Read More >>"> Cinta Wanita S2 (Tertatih Suara) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Wanita S2
MENU
About Us  

Pagi-pagi sekali aku meninggalkan rumah bersama Ibu. Hari ini Ibu akan mengenalkanku pada kerabat dekat yang tak lain adalah pimpinan dari Perguruan Tinggi Agama Islam, Kota Pesisir Barat.

Perguruan tinggi ini sudah lama sekali berdiri, aku tidak tahu kapan tepatnya. Banyak alumni dari kampus nomor satu di Kota Pesisir Barat ini sudah menjadi orang terpandang di tanah kelahiranku ini. Bahkan, daya saing mereka pun tidak bisa dianggap remeh, sebagian malah sudah jadi pegawai negeri maupun bekerja di instansi swasta lainnya.

Tutun pernah berkata bahwa aku akan bercahaya di kampungku sendiri, setidaknya aku bisa mengajar di kampus. Sedikit menaikkan pangkatku, aku termasuk orang yang akan dibutuhkan di kampung ini karena pendidikan terakhirnya melebihi dosen-dosen di sini. Tidak pula berbekal kerabat dekat, dengan bekal yang kumiliki mudah sekali kampus menerima lamaranku.

Kata Ibu, kerabat dekat sekadar meminta pertolongan tidak masalah, semacam relasi kerjalah agar jalanku lebih mudah memasuki lingkungan kampus yang tanpa bisa kudekati kerabat pun masih bisa kujelajahi. Aku patut berbangga dengan nama yang kusandang saat ini, gelar tertinggi dan lulusan universitas terkemuda serta alumni penerima beasiswa luar negeri tentu menjadi patokan di mana letak kemampuanku.

Mungkin ini pula sebagai pembuktian arti cahaya dari perkataan Tutun yang masih belum nyata dalam pandanganku, aku harus berbuat terlebih dahulu sebelum kupamerkan pada Tutun bahwa aku benar-benar seperti katanya.

Ibu memastikan aku menemui orang yang dimaksud. Pak Amir termasuk kerabat dari Ibu, nenek dari Ibu dan Pak Amir kakak beradik. Aku memanggil Pak Amir dengan sebutan Pak Cek Amir. Pak Cek sebutan lain dari Pakcik, kalau di Indonesia panggilan untuk adik laki-laki dari ibu atau ayah. Mungkin demikian. Aku tidak tahu pasti kenapa kami menyebut Pakcik kepada Pak Amir. Aku ikut saja seperti abang-abangku memanggilnya.

Aku pernah bertemu Pak Cek Amir sebelum berangkat ke Amerika. Waktu itu Pak Cek Amir sudah mewanti-wanti, pulang dari Amerika aku harus kembali ke kampung dan mengabdi di kampus.

Waktu itu aku belum bisa mengiyakan dan menolak, aku belum berpikir mau ke mana langkahku setelah selesai kuliah. Harapan awal, aku masih mau bekerja di Banda.

Harapan tinggal kenangan saat Ibu memintaku pulang. Ibu tidak mau jauh-jauh lagi dengan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga kami. Akhirnya, dengan segala keputusan berat aku pulang dan sekarang menuju harapan selanjutnya.

Menjadi dosen muda!

Rasanya belum pantas aku menyandang gelar itu. Diterima saja belum di kampus ini apalagi mengajar. Pak Cek Amir pasti senang sekali mendapatiku dan Ibu di depan rumahnya pagi ini.

Minggu yang menawan dengan matahari mengintip di balik awan. Angin sepoi-sepoi menemani jalanan kami yang masih berembun. Di jalanan yang mulai ramai, terlihat anak-anak muda berjalan kaki dengan celana olahraga dan kaus oblong.

Mereka pasti habis lari pagi, menghirup sisa udara jernih sebelum tersibak kembali dengan asap kotor yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Sengaja kami bertandang ke rumah Pak Cek Amir pagi-pagi sekali mengingat jadwal kegiatannya yang padat.

Kupelankan mobil warna putih yang khusus Ibu belikan sebagai hadiah kepulanganku. Sudah lama aku tidak menyetir selama kuliah di Banda. Sesekali waktu pulang pun aku tidak pernah diizinkan Bang Mul berada di belakang kemudi. Mobil tua warna hitam milik Ibu sudah dihadiahkan untuk Bang Mul, sebagai imbalan menjaga Ibu selama aku merantau.

