Suasana ruang kelas yang semula terlihat tegang, perlahan mencair begitu bel sekolah berdering.
Satu kelas serempak berteriak penuh kegirangan, karena hari ini adalah hari terakhir UAS. Akhirnya mereka bisa menenangkan diri sebelum nilai hasil ujian keluar.
Ileana tengah berkutat pada lembar soal di depan matanya, langsung mengembuskan napas lega. Bersyukur bisa menyelesaikan tiap ujian dengan baik.
Gadis itu mengedarkan pandangan, melihat sekeliling. Betapa ramai ruangan di hari itu.
Selama ujian kelas Ileana dibagi menjadi 2 tempat, dicampur dengan kelas lain. Tapi yang pasti tidak seangkatan, sehingga dapat meminimalisir tindakan curang.
Tanpa sadar gadis itu ingin mengabadikan momen ini ke dalam sebuah foto. Agar semua kenangan dari senyuman siswa-siswi yang berhasil menyelesaikan ujian dengan baik, muka panik untuk mereka yang selalu bermalas-malasan, dan tentu saja pengawas yang tengah menjelaskan sesuatu tapi tidak didengarkan sedikitpun dapat terabadikan dengan sempurna.
Ini adalah vibes yang ingin Ileana abadikan, suasana kelas setelah ujian. Terlebih lagi, hari ini adalah ujian terakhir kakak kelas 12 yang akan segera lulus dari SMA Grand Stellar.
Gadis berambut hazelnut itu selalu ingat sesuatu. Sebuah kalimat yang pernah Ileana baca di suatu tempat.
“Jika kamu jatuh cinta dengan seniman, maka kamu akan abadi di dalam karyanya,” bisik Ileana. “Yah, keduanya hal yang berbeda sih. Tetapi setidaknya aku bisa membuat suasana kelas ini abadi di dalam kameraku.”
Tiba-tiba saja terbesit ide brilian. “Oh! Iya, juga! Kalau dijual gitu, kan lumayan, ya. Mungkin saja ada yang minat!” gumam sang gadis.
Sedangkan Naufal yang melihat Ileana tertawa-tawa sendiri, kembali mengkhawatirkan kondisi sepupunya. Takut kalau tiba-tiba gadis itu terdiagnosa oleh penyakit mental di umur yang masih terbilang muda.
Naufal semakin was-was ketika Ileana menghampiri meja guru pengawas dan membisikkan sesuatu. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya berharap gadis itu tidak akan melakukan hal-hal yang aneh.
“Untuk apa, sih, memangnya? Kan, nanti kakak kelas kamu akan foto-foto pas wisuda,” tanya sang ibu guru sambil membenarkan kacamata.
Ileana membujuk sambil tertawa cengengesan, “Aduh, Ibuku sayang! Masa Ibu tega, sih, murid-muridnya pulang dengan tangan kosong? Masa ibu tidak mau memori UAS terakhir mereka tidak diabadikan? Pasti mereka juga mau, Bu,” Ileana berusaha tersenyum semanis mungkin. Walau begitu, ia tidak bisa menutupi tawa kecil yang terasa canggung.
Tidak lama kemudian ada seorang kakak kelas yang mengacungkan tangannya. “Saya setuju, Bu! Kan masa SMA harus dikenang, masa kita tidak ada kenangan terakhir saat UAS, sih, Bu? Takutnya kalau udah lewat dari sini, kita tidak ada waktu ngumpul lagi. Waktu kan tidak bisa diulang kembali, Bu.”
Mendengar kalimat terakhir dari sang kakak kelas, sontak penghuni kelas itu ikut tertawa.
Melihat reaksi murid-muridnya yang begitu antusias, tentu saja sang ibu guru tidak bisa menolak.
“Ya sudah. Ambil yang bagus, ya, fotonya. Kalau sampai hasilnya jelek, Ibu remed ujian kamu,” canda guru pengawas ruang.
