Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Alpha
MENU
About Us  

      "Ale, maaf aku nggak bisa ngobrol. Nanti aku telepon lagi, ya." ujarku berbisik begitu berada di luar kamar Reza. Aku tidak tahu pasti mengapa aku harus berbisik dan menyudahi obrolan dengan Ale yang bahkan belum dimulai. Kurasa sebagian diriku tidak ingin ketiga laki-laki di dalam kamar tahu tentang hal ini, terutama Reza.

      Setelah memutus sambungan, aku kembali ke kamar. Saat itu juga Reza melirik ke arahku dan tiba-tiba aku menelan ludah dengan susah payah.

       Kali ini mata Reza lurus menatapku dengan sedikit memicing. "Siapa sih yang nelepon sampai harus keluar segala. Gebetan kamu ya?"

       Meski darah dalam diriku mengalir deras, aku mencoba tetap memasang wajah tenang. "Ih, posesif amat? Cemburu, ya?"

       "Emang!" timpal Beni yang masih bermain playstation. Seketika itu juga Reza memukul Beni dengan bantal, membuatnya kehilangan fokus pada permainan yang menyebabkan Mansyur berhasil mencetak gol.

       "Euh! Pikasebeleun maneh, Za!" gerutu Beni.

       Melirik arloji, aku memilih berpamitan kepada ketiga temanku. Meski Reza masih menahanku pergi dengan berbagai alasan, aku menolak karena harus membantu Ibu esok hari. Biasanya tiap akhir pekan pesanan Ibu akan lebih banyak entah itu untuk arisan atau syukuran, atau family gathering.  

       Sampai di dalam rumah, lampu ruang tamu dan ruang tengah sudah mati. Ayah juga sudah masuk ke dalam kamar. Padahal jam menunjukkan masih pukul sembilan malam. Mungkin kedua orang tuaku kelelahan.

       Setelah membersihkan wajah dan badan, aku beralih ke kamar dan mengganti baju. Begitu selesai dengan ritual malam hariku, pikiranku kembali kepada Ale. Haruskah aku menghubunginya kembali? Atau mungkin Ale hanya ingin memberitahu kalau ponselnya sudah ketemu.

       Bimbang beberapa saat, akhirnya aku mengikuti instingku. Perutku serasa diremas begitu aku mengetik di chat room Whatsapp Ale. Aku bahkan belum menyimpan nomor teleponnya.

       Winda: Maaf, tadi masih ada kerjaan. Syukur deh kalau hapenya ga ilang.

        Dengan jantung yang berdebar dua kali lipat dan nafasku yang mendadak berat, aku menekan ikon pesawat di layar. Seketika aku melempar ponsel ke kasur dan mencengkram kuat bantalku.

       Aku kenapa sih? Kok jadi degdegan begini cuma ngirim pesan doang?

       Lalu pikiran-pikiran burukku mulai menyerang. Gimana kalau Ale tidak membalas? Gimana kalau Ale sebenarnya cuma basa-basi aja? Ih, malu banget kalau sampai Ale tidak merespon.

       Lima menit, sepuluh menit, tidak ada jawaban dari Ale. Dalam hatiku semakin yakin kalau Ale hanya basa-basi saja memberitahu padaku. Tuh kan!

       Lelah menunggu, aku akhirnya terlelap tanpa sadar dengan masih memegang ponsel di tanganku.

                                                                                                             ****

        Begitu mataku terbuka sepenuhnya, ingatan tentang semalam langsung memenuhi kepalaku. Dengan gerakan cepat aku mencari ponsel yang tertimbun di antara tumpukan bantal dan selimut. Begitu menemukan benda itu, tanganku otomatis mengecek notifikasi. Ada dua notifikasi di aplikasi Whatsapp-ku.

        Reza: Mau jalan2 ga besok? ngopi kayanya enak.

        Aku membalas kepada Reza.

        Winda: Ibu banyak pesenan. Kamu ke rumah aja, ngopi di sini.

        Pesan selanjutnya dari Ale. Oh, dia membalas pesanku!

       Ale: Kamu kerja apa? kaya part-time gitu ya?

