Jam istirahat pertama sudah tiba. Setiap murid yang sudah menyelesaikan ujian diperbolehkan keluar, menikmati waktu senggang sebelum kembali mengerjakan soal.
Kantin di siang hari itu ramai seketika. Bahkan bangku-bangku yang biasa diduduki satu sampai dua orang saja, kini penuh sampai tidak menyisakan tempat.
Sambil membawa chicken katsu dan salad caesar kesukaannya, Kyla berjalan menuju gengnya yang kelihatan sedang asyik membicarakan sesuatu.
Namanya Kyla Jamin, seorang model sekaligus selebgram. Gadis yang paling hits di SMA Grand Stellar. Bagaikan putri salju, rambut hitam dan kulit seputih susu selalu menjadi sorotan dimana-mana. Apalagi mata yang tampak lebar, selalu terlihat berkilauan, semakin menambah kesan cheerful.
Tidak hanya fisiknya yang oke, tapi selera fashion-nya juga sangat baik. Kyla dapat merubah baju sesimpel apa pun jadi terlihat modis dan trendy. Tentu saja, karena dia model. Aneh kalau dia malah berpenampilan biasa-biasa saja.
Ketika Kyla tiba di meja yang telah diisi oleh ketiga temannya, mereka dengan riang langsung menyapa Kyla.
Ada Lavina Winston, gadis berwajah imut yang tidak pernah ketinggalan trend ala gadis-gadis Korea Selatan yang cantik, sekaligus menggemaskan. Di sebelah Lavina ada Winola Ming, gadis mamba yang terlihat siap menerkam siapa pun. Terakhir, teman sekelas Kyla, yaitu Gyuri Parwez. Gadis dengan aura paling seksi di antara mereka berempat.
Pertemanan mereka berempat seperti bukan pertemanan antar murid biasa. Tetapi condongnya ke arah pertemuan antar dewi.
Hal itu bisa dilihat dari tiap keempat sahabat itu berkumpul, rasanya murid-murid lain hanya seperti menumpang di dunia mereka.
“Hi, girls! Gimana nih ujian hari pertama?” tanya Kyla sambil membuka kotak bekalnya.
“Lumayan, lah! Tapi nyebelin banget, deh! Aku dapet paket soalnya yang susah, huh!” keluh Lavina.
Winola yang semula sedang asyik mengaduk es kopinya, langsung mengalihkan pandangan ke Lavina. “Jangan kebanyakan ngeluh, nanti Naufal gak suka loh sama kamu. Cowok jenius kayak dia biasanya punya standar tinggi,” ujar Winola.
Gyuri mengangguk setuju dengan ucapan Winola. “Lagian, suka kok sama cowok jenius. Suka tuh sama cowok yang atletis kayak Kaivan, hehe!” tawa gadis itu sambil membayangkan Kaivan yang tengah bertanding sepak bola.
“Ih! Stop bilang gitu! Naufal tuh lucu apa adanya tahu! Apalagi kalau aku bisa memenuhi trope si imut dan si jenius. Pasti seru banget, kan? Kayak di drama-drama Korea gitu!” bela Lavina.
Winola yang duduk di samping Lavina hanya bisa menggeleng-geleng lelah. Ia selalu bertanya-tanya kapan sahabatnya itu berhenti berhalusinasi dengan skenario-skenario palsu nan bodoh.
Melihat percakapan ketiga temannya, Kyla tertawa. “Aku setuju sama yang dibilang Gyuri, tapi Lavina ada benarnya. Yah, kalau aku sih lebih memilih cowok yang bisa keduanya.”
Winola mengangguk sambil tersenyum simpul, “Maksud kamu, Rafan, kan? Cowok yang hampir jadi Gary Stu kalau saja dia terampil dalam segala hal.”
Mendengar nama Rafan disebut oleh Winola, kedua pipi Kyla menghangat seketika.
“Ohh, tapi kalau dia sama Kyla emang cocok banget sih! Kayak pas aja gitu! Match Made from Heaven banget!” sanjung Lavina.
Semakin Kyla dipuji, di jodoh-jodohkan dengan Rafan, semakin gadis itu besar kepala. Tetapi dirinya sadar kalau ia harus tetap terlihat rendah diri. Siapa tahu pembicaraan hari ini sampai ke telinga Rafan suatu saat nanti.
Pokoknya, Rafan harus tahu kalau Kyla adalah orang yang baik. Tidak boleh tidak. Hanya Kyla yang bisa dan berhak untuk mendapatkan Rafan. Sisanya akan ia tepis jauh-jauh dengan tangan kosong.
“Eh, eh. Kalian tahu gak sih? Kayaknya Kyla bakal ada saingan, nih. Siap-siap aja, Kyl,” kata Winola sambil menikmati santapannya.
Lavina mengangguk setuju, “Eh, iya, loh. Kayaknya ada yang mau nyerempet kamu deh, Kyla. Tunjukin, La. Kalau cuman kamu yang pantes sama Rafan!”
Kyla hanya tertawa kecil setelah mendengar peringatan dari kedua sahabatnya. “Waduh, aduh. Bagaimana bisa, coba? Emang siapa sih?” tanya Kyla.