Ileana tertawa kikuk, “Tenang, Bu! Serahkan pada Neng Ileana! Pasti hasilnya no debate Bu!” Ileana bergegas memposisikan diri untuk mengambil gambar. “By the way, ini fotonya candid gitu, ya! Jadi kalau bisa jangan ada yang lihat kamera. Bersikap biasa, seolah tidak ada kamera. Kalian bisa ngobrol, bercanda, terserah deh… pokoknya jangan lihat sini. Nanti aku foto.”
Ketika semua sudah setuju, Ileana tidak perlu mengarahkan lagi. Apa yang diinginkan gadis itu adalah menangkap memori suasana ketika siswa-siswa SMA Grand Stellar berhasil menyelesaikan UAS. Itulah tujuan candid, tidak sadar akan adanya kamera sehingga terlihat lebih natural.
Setelah beberapa kali flash kamera menyala, Ileana langsung melihat hasil akhir foto tersebut. Sempurna, seperti yang gadis itu inginkan.
Di foto itu terlihat bagaimana suasana kelas yang ia inginkan. Melihat kakak kelas begitu menikmati hari ujian terakhir, lalu angkatan Ileana yang bergaul dengan anak kelas XII, dan sang ibu guru yang tengah bercaka[ dengan salah seorang gadis di meja paling depan. Kesimpulan, foto ini benar-benar pas. Kehangatan terasa sangat nyata, seolah foto yang Ileana tangkap adalah kenangan yang akan berjalan abadi sepanjang masa.
Bagi Ileana, foto pemandangan itu sudah terlalu biasa. Tapi interaksi manusia adalah hal yang paling dia sukai dalam pengambilan gambar. Karena tantangan sebenarnya terletak adalah bagaimana mengabadikan suatu momen hanya dalam waktu sepersekian detik.
Mungkin hanya gadis itu yang dapat merasakan kehangatan suatu momen dalam sebuah foto. Banyak cerita yang bisa disampaikan hanya dalam 1 bingkai. Belum lagi ketika kakak-kakak kelas ini mulai berpisah, mengambil jalan yang berbeda setelah lulus SMA. Foto ini pasti akan menjadi kisah tersendiri bagi mereka.
Tiba-tiba saja dada Ileana terasa hangat, namun ada rasa sakit yang merayap di sudut hati perempuan itu. Membayangkan tahun depan, ia juga berada di posisi ini. Dia tidak akan tahu sampai kapan akan terus memendam rasa suka ini.
Walau mungkin jawaban kegelisahan hati ini cukup sederhana. Kenangan memang bisa diabadikan melalui foto, tapi perasaan Ileana tidak bisa ia abadikan hanya melalui gambar semata. Perasaannya jauh lebih besar dan tidak bisa tergambarkan.
***
Di sore hari, setelah UAS usai. Naufal dan Ileana berjanji akan menunggu Kaivan selesai latihan ringan futsal di pinggir lapangan sembari menyerukan semangat. Mengingat setelah ini mereka bertiga harus berkumpul di kelas untuk rapat menetapkan kandidat Raja dan Ratu SMA Grand Stellar. Naufal dan Ileana sekalian menjemput Kaivan. Karena bila ia tidak ditunggu seperti ini, bisa-bisa laki-laki itu kembali setelah rapat usai.
Berhubung seleksi pertandingan futsal masih berlangsung seminggu lagi, anak-anak yang tergabung dalam ekskul futsal masih bisa merasakan keseruan pekan olahraga, setelah UAS berakhir. Jadi mereka yang dielu-elukan di XI-IPA 1 bisa ikut berpartisipasi dalam pekan olahraga.
Hari ini, tim futsal sudah kembali latihan setelah melewati minggu ujian yang terasa panjang.
Senyuman yang mereka pamerkan ketika mencetak gol, seakan-akan tertahan begitu lama karena ada ujian yang harus dilewati terlebih dahulu.
Apalagi jika melihat Kaivan sekarang. Sudah berkali-kali pemuda itu berteriak senang ketika dirinya berhasil mencetak gol. Bahkan sangking senangnya, tanpa sengaja ia melepas baju, mempertononkan otot-otot perut kokoh khas orang yang rajin melakukan aktivitas tubuh.