Bang Mul menyarankan Ibu menjual saja, karena Bang Mul tidak enak dengan Bang Muis dan Bang Mus. Lagi pula Bang Mul sudah berencana akan membeli mobil sendiri suatu saat nanti.

Namun lagi-lagi Ibu tidak terbantahkan. Bang Muis saja yang suaranya selalu keras bertekuk lutut di hadapan Ibu. Akhirnya mobil tua itu jadilah berganti tangan. Aku tidak masalah dengan mobil tua atau sepeda motor saja. Ibu tidak pernah menerima pendapatku. Dana pensiun Ayah, dana pensiun Ibu, belum lagi sisa tabungan Ibu dari berbagai pemasukan sudah lebih dari cukup membeli mobil baru untukku.

Dan satu hal lagi, sebagai keluarga terpandang di Kampung Pesisir, Ibu seakan menampakkan pada semua orang bahwa kami benar-benar sangat berada. Aku tidak suka dengan sikap terakhir Ibu, mau membantah lagi, lebih baik diam saja. Ibu tidak pernah mengubah sebuah keputusan seberat apapun.

Tidak bisa kubayangkan pula bagaimana Ayah bersabar menghadapi Ibu semasa hidupnya. Bang Mul pernah berkata bahwa Ayah tak ubah seperti dirinya. Kalau demikian, pantas saja Ibu suka seenaknya memerintah kami. Tidak seorang pun yang pernah menolak permintaan Ibu, termasuk Ayah yang selalu mengalah dan membawa sabar hingga kepergiannya.

“Kamu harus menuruti perintah Pak Cek Amir,” ujar Ibu di tengah perjalanan. “Pak Cek Amir mengharap sangat kamu ngajar di kampus. Kesempatan ini tidak Pak Cek Amir berikan dua kali, orang-orang banyak yang mengejar agar bisa masuk ke perguruan tinggi. Kamu yang sudah punya kesempatan bagus malah terlihat tidak senang!”

Aku memilih tidak menjawab. Percuma aku memperpanjang masalah dengan Ibu. Ibu tidak bicara lagi yang baik dan tidak, keinginan Ibu sudah aku penuhi semenjak kaki terinjak kembali di Kampung Pesisir.

“Karir kamu akan melesat cepat jika di kampus, apalagi kamu satu-satunya lulusan luar negeri yang mau mengabdi untuk tanah kelahiranmu sendiri. Bayangkan saja, berapa banyak alumni luar negeri berasal dari Kota Pesisir Barat? Tak ada dari mereka yang peduli dengan kota kelahirannya, mereka bertahan dan berprestasi di Banda!”

Aku tetap konsentrasi pada jalanan yang masih licin. Mobil baruku tidak boleh lecet sedikitpun. Walau bukan aku yang beli, mobil ini tetap akan menemaniku sampai waktu tak tentu.

“Kota Pesisir Barat terus tertinggal dari kota-kota lain, kita tidak pernah mau berbenah menjadi lebih baik. Orang membangun kampus sampai berstatus negeri dan terakreditasi, kita masih bertahan pada status swasta. Karena apa? Sumber daya manusia kita belum bisa bersaing sehingga kampus di sini terus merosot. Kampus tertua saja belum bisa beralih jadi negeri karena kekurangan dosen yang sudah S2. Kamu masuk ke sana, kemungkinannya akan berbeda. Orang-orang akan melihat ada lulusan luar negeri yang mengajar di kampus ini. Kamu juga bisa mempromosikan kepada dosen-dosen kamu di Amerika atau teman semasa kuliah di sana, siapa tahu mereka tertarik dengan kondisi kampus di sini!” Kukira itu hanya anggapan Ibu saja.

Selebihnya, mungkin juga benar. Kita hanya bisa berencana, nasib sudah ditentukan oleh yang di atas. Pemikiran Ibu yang tajam menerawang ke depan patut kuberi imbalan senyum. Ibu sangat peka akan hal-hal kecil, kalau tidak mana mungkin Ibu bisa membangun rumah dengan megah tingkat dua di Kampung Pesisir, kemudian membeli mobil baru untukku yang berpelat putih dengan angka dan huruf merah pula.

