"Mau jajan, nggak?" Reza mengajakku ke kantin begitu bel istirahat berbunyi dan guru meninggalkan kelas.
Menutup buku, aku menggeleng. "Aku bawa bekal."
"Aku nggak dibawain?" tanya Reza murung.
"Emang kamu belum makan?" sahutku.
Biasanya aku membuat dua bekal setiap hari, jaga-jaga kalau Reza belum sarapan. Tapi kemarin Ibu memberikan makanan lebihan dari pesanan katering pada Reza, Masnyur, dan Beni. Seharian kemarin juga mereka main di rumah Reza dan membeli banyak camilan. Jadi kukira ia punya banyak stok makanan di rumah.
"Udah, sih. Tumbenan aja kamu nggak bawa bekal lebih." gumam Reza. "Ya udah, mau nitip sesuatu dari kantin?"
"Za, hayu keburu penuh!" Beni berseru dari daun pintu.
"Nggak, Za. Sok kamu aja jajan sana."
"Oke," ujar Reza lalu meninggalkanku.
Begitu Reza pergi, aku mengecek ponsel. Selama pelajaran berlangsung, diam-diam aku mengecek ponselku untuk melihat balasan dari Ale. Untung saja Bu Suryati tidak memperhatikanku dan fokus pada laptop setelah memberikan kami tugas.
Sejak kemarin, kami tidak berhenti saling mengirim pesan. Kecuali saat tidur dan saat Ale menyetir. Katanya ia mau mengantar ibunya pergi belanja. Hari ini, ia bilang terlambat masuk sekolah karena bangun kesiangan dan menyalahkanku karena tidak membangunkannya. Hal itu membuatku tersipu dan salah tingkah sendiri.
Ale: lagi istirahat ya? jajan apa?
Winda: *foto bekal* aku bawa bekal
Ale: *foto bakso* baso di sini paling enak satu sekolah. kapan2 kamu harus coba.
Winda: kan aku ga sekolah di sana?
Ale: ya gapapa. nanti aku yang ajak ke sini
Winda: emang boleh?
Ale: buat kamu, apa sih yang ga boleh
Salah tingkah. Lagi.
Aku lupa kapan terakhir kali sering intens chattingan dengan cowok selain Reza. Rasa-rasanya waktu SMP. Itu juga hanya berlangsung beberapa minggu dan malu-malu.
"Hayo kalau senyum-senyum gini pasti lagi chattingan sama cowok nih!" Dika tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku, membuatku terperanjat.
"Ih, bikin kaget aja!" aku menggerutu. Dengan cepat aku menyimpan ponsel ke dalam saku. "Kamu nggak ikut ke kantin?"
Dika menggeleng. "Dibawain bekel lah," ujarnya sumringah sambil memamerkan kotak bekal transparan yang isinya nasi goreng.
Aku mencibir. "Cewek yang mana nih yang bawain bekal hari ini?"
"Cewek yang bekalnya ditolak Reza." jawab Dika datar.
Hah?
Melihat kebingunganku, Dika berkata lagi. "Kamu memangnya nggak tahu kalau cewek-cewek banyak yang rela bikinin Reza bekal supaya dapet perhatian dia?"
"Iya gitu? Kukira memang mereka bawa bekal sengaja buat geng kalian."
"Ya engga lah. Cuma bekal kamu aja yang mau Reza makan. Jadi sisanya dikasih ke kita-kita, deh." jelas Dika.
Aku kehabisan kata-kata. Sejujurnya aku tidak pernah punya niatan mencari perhatian Reza atau membuat cewek-cewek lain kecewa karena usaha mereka ditolak. Kukira para cewek itu memang sengaja memberikan makanan pada geng Reza agar bisa menjadi populer atau setidaknya dikenali oleh para cowok populer itu. Tapi aku tidak tahu kalau sebenarnya mereka hanya memberikan perhatian kepada Reza.
