Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Wanita S2
MENU
About Us  

Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah. Ibu sengaja mengadakan acara khusus atas keberhasilanku menyelesaikan pendidikan di negeri orang.

Selain keluarga, tetangga dekat juga diundang. Sejak sore kami sudah sibuk menyiapkan penganan untuk acara syukuran ini. Sehabis magrib acara dimulai dengan pembacaan Yasin dan doa yang dipimpin oleh imam masjid Kampung Pesisir.

Ibu mengatur waktu yang tepat agar seluruh anggota keluarga dapat hadir, karena Bang Muis dan Bang Mus juga punya kesibukan masing-masing.

Rumahku jadi ramai. Setiap sudut orang berbicara dengan topik berbeda. Laki-laki berbicara lantang di antara kepulan asap rokok. Perempuan dengan omongan-omongan yang terkesan tidak penting, puncaknya membicarakan orang lain. Suara piring dan gelas dicuci. Air keran hidup mati. Tangan bekerja, mulut pun tak berhenti bicara.

Aku berada di antara perempuan-perempuan ini. Irus dan Risma yang duduk di salah satu sudut menghadap ke dapur, di samping kamar mandi dan dekat sumur, mereka mencuci piring kotor yang diturunkan dari ruang tamu.

Piring dan gelas dibilas sampai bersih, mulut mereka pun menggilas apa saja yang terkadang sebagian kata tidak kumengerti. Selain Irus dan Risma, Misan sibuk mengantarkan lauk pauk yang habis di meja depan.

Misan paham betul kondisi meja prasmanan yang kami letakkan di ruang keluarga. Meja itu sedikit kami tutupi dengan kain seadanya, supaya terlihat rapi walaupun sisa kuah sering berceceran di atasnya.

Kulihat Misan mondar-mandir antara ruang keluarga dan dapur. Aku pun ikut membantu mengambil piring kotor di ruang tamu, di mana para lelaki masih serius membicarakan segala urusan penting kampung kami.

Sekilas kulihat kepala Kampung Pesisir, ketua pemuda, imam masjid yang barusan memimpin doa, ketua dusun dan ketiga abangku. Di ruang keluarga, istri kepala kampung, istri ketua pemuda, istri imam masjid, beserta anak-anak mereka yang masih kecil.

Ini acara keluarga, mana mungkin mereka membawa serta anak-anak mereka yang sudah berumur di atas tujuh tahun. Di antara mereka, Ibu duduk sambil tak henti-hentinya membicarakan hal-hal yang berada di antara penting dan tidak penting sama sekali.

“Duduklah sebentar di sini, Inong,” ujar Kak Nun, istri kepala kampung. Aku memberi isyarat masih harus membantu perempuan lain yang sibuk membereskan segala.

“Iya, duduklah sebentar bersama kami, masih ada orang lain yang kerja,” Kak Cik, istri ketua dusun mendukung pendapat Kak Nun. Aku hanya mengulur senyum.

Duduk bersama mereka tidak akan memberi jaminan kesejahteraan batinku. Tidak akan ada hal lain yang akan dibicarakan selain satu hal ini, laki-laki!

Cara menghindar pun kulakukan sebisanya. Piring-piring kotor kuangkat ke belakang dan aku menyempatkan diri duduk bersama Irus dan Risma yang menunggu sesuatu untuk dibersihkan.

Jenuh pula kulihat mereka hanya mengaduk-aduk air di dua ember plastik berwarna hitam, satu ember untuk membilas bekas piring berbusa dan satu ember lagi untuk bilasan terakhir sehingga benar-benar terhindar dari noda.

“Ini pekerjaan kami, kamu duduk saja di sana,” kata Irus sambil menaruh sabun cair ke dalam mangkuk berisi air dan spons. Tak lama tangannya sudah membasuh piring dengan spons yang mengeluarkan busa cukup banyak.

Misan ikut bergabung dengan kami sambil membawa gado-gado. Jika kuperhatikan, dari tadi Misan terus mengembil lauk. Mungkin memang sudah tabiatnya demikian.

“Asma tidak kamu undang, Nong?” tanya Risma. Aku hampir lupa, tidak ada Asma malam ini di rumahku.

“Ada. Mungkin dia susah keluar malam karena satu dan lain hal,” masing-masing dari kami bisa memaknai sendiri ucapanku. Aku pun sangat paham betul bagaimana kondisi sahabatku itu. Asma sudah datang sejak siang, membantu kami memasak sampai sore. Risma yang baru datang sehabis magrib barangkali tidak mengetahui hal tersebut.

“Tadi sore kami yang potong gado-gado ini bersama Asma,” sahut Misan dengan mulut penuh kunyahan.