Pak Cek Amir menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka. Aku menyalami Pak Cek Amir dan istrinya Mak Cek Ida. Kami langsung digiring ke ruang tamu yang besar. Keramik putih susu berkilap membayangi langkahku. Kursi-kursi berderet memanjang dengan dua meja, pertanda rumah Pak Cek Amir seringkali menerima tamu dengan jumlah banyak. Mak Cek Ida menyuguhkan kami minuman manis dan goreng pisang. Pagi yang tambah semarak dengan suguhan lezat ini.

“Bagaimana kabar kamu, Nong?” Pak Cek Amir memulai percakapan di rumahnya dengan suara menggema.

“Sehat, Pak Cek,”

“Sudah siap ngajar di kampus?”

Aku tersenyum. Tanpa memberi tahu maksud kedatangan kami, Pak Cek Amir sudah langsung ke pokok pembicaraan.

“Tenang saja, mahasiswa di sini baik-baik. Orang sepintar kamu tidak akan dikibuli oleh mereka yang ilmunya tidak akan sepadan denganmu,”

“Sudah berulang kali pula dikatakan, keras kepala dia, Amir!” potong Ibu.

“Itu biasa, Kak, nama juga orang baru selesai kuliah. Inong harus berbaur dulu di kampus, lama-kelamaan akan terbiasa dan senang menjalaninya,”

“Benarkah begitu, Amir?”

“Benar, Kak,”

“Dengarkan omongan Pak Cekmu!” Ibu mengerling ke arahku. Aku tersipu malu. Dalam hati aku menggerutu, Ibu membuatku seperti anak kecil saja.

Pak Cek Amir banyak bercerita tentang tingkah pola mahasiswa, paling tidak ini akan menjadi acuanku dalam mengajar kelak. Pak Cek Amir juga menceritakan susahnya menaikkan peringkat akreditasi kampus selama dosen masih sarjana. Tingkat pendidikan sangat menentukan kesuksesan sebuah kampus di negeri ini.

Padahal belum tentu semua orang yang berpendidikan tinggi mampu bersaing dengan kerasnya hidup. Aku sendiri belum tentu lebih pintar dari orang yang tidak bersekolah dalam hal yang lain. Satu masalah bisa kuselesaikan dengan mudah jika berhubungan dengan ilmuku. Masalah lain justru akan membutuhkan orang lain agar bisa terselesaikan.

“Pak Cek sangat berharap kamu bertahan di kampus, ke depan saat kampus sudah negeri kamu termasuk orang yang berjasa dalamnya.” Pak Cek Amir menyeruput minuman hangat di depannya.

“Saya usahakan, Pak Cek,”

Pak Cek Amir mengangguk.

“Bagaimana suasana di kampung Kak?”

“Ah, masih seperti biasa. Kapan-kapan mainlah sama Ida ke sana, sudah lama tidak menampakkan wajah ke kampung selama sibuk di kampus,”

Pak Cek Amir mengulur senyum. “Nantilah saya pasti akan ke sana waktu kenduri rumah Kakak,”

Aku sudah mencium aura tidak segar dari perkataan Pak Cek Amir. Mau kusanggah dan kualihkan ke masalah lain, tidak elok rasanya aku memotong perkataan orang tua. Apalagi Mak Cek Ida sudah menyiapkan jurus pemungkas memulai ke arah yang belum mau kudengar.

“Jadi sudah dekat acaranya Kak?” benar saja. Mak Cek Ida sumringah.

“Belumlah. Tidak dibawa pulang calon sama di Inong!”

Sudahlah. Aku tersudut. Kadang percakapan orang dewasa tidak perlu menjurus sekali ke arah yang sebenarnya. Sedikit memakai bahasa yang entah dari dunia mana sudah langsung dapat dipahami orang mereka yang memikirkan tujuannya ke sana.

“Ah masa? Sudah jauh ke Amerika tidak ada satupun laki-laki yang cocok di hati. Barangkali tinggi sekali mahar yang Kakak pasang sampai-sampai belum ada yang sanggup melamarnya?” lanjut Mak Cek Ida.

“Standar orang lainlah, Ida. Masalahnya, tidak dikenalkan laki-laki mana yang mau sama dia. Saya setuju saja asalkan jelas keturunan, baik agama, dan pekerjaan tetap. Jangan pula nanti si Inong makan nasi putih tiap hari!”