"Hari ini dia uring-uringan tuh nggak dibawain makanan sama kamu."
"Ah masa sih?" tanyaku menyembunyikan rasa tidak nyaman.
Dika menghela nafas. Ia menggerutu. "Kamu ini pura-pura polos atau emang beneran nggak tahu, sih? Si Reza tuh sukanya sama kamu!"
"Nggak mungkin, ah! Itu mah karena kita temenan udah lama aja." aku berkilah.
Masih banyak cewek-cewek lebih cantik dan modis daripada aku di sekolah. Reza bisa dengan mudah memilih mereka. Kalau aku sih tidak mungkin masuk ke dalam radar Reza. Lagipula kita berteman sejak kecil. Wajar kalau Reza merasa dekat denganku dan memberiku perhatian lebih. Apalagi kita sekarang tetangga.
"Ya sudah kalau belum mau percaya." Dika mengalah.
Tidak lama, Reza, Mansyur, dan Beni kembali ke kelas. Begitu mataku dan Reza bertemu, ia menghampiri mejaku dan memberikan seporsi dimsum. Bisa kurasakan Dika berjalan mundur satu langkah dan menepuk bahuku.
"Teh Yeni jualan dimsum lagi, nih. Kamu 'kan kemarin-kemarin nanyain. Katanya anaknya sakit jadi beberapa hari kemarin nggak jualan."
Bisa kurasakan Dika berdeham di belakangku.
Aku mulai cemas kalau yang Dika katakan benar. Tapi sebagian diriku masih denial karena aku tahu Reza bahkan sejak kami kecil.
****
Keningku berkerut saat melihat mobil mewah asing terparkir di depan rumah. Aku tidak tahu merek mobilnya, tapi kupikir itu pasti pelanggan Ibu yang memesan katering. Setelah memberikan helm kepada pengemudi ojol, aku berterima kasih lalu masuk ke dalam rumah. Hari ini Reza latihan futsal dan aku tidak ada jadwal teater. Maka dari itu aku pulang duluan karena tidak mau menunggu Reza sampai sore.
Masuk ke dalam rumah, aku melihat seorang wanita cantik duduk di ruang tamu. Mungkin seumuran dengan Ibuku. Hanya saja tampilannya begitu modis dan sangat memperlihatkan kalau beliau ini orang berada. Di sampingnya ada seorang laki-laki yang sepertinya masih muda....eh tunggu dulu.
"Winda?"
"Ale?" tanyaku dan cowok itu bersamaan.
"Jangan bilang aku pesen katering di Ibu kamu?"
Wanita di samping Ale menyahut. "Kalian saling kenal?"
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk sementara Ale menjawab. "Dia yang bantuin aku cariin handphone-ku kemarin, Ma."
Jadi wanita ini Mama Ale.
"Saya Winda, Tante." aku menghampiri Mama Ale lalu mencium tangannya.
Tidak lama, Ibu datang dari dalam rumah membawa katalog yang pernah aku buatkan untuk melihat menu-menu masakan. Begitu melihatku sudah pulang, Ibu bertanya. "Nggak pulang sama Reza?"
Mencium tangan Ibu, aku menjawab. "Dia latihan futsal."
"Reza anak Taruna? Kamu sekolah di Taruna juga?"
"Kamu kenal Reza?" tanyaku pada Ale.
Ale menggeleng. "Engga, cuma pernah ketemu waktu tanding futsal aja."
"Oh," responku singkat.
Begitu Ibu dan Mama Ale berdiskusi tentang menu makanan, aku izin pergi ke kamar untuk mengganti baju. Saat sedang di kamar, ponselku berbunyi singkat.
Ale: boleh minta tolong ga?
Winda: apa?
Ale: temenin di luar dong. aku bingung sendirian di teras. tau rumahmu di sini, aku jemput tadi biar pulang bareng.