Risma kemudian mengangguk sembari mengangkat piring dan gelas dari ember kedua dan meletakkannya di samping Misan. Tubuhku yang terangkat sedikit langsung didudukkan kembali oleh Misan. Misan tahu apa yang akan aku lakukan, tanpa bersuara Misan langsung mengangkat piring dan gelas bersih ke tempat seharusnya di sudut ruangan yang lantainya kering.

“Jadi ini acara pemanasan ya, Nong?” tanya Irus tiba-tiba.

“Pemanasan?” keningku berkerut.

“Iya, apa ada pengumuman penting setelah makan-makan ini?” desak Risma kemudian.

Aku mengeleng.

“Masih rahasialah, kalian kayak tidak mengerti Inong saja,” ujar Misan yang ternyata sudah duduk kembali di sampingku.

“Apa sih maksudnya?”

“Kamu ini kok jadi telat mikir begitu?” Irus mencomot sedikit gado-gado dari piring Misan. Misan mencibir. “Apa tidak diajarkan di luar negeri masalah begituan?”

“Masalah begituan bagaimana?” aku makin bingung.

“Kamu kan sudah jadi ibu dosen, apalagi kalau bukan bapak dosen!” Risma meluruskan pembicaraan kami. Aku terpingkal.

“Kalian ini ada-ada saja, malam ini hanya syukuran kecil-kecilan saja, tidak ada pergantian gelarku menjadi nyonya siapa dan laki-laki mana yang datang setelah malam ini ke rumahku,”

“Ah, mana mungkin,” Irus masih tidak percaya.

“Benar, belum ada laki-laki yang harus kukenalkan pada keluarga,”

“Orang sepertimu belum ada yang mau? Mustahil namanya itu!” Misan menanggapi dengan sedikit bersuara tinggi. “Jangan-jangan kamu memang pemilih ya?”

“Haruslah Mis!” tambah Risma. “Ibu dosen lulusan luar negeri, minimal harus dapat lulusan luar negeri juga!”

“Masa harus begitu?” aku mengerutkan kening.

“Lho? Kamu mau dilamar sama petani dari Kampung Pesisir yang tidak bisa menyetir?” sindiran Risma cukup beralasan.

“Paling tidak kamu harus miliki pegawai negeri biar hidupmu sejahtera sampai kakek nenek. Jangan pula kamu jadi kuli suami nanti sampai tua. Kamu itu ya, harus benar-benar selektif dalam memilih kalau tidak rugilah gelar yang kamu dapatkan dengan susah payah dari negeri orang!”

Aku benar-benar gamang mendengar ucapan Risma. Pegawai negeri masih menjadi anak emas di kampungku ini. Anggapan Risma mungkin akan sama dengan anggapan perempuan lain di tanah mana pun di Kota Pesisir Barat.

Pegawai negeri sudah ada jaminan hidup bahagia walau tak bisa kaya raya tetapi bisa senang selamanya. Kayak dalam dongeng saja mendengar celoteh demikian, namun jika aku lebih memahami hidup yang kadang tidak pernah stabil, pendapat Risma menjadi takaran bahwa pilihan mencari suami pegawai adalah sesuatu yang sangat tepat.

“Benar kata Risma,” sambung Misan. “Bisa menyetir mobil saja tidak cukup sebelum mampu mengisi bensin dan membayar kerusakan saat tertentu. Hanya orang bergaji yang bisa menyambung hidup di mana pun itu.”

“Tapi ya tidak mesti pegawai negeri kan?” nada suaraku agak berbeda menanggapi pendapat karibku di kampung ini.

“Wajib, Nong!” suara Irus tegas. “Kamu punya kekuatan untuk bisa merangkul pegawai negeri, hanya itu satu-satunya jalan hidup mulia di tanah kandungmu ini!”

“Aku malah berpikir tidak meletakkan pekerjaan di tempat utama sebagai syarat laki-laki meminangku kelak,”

“Oh! Jangan salah, pekerjaanlah yang menentukan nasibmu kelak!” Irus bagai sudah sangat berpengalaman mengeluarkan kalimat tersebut.

“Dan satu hal lagi, maharnya tentu harus tinggi!” Misan tidak mau kalah.

“Setinggi-tingginyalah, masa lulusan luar negeri maharnya sama dengan kita!” kata-kata Risma begitu menusuk urat nadiku.

“Tidak wajib bukan?”

“Wajib, Nong!” Risma bersuara sangat keras, mungkin bisa didengar sampai ke ruang keluarga. Aku menoleh, tidak ada tanda-tanda penampakan orang lain di antara kami, hanya kami yang tahu apa yang sedang kami bicarakan malam ini.