Kata-kata Ibu memang mengiris hati, kalaupun ada laki-laki yang kukenal belum tentu berani kubawa ke rumah. Aku bisa meramalkan kemungkinan yang akan terjadi selama Ibu dan laki-laki – siapapun dia – datang ke rumah menemuiku. Karena belum pernah merasa hidup sangat susah, Ibu selalu akan mengeluarkan kata-kata di luar batas kewajaran untuk mereka yang peka akan hal-hal sensitif dalam hidup mereka. Dan Mak Cek Ida?

“Iyalah Kak, mana mau kita sama orang yang tidak bekerja? Minimal guru pegawai negeri dan sudah sertifikasi. Pegawai negeri pun sekarang sudah sulit dibedakan mana yang masih banyak gajinya mana yang sudah terpotong dengan kredit di bank. Kakak tahu sendiri, pegawai negeri yang mengambil banyak kredit gajinya tinggal sedikit, tidak akan cukup makan dalam sebulan bukan?”

“Benar, Ida. Saya pun sepemikiran dalam hal ini, lagi pula ini satu-satunya perempuan dalam keluarga,”

“Sudah wajib memasang tarif tinggi dan calon yang datang pun harus sesuai kriteria kita. Jangan pula laki-laki tidak jelas gaji perbulan meminta Inong dari Kakak, yang akan rugi nanti Inong sendiri. Banyak kita lihat sekarang, istri kerja dari pagi sampai malam, suami duduk santai di rumah!”

Pertemuan dua ibu-ibu yang harus segera dilerai. Aku bingung mencari kata yang sesuai supaya pembicaraan mereka tidak lagi berlanjut ke hal-hal yang lebih sensitif lagi.

“Sudahlah, Ida, Inong yang akan menjalani hidup bukan kita,” Pak Cek Amir bersuara. Aku bisa bernafas lega karena itu. “Tapi omongan Mak Cek sekiranya dipikirkan juga olehmu, yang senang hidup nanti kalian berdua!” aku menarik kembali senyum yang sudah terkembang dengan sangat lebar sebelumnya. Pak Cek Amir pun hampir sama dengan kedua perempuan di depanku.

***

Selepas dari rumah Pak Cek Amir, Ibu memintaku mengitari Kota Pesisir Barat. Tidak banyak berubah dari ibu kota kabupaten tempatku lahir ini. Air mancur di tengah kota masih memancarkan air ke udara, menimbulkan cipratan berarti. Bundaran air mancur membentuk tiga ruas jalan utama. Mobilku melaju dari arah barat menuju air mancur dengan bermacam baliho di depan dan di sampingnya.

Kebanyakan poster besar itu adalah iklan rokok dan telekomunikasi, di negeri ini rokok masih sangat biasa untuk takaran apapun. Sebelum sampai ke bundaran air mancur, sebelah kanan berdiri hotel terbesar Kota Pesisir Barat yang berhadapan dengan SPBU. Mobilku yang terus melaju, saling kejar dengan bangunan bertingkat dua.

Ada minimarket, toko ponsel, satu dua toko pakaian ala anak muda. Ruas jalan ini, jika aku membelokkan mobil ke kanan kami akan melaju ke pesisir pantai dan pelabuhan kapal berat, sebelah kiri merupakan pusat perbelanjaan yang padat untuk ukuran kota kecil ini.

Ibu memintaku ke sebelah kanan, melewati air mancur aku memelankan mobil di lampu merah. Sebelah kanan lebih rindang dibandingkan kiri. Mungkin karena pohon di pembatas jalan dua ruas sudah lebih tinggi dibandingkan sebelah kiri.

Di hadapan lampu merah ini, di depan air mancur dengan tugu di tengahnya, sebelah kananku gedung anggota dewan terhormat berdiri dengan kokoh. Lampu hijau menyala, gedung petinggi daerah kulewati dan kutemui hotel terbesar nomor dua di kotaku ini. Sebelah kiriku, bangunan tingkat dua berjajar rapi.

Kawasan ini khusus penjual perabotan rumah tangga, seperti kasur, lemari, dan sejenisnya. Tujuan Ibu bukan membeli tempat tidur mahal untuk menghiasi kamarku, karena itu sudah tersedia jauh-jauh hari. Ibu menunjuk ke toko lebih mewah dari ini di depanku, masih di sebelah kiri. Aku sudah bisa meraba tujuan Ibu setelah melihat toko ini.