Ileana dan Naufal yang melihat kejadian itu hanya bisa menunduk malu.
‘Kalau ada yang bilang Kaivan itu paling normal, fix mereka salah besar! Mereka enggak tahu aja kalau justru dia yang paling abstrak!’ batin Ghazanvar bersaudara kompak.
Sadar ada kedua sahabatnya sedang menunggu sang pemuda, Kaivan melambaikan tangan senang.
Ileana dan Naufal tampak langsung mengalihkan pandangan. Mereka bersikap seolah tidak mengenal laki-laki bertelanjang dada yang telah melambaikan tangan sambil tersenyum lebar ke arah mereka.
***
Selama perjalanan menuju kelas, Ileana dan Naufal terus berkoar-koar kepada Kaivan agar tidak melakukan hal yang memalukan di depan umum.
“Ya, tapi kan. Orang main bola kalau seneng lepas baju, kok!” bela Kaivan sambil sedikit cemberut.
Ileana membalas sambil menyubit kedua pipi Kaivan. “Ya, tapi gak gitu juga. Kaiii! Kamu tuh sadar gak sih, tindakanmu itu bisa bikin cewek-cewek di sekolah pada pingsan, tahu!”
“Emwang kenapwa?” tanya Kaivan berusaha melepaskan cubitan Ileana.
Naufal memicingkan matanya, seolah memutar kilas balik kejadian apa saja yang ia lihat, setelah aksi Kaivan membuka pakaian. “Kamu seharusnya lihat reaksi anak perempuan yang berdiri di tepi lapangan. Mereka langsung berteriak histeris, seolah habis memenangkan hadiah utama lotre ternama,” balas Naufal mewakili Ileana yang masih mengeluarkan unek-unek.
‘Ah!’ Seakan baru sadar kalau dirinya memang tampan, Kaivan mengangguk sebelum akhirnya menggeleng tidak setuju.
“Enggak juga, ah! Aku biasa aja,” ujar Kaivan sedikit insecure.
Pemuda berambut hitam itu selalu mengingat perempuan yang disuka lebih hebat dari dirinya.
Lorong sekolah dipenuhi dengan anak-anak yang sedang mempersiapkan acara Pekan Olahraga di minggu depan.
Beberapa anak OSIS tampaknya sudah mulai membeli dan membuat dekorasi untuk acara tersebut.
Salah satu kelas dari tahun pertama tengah berkumpul di lapangan, melakukan seleksi untuk perlombaan yang akan mereka ikuti.
Lalu, ada juga yang tengah mempersiapkan diri untuk dipilih Raja dan Ratu Grand Stellar siapa lagi kalau bukan Kyla. Gadis itu langsung menatap sinis ketika memergoki Ileana yang tidak sengaja melihatnya.
Padahal minggu lalu, lorong sekolah terasa sangat sunyi. Hanya ada suara pengawas yang berjaga di depan kelas. Tetapi, hari ini suasana kembali mencair, bahkan lebih meriah dari yang sebelumnya.
Pintu kelas XI-IPA terbuka. Ileana, Kaivan, dan Naufal disambut oleh anak-anak kelas yang tengah mendiskusikan kandidat Raja dan Ratu Grand Stellar.
Lavina terus-terusan menyerukan namanya dan Naufal dengan suara yang dibikin terdengar imut.
Shock ketika mendengar gagasan Lavina. Naufal langsung menentang ide tersebut dengan tegas.
Tahun lalu, Raja dan Ratu Grand Stellar jatuh kepada Kyla dan Rafan. Tentu saja, mereka berdua terlihat sangat serasi. Kyla yang menjadi dambaan semua pemuda dan Rafan yang menjadi impian semua gadis di SMA Grand Stellar.
Setelah tiga sahabat bergaung ke dalam percakapan, diskusi kembali ramai, membicarakan siapa yang akan menjadi kandidat acara penutupan bergengsi ini.
Ada yang berkata, tahun ini ajukan Rafan saja lagi. Tapi ditolak mentah-mentah karena mereka ingin variasi lain. Lavina masih keras kepala dengan keinginannya mengajukan diri bersama Naufal walau sudah jelas pemuda itu menolak keras.