“Aku saja akan menilai kamu murahan jika maharnya rendah, perempuan kampung kita saja yang kuliah di Kota Pesisir Barat memasang mahar sampai 20 mayam. Masa kamu harus kalah dengan mereka?”

“Mahar kan hanya syarat saja, tidak wajib dipenuhi pun tidak masalah, satu ayat al-Quran saja bisa jadi mahar dan nikahnya akan sah!” ujarku. Kulihat ketiga perempuan di depanku siap-siap menyerang kembali, mereka otomatis tidak akan menerima pendapatku.

“Syarat saja? Wajib, Nong!” pekik Risma lagi. “Kamu diambil dari orang tua dengan gratis, mana mau?”

“Iya!” sambung Misan. “Pasang mahar tinggi karena syaratlah itu terjadi, karena cantik, karena sudah bekerja hitung-hitung pegawai negeri bisa lebih mahal mahar yang mesti kamu pasang, apalagi kamu lulusan luar negeri maka mahar yang harus ditebus laki-laki itu tarif luar negeri pula!”

Mana ada tarif luar negeri? Ada-ada saja mereka ini. Mereka belum benar-benar paham bahwa pernikahan itu bukan dibentuk hanya karena mahar semata. Pernikahan akan berlangsung sampai usia menutup mata, kecuali ada masalah besar sehingga rumah tangga harus diakhiri dengan perceraian.

“Kamu tidak percaya?” tanya Misan. Aku mengeleng. “Mahar itu memiliki tempat yang khusus di hati kita sebagai perempuan, makin tinggi derajat perempuan itu makin tinggi pula mahar yang harus dilunasi laki-laki yang melamar kita!”

“Dari mana kita tahu tinggi rendahnya derajat manusia? Bukankah itu Tuhan yang lebih paham karena dinilai dari keimanan seseorang?” kataku meluruskan pemahaman yang mungkin bisa jadi salah.

“Dalam urusan agama benar,” Misan tidak mau kalah. “Dalam pandangan dunia, manusia akan menilai seseorang dari tahta dan jabatan. Kamu sudah punya jabatan dengan gelar dari luar negeri dan bekerja sebagai dosen, tahta sudah kamu dapatkan semenjak kecil sudah dilimpahi harta berlimpah oleh orang tuamu!”

“Itu sudah perkara lain lagi,” aku diajak berdebat sudah sepatutnya kulayani saja. Sudah lama pula aku tidak menukar pikiran dengan teman-temanku yang sudah terpencar di mana-mana. Berbagi sedikit saja dengan perempuan-perempuan kampung yang semakin bagus tata pemikirannya tidak bisa kuabaikan begitu saja.

“Perkara lain bagaimana? Karena tahta dan jabatanlah laki-laki membayar mahar lebih mahal kepadamu!” Misan teguh pada pendiriannya.

“Maksudnya begini,” aku mencoba mencari jalan tengah. “Kita semua punya tahta dan jabatan, hanya tingkat dan kedudukan yang berbeda. Mahar bisa berapa saja, sesanggup laki-laki mampu membayar dan diterima kepribadian dan agamanya oleh pihak perempuan.

Urusan mahar dipasang tinggi atau rendah, tergantung keegoisan seseorang dalam hal rumah tangga. Kita tidak sedang membangun rumah tangga dengan mahar yang mahal, melainkan rumah tangga yang kita bangun akan berlangsung bertahun-tahun tidak hanya sampai setelah ijab kabul.”

Ketiga perempuan di depanku duduk diam.

“Orang yang kedudukan dalam sebuah lingkungan masyarakat rendah dari segi ekonomi, bisa jadi mematok mahar tinggi dengan alasan tertentu.

Misalnya, ada anak perempuan yang sangat cantik dari keluarga kurang berada, jika mau orang tuanya berhak memasang mahar sampai 50 mayam seandainya ada yang berani mengambil alih tanggung jawab gadis itu dari orang tuanya.

Setelah menikah, 50 mayam itu tidak cukup untuk memelihara si gadis rupawan ini. 50 mayam bisa langsung hilang sekejap mata karena itu barang mati, si gadis cantik ini akan mengandung, melahirkan anak, menjadi tua dan rupanya tidak akan lagi bening semenjak pertama diminta dari orang tuanya.”

“Sebenarnya memang begitu, tapi kamu pikirkan juga kehormatannya tidak mungkin dibayar murah!” sulit kubayangkan bagaimana Risma bisa mengeluarkan kalimat pamungkas segitu ajaibnya.

Sampai aku terbawa pikiran akan maksud perkataannya. Jauh sekali pandanganku memandang ke depan, mulai dari Ibu, ketiga abangku, saudara dari pihak Ibu dan alharhum Ayah, lingkungan Kampung Pesisir, semua akan mengabadikan pilihanku.