“Perempuan itu harus ada sesuatu di tangan, jari atau lehernya. Lihatlah! Bagaimana tangan dan jarimu? Kuliah jauh-jauh tidak pernah terpikirkan menyarung cincin dengan harga mahal luar negeri!” sambil memberi petuah Ibu membuka pintu dan turun dari mobil. Aku mengikuti, mau tidak mau.

Toko ini tidak besar, tapi mewah. Tentu saja mewah. Nama juga toko emas. Walau kecil tetap saja dikunjungi banyak orang. Satu-satunya investasi yang belum bisa ditandingi dengan apapun di tanah kelahiranku ini.

Penjaga toko menyapa kami dan langsung akrab dengan Ibu. Kupikir, toko ini milik Cina. Perkiraanku salah. Tidak bisa dipungkiri, roda perekonomian di Kota Pesisir Barat ini masih dikendalikan oleh keturunan Cina. Di mana-mana banyak sekali orang Cina yang berdagang, hampir semua sektor perekonomian dibawah kendali Cina.

Dari makanan, perhiasan, perabotan rumah tangga, bahkan telekomunikasi rata-rata yang punya toko adalah Cina. Mereka yang punya modal lebih banyak dari kami mungkin.

Mudah memang membedakan Cina dengan kami, tidak hanya matanya yang sipit tetapi keyakinan mereka masih belum berpindah ke muslim walaupun mayoritas di negeri kami ini tak diragukan lagi kepercayaan mereka.

Aku tidak menaruh heran juga, walau di mana-mana terdapat masjid dan setiap waktu shalat azan akan berkumandang dan hari libur bahkan puasa kota ini sepi, keyakinan Cina tetap pada pendirian mereka. Entah, ada satu dua di antara mereka yang sudah berada di pihak kami.

Laki-laki pemilik toko emas itu berbicara lancar dengan Ibu. Dari raut wajahnya terlihat sangat antusias mendengar promosi Ibu akan diriku. Ibu memang tipikal orang suka memamerkan hal-hal menarik dalam dirinya.

Pemilik toko emas ini tentu saja tertarik dengan omongan Ibu, mereka pasti bukan sekali dua kali berinteraksi. Dari gelang, kalung bahkan cincin yang Ibu kenakan sudah pasti hasil jasa laki-laki di depanku itu.

“Memang harus itu, Kak,” ujar laki-laki itu. Entah siapapun namanya. “Biarpun nanti calon suaminya membayar mahar dengan mahal, Kakak harus pula menghadiahkan putri cantik ini dengan yang istimewa. Saya baru saja menempa kalung yang sangat spesial, mungkin memang rejeki Kakak hari ini. Pas jika adik ini pakai, apa Kakak sebut tadi, dosen? Benar? Harus terlihat makin cantik itu, tidak boleh tidak!”

Oh, inilah namanya penjual. Ada saja cara memikat pembeli. Rasanya Ibu sudah terpikat. Dan Ibu tidak akan mudah ditipu, tapi kali ini Ibu kena batunya.

Soal harga laki-laki itu pasti tidak akan main-main dengan Ibu, nama juga harga emas di seluruh toko di kota ini akan tetap sama, walau ada sedikit perbedaan di jasa tempa tidak bisa dimasukkan dalam kategori mahal.

Laki-laki ini tahu betul tabiat Ibuku, dan Ibuku mengerti bagaimana meluruhkan segala mau laki-laki ini. Mereka sama-sama beruntung. Sebagai langganan, Ibu tidak perlu bersusah payah menawar harga lebih murah di lain waktu, laki-laki ini pula tak perlu repot-repot mencari pelanggan setia yang mau membeli emas dengan takaran lebih banyak dari orang lain dan harganya tentu lebih mahal pula.

Laki-laki itu mengeluarkan kalung dengan liontin kupu-kupu. Selintas kulihat, langsung membawa ingin mengalungi kalung tersebut. Anyaman kalung ini pun berbeda dengan kalung biasanya, potongan bulat sepanjang setengah centi dikaitkan satu sama lain, terukir bagai bergerigi vertikal, jika dikalungkan menjuntai sampai ke dada. Bukan aku saja, mata Ibu merona begitu indah melihat kalung ini.

“Saya tidak pernah main-main dengan Kakak, saya tahu langganan mana yang akan membeli kalung ini, hanya orang tertentu saja!” ujar laki-laki itu. Kali ini aku sependapat dengannya, tanpa perlu banyak promosi sampai mulutnya berbusa pun orang akan tertarik menyentuh kalung ini. Dan kalimat terakhirnya menandakan bahwa laki-laki ini tahu betul siapa yang patut melihat kalung ini.