Serempak Lavina dan Winola menjawab pertanyaan Kyla, “Ileana.”
Hawa sang ketua geng berubah seketika. Bibir mungil indah itu masih tersenyum, tapi entah kenapa perasaan tidak enak menyelimuti sekitar mereka.
“Ileana Ghazanvar? Si fotografer centil dari klub jurnalistik itu?” tanya Kyla memastikan.
Lavina mengangguk penuh semangat, membenarkan pertanyaan Kyla.
“Tapi itu baru praduga aja sih Kyl, bener atau enggaknya belum terlihat jelas.” Lanjut Winola.
“Bener, kok kayaknya. Tadi aku lihat Ileana salting gak jelas gitu habis pinjam penggaris pas jam ujian Fisika,” balas Lavina yang tampak bersemangat memulai cerita. “Kamu ingat kan, Winola. Tadi pas mau ke kantin, kamu cerita ke aku kalau Ileana masuk ke ruang ujianmu buat pinjam penggaris?”
Winola mengangguk membenarkan.
Sementara Kyla dan Gyuri tersentak. Mereka tekejut dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“Serius!?” Keduanya dibuat terkejut dengan apa yang mereka dengar barusan.
Lavina mendengus kecil, membalas dengan nada yang sedikit kesal, “Iyalah, wajar kalau kalian gak tahu, kalian kan gak sekelas, apalagi satu ruang ujian sama mereka. Yang lihat cuma aku sama Winola,” tambah Lavina.
“Tapi kalau aku lihat-lihat si Ileana itu tuh agak centil. Dia tipe pick me girl gitu, ya?” ujar Kyla.
“Semua cowok aja dipepetin. Mana hobi banget nempel sama Naufal lagi! Ya... aku tahu sih kalau mereka sepupuan, tapi kayak deketnya tuh gak wajar aja gitu, loh!” cibir Lavina.
Gyuri mengangguk, lalu menyilangkan tangannya kesal, “Setuju banget, Ileana juga nempel terus sama Kaivan. Pulang pergi bareng Kaivan, apa-apa sama Kaivan. Kayak tuman tuh anak. Ketergantungan banget sih dia sama Kaivan.”
“Real min, kalau ada tropi buat cewek paling centil yang suka embat semua orang, bakal aku kasih ke Ileana langsung tanpa ba-bi-bu,” tambah Lavina diikuti anggukan Gyuri.
Belum sempat Kyla menimbrung lebih lanjut, tiba-tiba saja seseorang dari belakang mereka membalas cibiran dari kedua sahabatnya.
“Kalau Ileana Pick me, kecentilan, kalian apa dong?” tanya Naufal. “Jangan kalian kira, aku tuli, ya.”
Lavina yang sadar kalau selama ini Naufal mendengar percakapan mereka, ia seketika tergagap. Lavina mencoba menjelaskan apa yang baru saja pemuda itu dengar, tetapi semua penjelasan itu ditepis oleh Naufal.
“Kalian kalau masih punya otak tuh dipakai baik-baik. Jangan hanya dipergunakan untuk mengolah kalimat berupa ujaran kebencian, hanya karena orang yang kalian suka itu terlihat dekat dengan orang lain. Kalian pikir, dunia hanya berisi kalian dan keinginan kalian yang harus terwujud?” cecar Naufal. “Daripada sibuk mengurusi penampilan semata, coba kalian pikirkan cara meng-upgrade otak. Supaya otak kalian tuh bisa lebih berguna.”
Naufal mengalihkan pandangannya pada Lavina, “Atau minimal cari tahu dulu lah, hubungan aku, Kaivan, dan Ileana. Jangan asal cerocos aja. Wajarlah kalau Ileana dekat dengan aku dan Kaivan. Kami itu teman lama, bahkan sebelum masuk sekolah ini. Aku tidak habis pikir, apa isi pikiran kalian yang sedikit-dikit cowok, cowok, cowok. Kayak gak punya kehidupan lain aja sampai orang lain diurusin juga.”
Tidak kuasa mendengar omongan jahat dari pemuda yang Lavina taksir, ia langsung menunduk sedih. Bertanya-tanya mengapa Naufal memarahinya sekeras itu. Padahal Naufal harusnya mengerti apa yang Lavina maksud, alih-alih malah marah seperti ini.
Ileana yang melihat Naufal sedang memarahi kumpulan gadis hits di sekolah, ingin segera mendatangi mereka dan meminta maaf atas perlakuan dan omongan Naufal yang menyakiti hati. Ditambah lagi, melihat Lavina yang sudah tertunduk sedih, membuat Ileana semakin yakin kalau kata-kata yang Naufal keluarkan itu benar-benar membuat sakit hati.
Alih-alih menghampiri Naufal dan memarahinya. Kaivan malah datang, lalu menarik Ileana pergi menjauh.
“Biarin aja, biar mereka sadar kalau yang mereka lakukan itu salah,” geram Kaivan.
Tetapi tetap saja, apa yang dilakukan Kaivan dan Naufal tidak akan memperbaiki suasana. Justru malah memperburuk keadaan ke depan.
Akhirnya Ileana hanya bisa pasrah mengikuti ke mana Kaivan akan membawanya.