Malam semakin beranjak pergi. Satu persatu tamu yang kami undang pamit pulang. Irus pulang setelah membungkus sisa lauk dan dibagikan kepada Risma dan Misan. Tinggallah seluruh anggota keluarga yang duduk bersila di ruang keluarga.

Bang Mul duduk paling dekat dengan Ibu. Kak Sita sudah pulang menemani Isra dan Asri karena besok ada ulangan katanya. Bang Muis duduk berdekatan dengan Kak Rita, demikian juga dengan Bang Mus yang duduk berdampingan dengan Kak Afni.

Ibu bersandar ke dinding sambil memijit-mijit kepala, mungkin rasa lelah membuat tenaga Ibu berkurang. Bang Mul meraba-raba kuduk Ibu dan mengurutnya beberapa saat.

Memang Bang Mul yang akan selalu berbuat demikian, kedua abangku yang lain jangan pernah berharap mau melakukan hal-hal begitu terhadap Ibu. Ibu pun lebih sering mendengar omongan Bang Mul dari pada Bang Muis dan Bang Mus. Kedua Abangnya yang lain tidak bisa membantah pemberian Ibu untuk Bang Mul.

Aku tidak mengetahui bagaimana tanggapan kedua abangku dan istrinya itu, keputusan Ibu sulit sekali dibantah. Kak Sita saja yang tiap hari berhadapan dengan Ibu karena rumahnya bersebelahan dengan rumah kami, tidak pernah mengeluh dan menolak permintaan Ibu.

Kasihan juga Kak Sita hari ini, seharian bekerja di dapur dan menerima perintah Ibu seorang diri tanpa Kak Rita dan Kak Afni yang selalu mengelak saat Ibu meminta bantuan.

Kedekatan Ibu dengan kedua menantunya yang terakhir memang kerap menjadi tanda tanya bagiku, mereka tidak berani protes kepada Ibu saat perhatian Ibu lebih diberikan kepada Kak Sita.

Apalagi saat Ibu menghadiahi mobil untuk Bang Mul, dapat kutangkap rasa iri dan cibiran tidak menerima dari Kak Rita dan Kak Afni. Mau bagaimana lagi, keputusan Ibu sudah dipikirkan matang-matang dan tidak bisa tawar-menawar.

“Jadi ke rumah Pak Cek kemarin itu?” tanya Bang Mul.

“Jadi bang,”

“Sayang sekali malam ini beliau tidak datang,”

“Tidak Ibu undang bagaimana dia datang,” ujar Ibu. “Dia kan sibuk, lain waktu kita undang!”

Bang Mul mengangguk-angguk. Kak Rita dan Kak Afni terlihat gerah berada di antara kami. Sesekali menoleh ke arah suami mereka, mungkin minta pendapat untuk segera beranjak dari rumah kami. Bang Muis dan Bang Mus masih mengepulkan asap rokok, tidak menghiraukan istri mereka.

“Apa tanggapan Pak Cek?” tanya Bang Muis dengan suara beratnya, dari kecil sampai sekarang aku masih merasa ngeri mendengar suara abangku ini.

“Diminta langsung mengajar, bang,”

“Baguslah! Pergunakan kesempatan itu dengan baik!”

“Iya, bang,”

Sudah tabiat Bang Muis demikian, tidak menatapku walaupun dia sedang berbicara denganku. Matanya menerawang ke atap, ke arah lampu berbentuk bunga mawar berwarna putih terang.

Bang Mus bersikap seperti biasa, suaranya akan terdengar saat orang lain bertanya atau meminta pendapatnya. Padahal, aku sering berharap lebih pada Bang Mus.

Saat Bang Mul dan Bang Muis bersitegang, satu-satunya yang mampu melerai mungkin Bang Mus. Sering sekali kudengar Bang Mul dan Bang Muis silang pendapat, apalagi jika di dalamnya terlibat Ibu maka perkara akan menjadi rumit. Dan Bang Mus, hanya diam saja.

Waktu terus membawa malam pergi jauh, Bang Muis dan Bang Mus pamit bersama istri mereka. Sudah tabiat keduanya pula, Kak Rita dan Kak Afni tidak mengeluarkan sepatah kata pun untukku bahkan Ibu.

Perang dingin semenjak Ibu membantu membangun rumah Bang Mul, kemudian berlanjut pemberian mobil, dan mungkin hal-hal kecil lain memberi kedua istri abangku itu begitu sensitif mengeluarkan suara berdialog dengan Ibu.