Lagi-lagi pipiku memanas. Segera saja aku mengganti baju dengan baju yang lebih rapi. Biasanya aku hanya memakai kaus dan celana belel. Tapi entah kenapa kali ini aku memilih pakaian yang biasa aku pakai untuk pergi. Kulihat cermin untuk memastikan wajahku tidak belepotan oleh minyak dan debu kendaraan.
Saat keluar kamar, kulihat Ibu dan Mama Ale masih mengobrol. Aku membungkukan badan lalu berjalan ke teras. Ale sedang duduk di kursi rotan yang ada di luar sambil bermain ponsel.
"Kamu sekolah di Bina Bakti?" tanyaku sambil memperhatikan seragam merah-abu khas sekolah tersebut.
Ale mengangguk. "Ya, kelas dua belas."
"Berarti kita seangkatan juga ya."
Aku duduk di kursi kosong di samping Ale. "Kok bisa sampai pesan nasi di Ibuku? Kukira mau pesan lewat aku."
"Niat awalnya sih begitu. Tadinya juga aku masih mau pesan di kamu kok untuk hari Jumat. Daerah rumahku suka ngadain Jumat Berkah. Aku suka ikutan. Tapi ibuku bilang temennya kasih rekomendasi katering daerah sini. Katanya enak, terus murah lagi. Yaudah aku mau ngecek dulu. Eh ternyata memang kita jodoh." jelas Ale.
Tahan! Jangan salah tingkah dan bikin ilfeel! batinku memperingatkan.
"Jadi kamu pesan buat hari Jumat, nih?"
Ale mengangguk. "Kalau buat aku hari Jumat. Tapi Mama mau pesan untuk acara arisan hari Sabtu."
"Wah, lembur nih aku." gumamku bercanda.
Tiba-tiba Ale melihatku dengan tatapan kecewa. "Kalau gitu nggak bisa ajak kamu main dong ya malem Minggu?"
Deg.
Aku hanya tersenyum kecil. Dalam hati, aku sangat ingin pergi dengan Ale. Tapi aku tahu pasti harus membantu Ibu. Biasanya kalau Reza sih memilih menghabiskan waktu di rumah sambil sesekali membantu aku bekerja kalau akhir pekanku sibuk dengan pesanan. Tapi masa iya aku meminta Ale melakukan hal sama? Gimana kalau Reza tahu?
"Kamu tahu nggak alasan sekolah kita musuhan?" tanyaku tiba-tiba. Tapi Reza tidak pernah memberi jawaban memuaskan selain sudah tradisi turun-temurun.
Kulihat Ale terdiam, seperti keberatan untuk menjawab. Mungkin ia juga akan mengatakan hal yang sama seperti Reza?
"Setahuku, memang banyak masalah antara murid di sekolah kita. Semuanya bertumpuk-tumpuk sampai akhirnya sering terjadi percekcokan bahkan adu fisik." jawab Ale.
"Masalah apa aja?"
Ale terkekeh. "Kamu penasaran banget. Biasanya anak kelas dua belas udah tahu beberapa masalahnya."
"Aku baru pindah ke sini." jawabku datar.
"Oh, pantesan." Ale menyahut. Kemudian ia bicara lagi. "Ya biasa masalah tongkrongan. Kadang juga masalah cewek."
Aku tertawa singkat. "Dasar cowok."
"Eh, cewek juga sama aja! Rebutan cowok!" Ale berkilah.
"Jangan-jangan kamu juga pernah lagi?" tanyaku bercanda.
"Tergantung," jawab Ale tidak tentu.
Aku memperhatikan wajah Ale dengan keheranan. "Kok tergantung?"
Diam sejenak, seperti sengaja membuatku pensaran. Kemudian Ale berkata, "Tergantung dari Reza itu pacarmu atau bukan. Kalau Reza pacar kamu, berarti aku juga bakal rebutan cewek sama anak Taruna."
Aku yakin Ale pasti menyadari wajahku yang sudah memerah sekarang. Duh, kenapa sih aku ini?! ***