“Wah, syukurlah tahun ini aku tetep nyorot acara nanti. Jadi aku gak usah ikut lomba, deh,” celetuk Ileana seraya mengelus dadanya lega.
Kaivan yang mendengar hal itu seketika gatal. Dia ingat sekali kalau Ileana tidak pernah ikut kegiatan kelas apapun, gadis itu selalu beralasan kalau ada klub jurnalistik yang harus diurus.
Tidak, tidak boleh begini. Sebagai sahabat yang baik, Kaivan harus menarik sang sahabat keluar dari zona nyaman. Jika tidak … rasa bersalah akan terus menghantui dan menyesal membiarkan Ileana begini-begini saja.
“Aku mau usul Ileana! Dia belum ikut kegiatan apapun nih!” seru Kaivan.
Sontak mendengar namanya disebut, Ileana segera menyanggah, “Enggak! Aku kan anak Jurnalistik! Pasti banyak yang harus aku kerjain, tahu!”
Kaivan memegang kedua bahu Ileana dari belakang sambil tersenyum sumringah. “Gini, ya, Ibu fotografer. Kan penetapan Raja dan Ratu SMA Grand Stellar itu di penutup acara. Jadi, kamu pasti bisa lah ikut!” bujuk sang sahabat.
“Terus, masa cuman aku sendirian!?” protes Ileana.
Winola langsung menepuk tangannya, mendapatkan sebuah ide. “Kamu sama Kaivan, gimana?”
Mendengar usulan Winola, Kaivan mengangguk semangat. “Tuh! Aku sama kamu, Na! Masa iya kamu menolak sih! Ya, mungkin kalau malu, kamu gak malu sendiri,” bujuk Kaivan lagi.
“Ayo yang lain, siapa yang setuju Ileana, angkat tangan!” seru Winola.
“Nanti kan kita bisa minta foto gratis kalau Ileana menang,” tambah Winola sambil terkekeh licik.
Seketika keadaan kelas langsung menjadi sangat ramai. Banyak dari mereka yang setuju dengan ikutnya Ileana ke pemilihan Raja-Ratu Grand Stellar, ditambah lagi Ileana memang pantas ikut.
“Enak aja, kok kalian setuju sih! Kenapa gak pilih aku sama Naufal aja!!” protes Lavina mengembungkan pipinya.
Kesal karena Lavina yang masih keras kepala, Naufal menentang dengan keras, “Gak mau! Ah, susah banget sih kamu dibilangin. Mana sudi aku ikut-ikut acara gak jelas kayak gini, mending main sudoku! Udah, Kaivan sama Ileana aja!”
Mendengar jawaban dari Naufal, seketika anak-anak kelas XI-IPA 1 bersorak-sorai. Apalagi Kaivan dan Winola yang bekerja sama untuk menaikkan nama Ileana, akhirnya berhasil. Di lain sisi, Lavina langsung keluar kelas, mengambek namanya dan Naufal tidak diikuti.
Tidak bisa mengelak lagi, Ileana hanya bisa tertawa kikuk seraya bertanya-tanya apakah dia bisa memenangkan pemilihan ini.
Tatapannya seketika teralihkan ke arah Rafan yang ikut menyemangati. Degup jantung Ileana menjad tidak karuan, pengelihatan gadis seketika berbayang-bayang.
“Semangat, Ileana!” seru Rafan.
Ileana langsung mengangkat tangan kanannya ke atas lalu berseru, “Oke, deal! Aku ikut!”
Penghuni kelas langsung bersorak kencang setelah mendengar Ileana antusias mengikuti penutupan Pekan Olahraga yang bergengsi.
Kedua bibirnya melengkung, diikuti tatapan membara. Jauh di dalam hati, Ileana berteriak senang begitu melihat Rafan menyemangati dirinya.
seakan tersambar petir di siang hari, Ileana baru saja sadar kalau Rafan akan menontonnya dari bawah panggung. Benar kata Kaivan, setidaknya gadis itu tidak akan malu sendiri kalau maju nanti.