Mereka paham Ibu tidak akan pernah mau mengangkat topik pembicaraan, sebagai orang yang lebih muda, sebagai menantu pula, mereka sendiri yang harus membuang ego dan mengambil hati Ibu dengan cara apapun.

Suatu saat mereka akan berubah dengan sendirinya, mungkin.

***

Berada di kampung selalu saja mendapatkan fenomena menarik, waktu yang singkat harus bisa dipergunakan dengan maksimal agar bisa berinteraksi dengan sesama.

Ada saja pesta dalam sebulan, ada yang disengaja seperti pesta pernikahan, pesta turun mandi bayi, pesta sunnah rasul, dan ada pula pesta yang tidak disengaja.

Tidak tepat rasanya dikatakan pesta tidak disengaja, katakan kenduri karena acara ini berkenaan dengan kematian. Di kampungku, bahkan hampir seluruh daerah di Kota Pesisir Barat, kenduri kematian ini berlangsung selama tujuh hari setelah orang meninggal.

Kami tidak diundang untuk datang ke rumah kenduri tersebut, namun kami harus datang meramaikan dengan doa dan makan bersama. Kami yang datang pun tidak berani melangkah dengan tangan kosong, paling tidak membawa gula atau kue dalam talam besar atau kecil.

Untuk keluarga dekat sudah suatu kewajiban membawa talam besar jika ada kerabat meninggal di hari ke tiga, lima atau tujuh. Untuk tetangga atau tidak memiliki ikatan kekerabatan kami hanya akan membawa talam kecil berisi lima belas sampai dua puluh potong kue basah.

Selain tujuh hari tersebut, kenduri kematian dalam memohon doa keselamatan bagi orang yang meninggal juga terdapat kenduri pada hari tertentu, misalnya sepuluh, empatbelas, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, empat puluh empat, seratus, bahkan setahun. Selain dari tujuh itu pula, kami harus mendapatkan undangan agar bisa menghadiri kenduri.

Hanya saja, kenduri di hari empat puluh atau empat puluh empat yang dilaksanakan secara besar-besaran. Seluruh kampung dan sanak kerabat jauh akan diundang, dan yang diundang juga harus membawa kue kering khas daerah dalam talam besar. Ada pula yang membawa kue dalam kotak besar untuk disajikan di depan khalayak.

Kenduri empat puluh ini berlangsung sampai pagi, setelah lewat pukul sebelas malam akan diadakan tadarus al-Quran sampai menjelang subuh. Di sela-sela istirahat membaca ayat-ayat suci, qari yang diundang terdiri dari lima sampai enam orang melantunkan nyanyian pujian terhadap Tuhan.

Aku datang sebentar ke rumah kenduri empat puluh bersama Ibu, di Kampung Pesisir masih kuat sekali tradisi pergi-pergi kenduri. Masyarakat kami masih memegang teguh menghadiri kenduri, orang akan datang jika kita datang ke rumah mereka, demikian sebaliknya.

Ingatanku entah di mana saat sampai di rumah kenduri empat puluh ini, rumahnya di ujung kampung berbatasan dengan kebun karet. Di pinggir jalan rumah ini adalah jalan setapak masuk ke kebun karet, di mana sebagian besar orang Kampung Pesisir bekerja di kebun karet dari pagi sampai menjelang siang.

Rumah kenduri ini masih terbuat dari setengah permanen, atapnya pun masih setengah seng dan setengah rumbia. Sebagai warga Kampung Pesisir aku termasuk orang yang jarang mengelilingi kampungku yang luas. Sewaktu kecil pun Ibu tidak pernah mengizinkanku bermain sampai ke sudut terkecil kampungku.

Walaupun aku sekarang berada di kenduri empat puluh, aku tidak ingat benar siapa yang baru meninggal empat puluh hari lalu. Apalagi selama di perantauan aku hanya pulang di dua lebaran, libur panjang pun aku tidak pulang karena ada pekerjaan paruh waktu yang mesti kukerjakan.

Aku menjumpai Asma di antara perempuan lain di salah satu ruangan bertembok kayu dari bawah sampai ke atap. Dinding kayu ini sebagian sudah bolong, jika ada orang jahil mudah saja mengintip dari sana.

Suasana di sini terasa adem dan tidak panas, mungkin karena atap rumbia yang sudah berubah warna cokelat tua. Di beberapa bagian atap rumah ini sudah menampakkan berkas sinar mahatari yang jatuh vertikal ke lantai bersemen kasar.

Aura ruangan ini boleh saja menghangatkan badan, tetapi tatapan mata dari perempuan-perempuan ini tidak membuatku nyaman. Mungkin, aku terlalu berlebihan menilai tatap mereka terhadap hadirku. Mungkin juga mereka memang mengamati seluruh gerak tubuhku yang membuat mereka kagum karena satu dan lain hal istimewa dalam diriku.