        Aku tidak mengerti mengapa senyumku mengembang dengan sendirinya. Jari-jariku mengetik beberapa kata lalu dengan cepat menghapusnya lagi. Duh, balas apa ya?

       Setelah beberapa lama memikirkan balasan, aku akhirnya mengetik:

       Winda: Bantu ibuku. Ibuku punya usaha katering rumahan.

       Tidak lagi memperhatikan ponsel, aku bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi. Di dapur kulihat Ibu sudah sibuk dengan bahan makanan.

       "Sarapan dulu! Terus abis itu potongin timun buat lalap."

       Aku mengangguk. Setelah dari kamar mandi, aku duduk di meja makan dan menyiuk nasi goreng yang sudah dibuatkan Ibu. Asapnya masih mengepul begitu aku mengambil satu siukan. Aroma nasi goreng yang harum memenuhi hidungku.

       "Reza udah bangun belum? Telepon gih! Suruh sarapan di sini."

        Sambil menyuap sendok berisi nasi goreng, aku menjawab. "Reza jam segini mana mungkin udah bangun. Apalagi semalem abis begadang sama Beni sama Mansyur."

        "Coba aja telepon dulu." titah Ibu.

        Huh, dasar anak kesayangan. Bisa-bisa namaku di KK sebentar lagi tergeser Reza, nih.

       Sambil makan, aku menelepon Reza. Hampir saja sambungan telepon terputus, tiba-tiba Reza menjawab.

       "Halo?" suaranya serak. Aku yakin di ujung sana matanya masih terpejam.

        "Disuruh sarapan sama Ibu." gumamku sambil mengunyah.

       "Oh, oke." sahutnya tidak jelas. "Nanti aku ke sana. Boleh bawa Mansyur sama Beni, nggak?"

       Aku melirik porsi nasi goreng di wadah nasi. Kayanya nggak akan cukup sih buat mereka bertiga. Tapi pasti ada nasi lebihan dari menu katering.

       Sebelum menjawab, aku bertanya kepada Ibu. "Mansyur sama Beni boleh ke sini juga? Kayaknya mereka nginep di rumah Reza."

       "Ya boleh, dong. Nanti Ibu bikin lagi aja nasi gorengnya. Masih banyak nih nasinya." sahut Ibu.

       "Boleh."

       Hampir dua puluh menit kemudian, ketiga cowok itu masuk ke dalam rumahku. Wajah Reza sudah lebih segar dengan ujung rambut yang basah. Sementara Mansyur dan Beni masih bermuka bantal. Beni bahkan masih setengah terpejam saat masuk.

       "Pada tidur jam berapa, sih? Jam segini masih pada ngantuk!"

       "Nggak apa-apa atuh, Win. Da nggak sekolah. Nggak akan dimarahin Pak Surya." sahut Beni sambil duduk, lalu menopang dagu. Matanya setengah terbuka.

       Aku yang sudah sejak tadi membantu Ibu di meja makan menepis tangan yang menopang dagu Beni hingga cowok itu terbentur ke meja. "Tetep aja, mau libur nggak libur juga harus bangun pagi!" seruku lalu kembali memotong timun untuk lalapan.

       Tidak lama, Ibu datang membawa wadah besar berisi nasi goreng yang baru saja dibuat. Seketika mata ketiga cowok di hadapanku terbuka dan duduk dengan posisi tegak.

       "Ya Allah wangi amat ini nasi goreng, Bu." Mansyur mendecak. "Perut saya langsung bunyi ini."

       "Sok, pada makan. Abisin aja ya jangan disisain." Ibu terkekeh.

       Melihat ketiga temanku langsung menyiuk nasi bahkan hingga berebut, aku hanya bisa tertawa sambil menggeleng. Tingkah mereka seperti belum pernah melihat makanan seumur hidupnya. Begitu juga saat makan. Sangat lahap seperti yang kelaparan.

      Tiba-tiba ponselku berdenting singkat. Secepat kilat aku mengeceknya. Ternyata Ale membalas.

      Ale: Kapan2 aku boleh pesen ya?