“Berapa mayam[1] kalung ini?” tanya Ibu tanpa berpaling dari kalung tersebut.

“Kalungnya saja 20 Kak, tambah liontin 5,”

“Oh,” Ibu mengambil kalung itu lalu meletakkan liontin di telapak tangan sedangkan kalungnya dibiarkan mengayun di udara.

“Untuk Kakak seperti biasalah,”

“Tidak ada pengurangan lagi?” tawar Ibu.

Dalam hati aku sangat senang jika Ibu akan membelikannya, belum pernah aku memakai emas sebesar ini. Namun aku merasa juga tidak pantas mengalungi emas semahal itu karena masih banyak orang yang kelaparan di luar sana.

Mungkin di tanahku ini tidak ada orang yang tidak mengecap nasi minimal sekali dalam sehari, di ibu kota negara ini bahkan masih ada orang yang kelaparan. Seharusnya aku lebih banyak bersedekah, dan berdebat dengan Ibu?

“Kakak tahu sendirilah bagaimana saya menempa ini, ongkos keringat saya sajalah Kak,” dari raut wajah laki-laki itu benar-benar tulus lelahnya menempa kalung ini menjadi begitu indah.

Aku sudah bisa menebak pilihan Ibu, mengangguk sambil mengembalikan kalung ke laki-laki itu. Rasanya aku mau protes, kenapa Ibu tidak meminta pendapatku, misalnya mencoba dulu di leherku, cocok atau tidak, atau kusukai atau tidak. Pilihan Ibu, mau tidak mau wajib kusukai. Tidak ada pilihan lain untukku.

***

Dalam diam aku memutar haluan di taman kota yang rindang. Kami kembali ke arah air mancur, meninggalkan deretan toko ponsel sebelah kiri dan kanan dan toko emas di sebelah kanan, tujuan selanjutnya ke pusat perbelanjaan. Entah apalagi yang Ibu ingin belikan untukku.

Ibu menunjuk ke salah satu toko kain begitu kami melewati air mancur. Sebelah kiri deretan toko elektronik berjejer sampai ke lorong masuk terminal kota.

Sebelah kanan deretan toko pakaian dan kain belum jadi berdiri lesu, di deretan ini lurus ke arah depanku pasar rakyat menjual pakaian murah dan di belakangnya pasar kebutuhan dapur dengan becek dan bau amis. Jika bukan musim lebaran, tidak banyak orang berbelanja, masyarakat di sini masih memegang teguh baju baru hanya boleh dibeli saat lebaran tiba.

Aku harus berbelok beberapa meter di depan kantor pos polisi sebelum sampai di toko tujuan kami. Dari sini dapat kulihat deretan bank besar berdekatan berdiri dengan kokoh.

Kami sampai di depan toko langganan Ibu.

“Kita harus membeli beberapa model kain supaya penampilanmu lebih menarik saat mengajar nanti!” Ibu turun dari mobil dan tergopoh masuk ke dalam toko tujuannya. Aku menghela nafas panjang. Kupikir, saat mengajar nanti cukup dengan rok biasa saja dipadukan dengan kemeja atau blezer kesukaanku dan sepatu tanpa hak.

Sesampai aku di dalam, Ibu sedang memilih beberapa model kain dengan warna yang cerah. Biru muda dengan motif anggrek putih, putih dengan motif ukiran bunga mawar berwarna emas, merah jambu dengan motif selanga yang juga putih dan batik khas warna hijau muda yang lebih gelap dari tiga model sebelumnya. Semuanya Ibu minta dipotong untuk ukuran satu baju jadi dengan harga rata-rata satu meter di atas lima puluh ribu.

Keluar dari toko kain, Ibu menarik lenganku ke toko sepatu milik Cina. Entah karena ingin cepat pulang, entah pula karena tidak ingin mutar-mutar ke toko lain sampai Ibu mau masuk ke toko Cina.

Tidak masalah bagiku, asalkan setiap Cina yang menjual harus mengikuti tata krama di negeri muslim ini. Khusus untuk makanan, setiap Cina harus memasak sesuai aturan Islam dan ini diberi izin oleh pemerintah daerah kami.