Secara keseluruhan, tidak semua perempuan di ruangan ini kukenali. Sangat lama sekali aku merantau ke Banda meninggalkan Kampung Pesisir semenjak lulus sekolah dasar.

Aku menamatkan sekolah menengah pertama dan atas di salah satu pesantren putri di Banda, salah satu sekolah favorit hingga kini. Ibu dan Ayah waktu itu didukung ketiga abang mendaftarkanku ke sekolah unggulan, karena keluarga kami sanggup membiayai sekolahku.

Imbasnya, waktu bermainku di kampung tersisa sangat sedikit. Aku hanya bisa bermain bersama teman-teman seusiaku di kampung saat liburan panjang selama sebulan, kemudian puasa selama sebulan dan libur sekolah yang kadang hanya seminggu.

Liburan di kampung waktu itu juga dibatasi oleh Ibu, gerak-gerikku harus dalam kontrol Ibu. Sehingga aku hanya bermain bersama Asma, Irus, Risma dan Misan.

Empat perempuan inilah yang menjadi teman sepermainanku, tidak ada alasan kerabat paling dekat melainkan mereka tetanggaku, rumah mereka hanya berselang satu dua dari rumah orang lain dan kebetulan usia kami sebaya waktu itu.

Selain empat perempuan ini, di dusun pertama Kampung Pesisir aku hanya dekat dengan satu orang laki-laki. Kedekatan kami pun karena rumahnya di depan rumahku dan karena kami selalu sekelas dari kelas satu sampai kelas enam, sama seperti keempat teman perempuanku.

Laki-laki ini, belum kulihat semenjak kepulanganku di Kampung Pesisir. Keempat temanku juga tidak pernah menyinggung perihal laki-laki itu, aku juga belum sempat bertanya lebih jauh mengenai hal ini.

Pertanyaanku akan bersifat sangat sensitif di umur yang menjurus ke arah serius, walaupun aku tidak bermaksud ke lain soal tetapi menanyakan laki-laki dewasa tentu membuat pikiran bisa kacau ke jalan tak tentu.

Seorang perempuan yang duduk di samping kanan menempuk pundakku, usianya mungkin seumuran Ibu. Perempuan ini banyak bertanya akan kepulanganku dan aktivitasku sesudah berada di Kampung Pesisir.

Aku menjawab seadanya dan tidak berani pula balik bertanya siapa gerangan perempuan ini, rasa malu masih menyelimuti hariku semenjak hari pertama aku berada di Kampung Pesisir untuk menghabiskan semua waktuku ke depan.

“Sudah ada jodoh, Inong?” perempuan itu bertanya persoalan yang ingin sekali kuhindari saat bertemu dengan siapa saja di Kampung Pesisir.

Aku mengulur senyum.

“Pasti sudah ada bukan? Mana mungkin ibu dosen lulusan luar negeri belum bertemu jodoh?” perempuan itu sedikit berbisik di telingaku. Bisikannya bagai dia berbicara dengan suara lantang sehingga mampu didengar oleh semua orang dalam ruangan yang kurasa sudah memanas ini.

Suaraku tidak keluar sama sekali. Asma menyenggol dan mengisyaratkan meneguk teh hangat yang sudah dihidangkan entah oleh siapa di depanku. Tanpa memperpanjang waktu, kuteguk teh tersebut dengan pelan sekali. Rasa yang entah menjalari seluruh tubuhku, sesaat pikiranku seperti menjadi jernih dan bisa menanggapi pertanyaan perempuan yang sedang memakan sepotong kue di sampingku.

“Kamu anak perempuan, Inong,” ujarnya sesaat kemudian. “Perempuan itu tidak boleh menunda-nunda jodoh, usia makan tua dan keriput menjadi petaka. Kamu harus segera mendapat laki-laki yang tepat sebelum usiamu lebih tua, belum apa-apa kamu sudah punya anak. Bayangkan jika kamu menunda-nunda, umur tiga puluh belum punya anak bisa bahaya bukan?”

Bahaya?

“Iya, umur kamu tiga puluh baru menikah dan belum tentu punya anak. Kalau langsung hamil, umur tiga puluh satu melahirkan. Anakmu terus beranjak dewasa sedangkan umurmu juga semakin tua. Anakmu berusia sepuluh tahun kamu sudah empat puluh lebih, anakmu berusia dua puluh tahun kamu sudah lime puluh lebih. Kapan melihat anakmu menikah? Kapan menimbang cucu?”

Oh, benar! Aku jadi sangat galau dibuat perempuan entah siapa ini.