     Entah mengapa jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Dengan waspada, aku memperhatikan ketiga laki-laki yang masih lahap makan di hadapanku. Aku tidak mau mereka menyadari tingkah laku-ku yang sedang salah tingkah.

     Aku membalas.

     Winda: Boleh. Minimal H-3 ya.

     Kali ini Ale membalas langsung.

     Ale: Kalau chattingan sama kamu gak harus cuma pas mau pesen aja kan ya?

     Duh, kali ini pipiku terasa memanas. Aku memegangi pipiku.

      "Chattingan sama siapa, sih?!" Reza melihat ke arahku dengan tatapan curiga.

      "Kepo, ih!" cibirku sebisa mungkin menyembunyikan wajahku yang sekarang pasti sudah merah.

      Beni menimpali. "Kepo atuh, Win! Semaleman juga Reza penasaran siapa yang nelepon kamu."

      Syukurlah Beni bersuara. Kini fokus Reza beralih ke Beni. Ditambah Masnyur juga jadi ikutan menimpali mereka. Aku kembali fokus ke ponselku.

     Winda: Boleh dong:)

     Kirim.

     Sedetik kemudian aku jadi menyesal. Kenapa harus pakai emoji sih? Gimana kalau Ale merasa ilfeel? Duh, kenapa aku jadi overthinking begini, ya?!***

 

       

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Si 'Pemain' Basket
5137      1364     1     
Romance
Sejak pertama bertemu, Marvin sudah menyukai Dira yang ternyata adalah adik kelasnya. Perempuan mungil itu kemudian terus didekati oleh Marvin yang dia kenal sebagai 'playboy' di sekolahnya. Karena alasan itu, Dira mencoba untuk menjauhi Marvin. Namun sayang, kedua adik kembarnya malah membuat perempuan itu semakin dekat dengan Marvin. Apakah Marvin dapat memiliki Dira walau perempuan itu tau ...
Angel in Hell
536      405     0     
Short Story
Dia memutar-mutar pena di genggaman tangan kanannya. Hampir enam puluh detik berlalu dan kolom satu itu masih saja kosong. Kegiatan apa yang paling Anda senang lakukan? Keningnya berkerut, menandakan otaknya sedang berpikir keras. Sesaat kemudian, ia tersenyum lebar seperti sudah mendapatkan jawaban. Dengan cepat, ia menggoreskan tinta ke atas kertas; tepat di kolom kosong itu. Mengha...
Aditya
1436      649     5     
Romance
Matahari yang tak ternilai. Begitulah Aditya Anarghya mengartikan namanya dan mengenalkannya pada Ayunda Wulandari, Rembulan yang Cantik. Saking tak ternilainya sampai Ayunda ingin sekali menghempaskan Aditya si kerdus itu. Tapi berbagai alasan menguatkan niat Aditya untuk berada di samping Ayunda. "Bulan memantulkan cahaya dari matahari, jadi kalau matahari ngga ada bulan ngga akan bersi...
Edelweiss: The One That Stays
2357      942     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Phi
2141      859     6     
Science Fiction
Wii kabur dari rumah dengan alasan ingin melanjutkan kuliah di kota. Padahal dia memutus segala identitas dan kontak yang berhubungan dengan rumah. Wii ingin mencari panggung baru yang bisa menerima dia apa adanya. Tapi di kota, dia bertemu dengan sekumpulan orang aneh. Bergaul dengan masalah orang lain, hingga membuatnya menemukan dirinya sendiri.
Unsuitable
1323      627     6     
Romance
Bagi Arin tak pernah terpikirkan sekalipun bersekolah dalam jerat kasus tak benar yang menganggapnya sebagai pelacur. Sedangkan bagi Bima, rasanya tak mungkin menemukan seseorang yang mau membantunya keluar dari jerat tuduhan yang telah lama menimpanya. Disaat seluruh orang memilih pergi menjauh dari Bima dan Arin, tapi dua manusia itu justru sebaliknya. Arin dan Bima dipertemukan karena...
Listen To My HeartBeat
594      362     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Akhi Idaman
1232      766     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
Bukan kepribadian ganda
9617      1867     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Give Up? No!
482      328     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.