus menghabiskannya sekarang," lanjutnya, mengambil cairan hijau tadi.
"Dihabiskan?" Melihatnya saja aku sudah mual, bagaimana nasibku kalau meminumnya sampai kandas?
Emak mengangguk, aku terpaksa meneguk ramuan itu. Rasanya aneh, mampu membuat tenggorokanku terasa dicekik. Wanita dengan separuh surai beruban itu menyuruhku kembali beristirahat, walau banyak sekali pertanyaan yang bercokol di benakku.