“Perempuan memang harus cepat menikah, banyak tuntutan setelah itu. Laki-laki pun tidak dilarang menikah di usia muda, tetapi laki-laki harus mengumpulkan banyak persiapan sebelum berumah tangga. Tanggung jawab laki-laki besar sekali, siap batin belum tentu siap fisik. Zaman terus berjalan, kebutuhan semakin banyak. Tugas laki-laki mencari nafkah untuk anak istri semakin sulit kalau bukan pegawai negeri di kampung kita ini. Jika sudah berumah tangga, laki-laki menanggung semua biaya hidup anak istri mulai dari membangun rumah, kebutuhan dapur, kebutuhan pakaian, dan kebutuhan lain!”

Benar begitu? Aku tidak sejalan dengan pemikiran perempuan ini. Banyak pula perempuan yang bekerja dari pagi sampai malam.

“Laki-laki adalah penentu hidup kita sampai akhir hayat,” sahut Asma. Aku menoleh.

Sejak tadi Asma menguping pembicaraanku dengan perempuan ini. Berarti ada dua perempuan yang memiliki pemikiran yang sama di hari ini, jika aku meminta pendapat Irus, Risma dan Misan, sudah bisa kupastikan mereka dipihak Asma dan perempuan ini. Dengan kata lain, perempuan sangat bergantung hidupnya pada laki-laki di Kampung Pesisir ini.

Aku memilih menjadi pendengar budiman saja, menyaring pendapat banyak mulut bisa membuat pertimbangan panjang dalam menentukan pilihan hidupku.

Keputusanku menetap di Kampung Pesisir sudah menjadi harga mati, Ibu tidak pernah mengizinkanku keluar lagi dari kampung halaman selagi Ibu masih bernafas. Kurasa sudah cukup pula Ibu bersabar selama lebih kurang tiga belas tahun lebih sendirian di rumah.

Aku juga harus menggenapkan pertualangan ke belahan bumi dalam waktu lama karena tugasku sudah selesai. Melanjutkan pendidikan belum terpikirkan sama sekali, apalagi pindah tempat tinggal dan meninggalkan semua fasilitas yang diwariskan Ibu kepadaku.

Banyak mendengar, banyak pula penilaian yang nanti kutempatkan pada posisi tertentu. Kehidupan Kampung Pesisir tentu saja berbanding terbalik dengan kehidupan di Banda, bahkan kehidupan di Amerika.

Jauh sekali jika aku membandingkan Kampung Pesisir dengan benua empat musim tersebut. Kampung Pesisir hanya punya separuh kacamata dalam menilai seluruh kehidupan di dunia ini, sedangkan di Amerika banyak sekali kacamata yang bersifat liberal dalam menilai hal-hal tertentu.

Dengan membandingkan kemudian pemikiran warga Kampung Pesisir tertinggal, tidak demikian. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan tersendiri, karena beda budaya beda pula cara meletakkan sudut pandang dalam berpikir.

Kurasa, kehidupan di Amerika yang bebas tidak selamanya mampu bersaing dengan kehidupan di Kampung Pesisir yang penuh tata krama.

Perempuan di sampingku masih terus berbicara dengan topik beragam. Sesekali aku mengiyakan dan tersenyum. Tipikal perempuan ini tidak bisa dibantah setiap suara yang keluar dari mulutnya. Sekali kubantah dia langsung memotong dan tidak menerima pendapatku.

Suara perempuan itu masih terdengar di antara suara-suara orang lain, denting piring disusun di atas meja prasmanan, perempuan-perempuan lalu-lalang mengangkat piring kotor yang dibawa ke belakang, ada yang menyendok nasi dan lauk dengan suara berisik, bahkan ada yang menyusui. Sebagai tamu, aku tidak membantu pekerjaan di rumah kenduri ini.

Seperti yang sudah kukatakan tadi, orang yang meninggal ini sangat jarak kekerabatan denganku. Asma juga tidak membantu perempuan lain di dapur dan di dekat sumur membersihkan piring kotor. Mungkin pula karena ini bukan dusun kami, jadi sudah menjadi tugas dan tanggung jawab perempuan-perempuan dari dusun ini.

Ibu yang duduk di sudut ruangan memberi isyarat untuk segera menghampiri meja prasmanan. Aku mengerti sekali maksud Ibu, kami makan dan setelah itu pulang.

Aku sudah tidak tahan berlama-lama di ruangan ini, nyaman dan teduh tidak panas kurasakan sampai ke tulang, tetapi pembicaraan perempuan yang duduk di sampingku semakin tidak terkontrol. Mungkin memang tipikal orang suka membual, apa saja jadi topik pembicaraan walau terkesan tidak perlu.