Toko ini memang ciri khas Cina, merek dagang sudah pasti ada walau aku terkadang tidak yakin asli atau bukan karena di kota kecil ini mana ada orang yang sangat peduli dengan merek mahal di atas rata-rata. Berderet sepatu perempuan dan laki-laki. Ada warna hitam dan cokelat.

“Pilihlah yang lebih tinggi sedikit, biar wibawamu tampak begitu langkah kau ayunkan!” ujar Ibu saat kupilih sepatu tanpa hak. Aku belum terbiasa mengenakan sepatu tinggi, takut pula aku terpeselet di depan orang banyak.

“Kerja apa rupanya kakak ini?” tanya Cina muda itu. Rata-rata orang Cina, wajahnya kayak aktor drama Korea yang sering kutonton. Dan mungkin bukan cuma toko sepatu ini aset keluarganya. Seandainya dia muslim, sudah banyak sekali gadis-gadis yang mengejarnya, sudah tampan kaya raya pula!

“Dosen, baru pulang dari Amerika lho!” jawab Ibu. Lagi-lagi. Kenapa harus ada Amerikanya?

“Wah, hebat sekali kakak ini!” mata tampan itu terbinar lebih lebar. Aku memberi senyum seadanya. Tangannya telaten mencari sepatu dengan model terbagus dan sudah pasti harganya akan mahal. Ibu memang pintar menarik orang masuk ke dalam jurang yang dibangun oleh kata-katanya.

“Ini sepatu bagus Kak, merek ini terbaru dan tahan air, Kakak hanya perlu menyemir rutin saja pasti akan terus mengkilap!”

“Ya sudah, ambil itu saja. Sudah cocok kan ukurannya?” Ibu tampaknya ingin tergesa-gesa. Cina itu senang sekali dengan pendapat Ibu. Tanpa banyak tawar-menawar lagi dengan harga melebihi setengah juta, sambil menelan liur aku menjinjing kotak sepatu dalam kantong plastik hitam bertuliskan nama toko itu ke dalam mobil.

Bergegas untuk pulang sebelum aku benar-benar lelah hari ini!

 

[1]Mayam adalah satuan ukuran berat emas 1/16 bungkal (gumpal), 1 mayam sama dengan 3,37 gram. 1 mayam untuk saat ini sekitar 1,5-1,7 juta, tergantung kondisi perekonomian saat ini dan jenis emas yang dibeli.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A promise
507      320     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
Melodi Sendu di Malam Kelabu
461      296     4     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
Reaksi Kimia (update)
4830      1223     7     
Romance
》Ketika Kesempurnaan Mengaggumi Kesederhanaan《 "Dua orang bersama itu seperti reaksi kimia. Jika kamu menggabungkan dua hal yang identik, tidak ada reaksi kimia yang di lihat. Lain halnya dengan dua hal yang berbeda disatukan, pasti dapat menghasilkan percikan yang tidak terduga" ~Alvaro Marcello Anindito~
Acropolis Athens
3512      1577     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Di Hari Itu
418      295     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
The Hallway at Night
3389      1843     2     
Fantasy
Joanne tak pernah menduga bahwa mimpi akan menyeretnya ke dalam lebih banyak pembelajaran tentang orang lain serta tempat ia mendapati jantungnya terus berdebar di sebelah lelaki yang tak pernah ia ingat namanya itu Kalau mimpi ternyata semanis itu kenapa kehidupan manusia malah berbanding terbalik
A D I E U
1837      675     4     
Romance
Kehilangan. Aku selalu saja terjebak masa lalu yang memuakkan. Perpisahan. Aku selalu saja menjadi korban dari permainan cinta. Hingga akhirnya selamat tinggal menjadi kata tersisa. Aku memutuskan untuk mematikan rasa.
Cinta Dalam Diam
687      445     1     
Short Story
Kututup buku bersampul ungu itu dan meletakkannya kembali dalam barisan buku-buku lain yang semua isinya adalah tentang dia. Iya dia, mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mengagumi seseorang itu wajar. Ya sangat wajar, apa lagi jika orang tersebut bisa memotivasi kita untuk lebih baik.
Menghukum Hati
387      218     0     
Romance
Apa jadinya jika cinta dan benci tidak bisa lagi dibedakan? Kau akan tertipu jika salah menanggapi perlakuannya sebagai perhatian padahal itu jebakan. ???? Ezla atau Aster? Pilih di mana tempatmu berpihak.
Musyaffa
89      75     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...