Aku kembali duduk di dekat Asma setelah mengisi piring dengan nasi dan lauk sealakadarnya. Perempuan yang tadi banyak bicara sudah menghilang entah ke mana.

“Ke mana ibu yang duduk di sini?” tanyaku. Asma menunjuk ke arah dapur.

Aku menyuap nasi yang sedikit keras.

“Aku lupa dengan ibu itu,”

“Ohya? Kupikir kamu ingat, akrab sekali pembicaraan kalian,”

“Mencoba akrab dan mendengar saja,”

“Dia itu bibinya Haikal,”

Haikal? Nama yang sempat terlintas dibenakku. Mungkin ini kesempatanku menggali lebih banyak tentang laki-laki ini. Pantas saja aku merasa perempuan itu mirip dengan seseorang, cuma kesalahan pada banyak omongan jadi hilang kemiripan tersebut.

Aku tahu Haikal punya bibi, tetapi tidak tinggal di Kampung Pesisir, aku pun lupa di mana tepatnya perempuan itu menetap bersama keluarganya.

“Haikal katamu?”

“Iya, masa kamu lupa?” Asma melepas pandangan ke luar rumah. “Sudah lama Haikal kerja di kota, katanya sebagai penjaga toko kain. Aku pun tidak tahu persis di mana tokonya, kamu tahu sendiri aku jarang sekali ke kota, dalam setahun paling dua kali saat lebaran puasa dan haji!”

“Sudah bekerja dia rupanya?”

“Lho? Apa yang ditunggu kalau tidak bekerja? Mau beli emas pakai apa dia nanti kalau mau kawin?”

“Haikal belum?”

“Kamu pikir?”

Aku mendekap kata-kata. Ucapan Asma membuatku benar-benar terombang-ambing. Haikal punya sesuatu yang menarik dalam dirinya. Laki-laki Kampung Pesisir ini memiliki kharisma sehingga perempuan bisa menyukai langsung pada pandangan pertama.

Semula aku tidak menyadari sama sekali. Rasa ini mulai kuketahui kebenarannya saat aku hampir selesai sekolah menengah atas, di saat masa puber yang menjadi-jadi aku melihat Haikal sangat mempesona di malam takbiran lebaran puasa.

Setelah itu, beberapa kali aku memulai percakapan remaja dengan Haikal dan berujung pada ketidakpastian. Aku yang harus kembali ke Banda, Haikal hanya menamatkan sekolah sampai menengah lantas tidak melanjutkan kembali. Terakhir kudengar, Haikal bekerja, itu saja.

“Terus dia tinggal di mana?”

“Ya di kota!”

Aku mengangguk. Asma tidak melanjutkan lagi. Aku rasa sudah cukup mengetahui sedikit tentang Haikal. Aku pun ingin sekali melihat rupa laki-laki itu, apakah masih seperti dulu?

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Good Guy in Disguise
685      500     4     
Inspirational
It started with an affair.
NIKAH MUDA
2839      1043     3     
Romance
Oh tidak, kenapa harus dijodohin sih bun?,aku ini masih 18 tahun loh kakak aja yang udah 27 tapi belum nikah-nikah gak ibun jodohin sekalian, emang siapa sih yang mau jadi suami aku itu? apa dia om-om tua gendut dan botak, pokoknya aku gak mau!!,BIG NO!!. VALERRIE ANDARA ADIWIJAYA KUSUMA Segitu gak lakunya ya gue, sampe-sampe mama mau jodohin sama anak SMA, what apa kata orang nanti, pasti g...
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...
Aku Benci Hujan
7056      1861     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Oh My Heartbeat!
382      268     1     
Romance
Tentang seseorang yang baru saja merasakan cinta di umur 19 tahun.
in Silence
460      328     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Premium
Cinta Dalam Dilema
37888      4673     0     
Romance
Sebagai anak bungsu, Asti (17) semestinya menjadi pusat perhatian dan kasih sayang ayah-bunda. Tapi tidak, Asti harus mengalah pada Tina (20) kakaknya. Segala bentuk perhatian dan kasih sayang orang tuanya justru lebih banyak tercurah pada Tina. Hal ini terjadi karena sejak kecil Tina sering sakit-sakitan. Berkali-kali masuk rumah sakit. Kenyataan ini menjadikan kedua orang tuanya selalu mencemas...
Lantas?
35      35     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Kasih yang Tak Sampai
629      429     0     
Short Story
Terkadang cinta itu tak harus memiliki. Karena cinta sejati adalah ketika kita melihat orang kita cintai bahagia. Walaupun dia bahagia bukan bersama kita.
ZAHIRSYAH
6452      1908     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.