Pertemuanku dengan Asma tidak berhenti sampai pada pagi itu. Asma sudah menetap di Kampung Pesisir menyisakan waktunya bersamaku. Asma juga mengajakku mencuci pakaian di rakit bambu walau aku menolak dengan alasan tak lagi terbiasa.
Aku datang ke sungai. Menjenguk Asma dan perempuan lain mencuci pakaian di atas rakit bambu diselingi gelak tawa. Cucian mereka mengunung di atas rakit, suara mereka saling bersaing di antara air mengalir.
Kadang tidak tahu siapa yang bicara, siapa yang diam, semua ingin bicara dan mengutarakan isi hati mereka. Rakit ini selalu menjadi tempat diskusi menarik untuk perempuan-perempuan Kampung Pesisir. Sebenarnya bukan diskusi biasa, melainkan diskusi menjelek-jelekkan orang lain, kebanyakan demikian.
Gemercik air sungai yang diambil dengan tangan kanan menambah simfoni kata-kata mereka, lalu tangan kanan berganti menggosok sabun ke kain yang sedang dicuci, menyikat, terakhir dibilas setelah dicelupkan ke air mengalir di samping mereka.
Begitu seterusnya. Air yang sedang mengalir di sungai dalam belum tentu membawa pergi dengan cepat air sabun, yang duduk di sisi belakang tentu selalu kena imbas air sabun yang mengalir. Cara mensiasatinya adalah dengan tidak membilas di waktu yang sama. Pengalaman sudah mengajarkan perempuan-perempuan ini berpikir lebih maju dari pada belajar dengan banyak teori.
Aku duduk di pinggir sungai. Memperhatikan perempuan-perempuan mencuci dengan live gosip punya aura tersendiri dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Walau aku tidak ikut serta dalam pembicaraan mereka, aku masih mendengar omongan mereka. Jika gosip itu termasuk dalam dosa menjelekkan orang lain, aku pun ikut serta dalam kubangan tersebut.
Matahari sudah berangkat meninggalkan fajar. Cahaya matahari terjun bebas ke dasar sungai. Di sampingku duduk dengan manis seorang diri, sebatang pohon jambu condong ke rakit bambu.
Daun-daun yang lebat membuat teduh pencuci baju di atas rakit bambu di sungai terus mengalir. Masih untung kali ini tidak ada Eceng Gondok menghiasi sungai, mungkin baru dibersihakan atau sudah dibawa banjir sebelum aku pulang. Biasanya Eceng Gondok ini jika tidak dibersihkan akan tertahan, saat banjirlah tanaman cepat tumbuh itu mengalir pelan-pelan mengikuti arus.
Hari ini ada empat orang yang sedang mencuci, rata-rata seumuran denganku dan Asma. Misan paling tua mengenakan handuk putih menutup rambutnya, Irus yang berbadan dua kali badan Misan memakai topi yang anak rambutnya menyembul keluar, dan Risma yang paling kurus di antara mereka berempat melilitkan kain sarung ke kepalanya, hanya Asma yang berkerudung hitam rapi.
Mereka duduk saling berhadapan. Irus dan Risma duduk menghadap utara ke arah air mengalir, Misan dan Asma duduk menghadap ke selatan. Di samping mereka masing-masing pakaian kotor menumpuk, mulut terus berbicara sambil menggosok sabun ke pakaian kotor, menyikat pakaian maupun membilas. Topik yang dibicarakan pun berganti-ganti, inti dari semua yang mereka katakan adalah tentang seseorang.
“Nong! Diam saja kamu di situ?” kata Irus mengagetkanku. “Sudah jadi perempuan kota, tak sudi lagi nyuci pakaian di sungai ya?”
Aku jadi salah tingkah. Irus tidak salah. Selama kuliah di Banda, bila pun pulang kampung aku tidak pernah lagi mau mencuci pakaian di sungai. Rasanya, berbagai kotoran masih melekat di pakaianku. Rakit-rakit ini masih mempunyai kakus walau kutahu sebagian besar rumah di Kampung Pesisir sudah punya kamar mandi.
Seandainya hanya kami saja yang mencuci di sungai, aku bisa memikirkan kembali membawa cucian ke mari. Nyatanya, sepanjang sungai, tidak hanya di Kampung Pesisir, pasti terdapat rakit bambu dengan kakus di ujung arah air mengalir. Sesekali bahkan terlihat potongan kotoran berwarna kuning mengapung di sungai, lengkap sudah pewangi pakaian.
Aku jadi geli sendiri.
“Bawalah pakaian kotormu ke sini, kapan lagi kamu mencuci di sungai bersama kami!” Risma malah mendukung Irus.
“Kalian kayak tidak tahu saja, orang yang sudah berpendidikan tinggi takutlah terpeleset di sungai nanti!” Asma ikut-ikutan memalakku. Niat Asma bisa jadi sebuah candaan. Bagi Risma, Irus dan Misan tidak demikian. Mereka terlihat bisik-bisik.
“Oh iya, apalagi kalau datang calon suami, bisa-bisa langsung kabur sebelum jadi!” Misan semakin memanas-manasi.
“Benar sudah ada calon, Nong?” Irus memastikan padaku.
“Sudahlah! Mana mungkin belum ada, pendidikan sudah sangat tinggi, keluar negeri pula!” sahut Risma.
“Benar! Si calon suami juga harus sudah sekolah ke luar negeri. Mana mungkin suaminya kayak suami kita, sekolah tak ada akhirnya jadi buruh kasar!” Asma menimpali, membuat dadaku sesak. Mereka tidak memberiku jatah pembelaan diri. Setelah melempar masalah, orang yang dibicarakan ada di depan mata, mereka tetap saja saling tambal suara satu sama lain tanpa mau mendengar dari orang bersangkutan.
Aku jadi kerdil. Risma, Irus, Misan dan Asma sudah tak terkendali dengan suara bising mereka. Pembicaraan mereka sudah seperti makanan empuk sebelum siang. Aku yang menjadi sasaran utama dalam cerita cinta mereka luput dari pandangan.
“Di zaman sekarang mana ada laki-laki yang berani melamar perempuan berpendidikan tinggi. Kamu mesti pikir-pikir lagi, Nong! Di kampung kita nggak ada laki-laki yang sudah sekolah setinggi kamu, entah pula di Kota Pesisir Barat, mungkin ada, mungkin juga tidak. Kamu harus cari yang sepadan denganmu biar tidak kami-kami bisa diam. Kalau tidak ya, orang-orang pada bicara calon suamimu nanti!” Risma sangat tegas dengan kata-katanya.
“Benar Ris,” sambung Irus. “Masa perempuan sekolah tinggi kawinnya sama petani? Nggak sederajat kan ya, suami akan tunduk pada mau istri, istri jadi suka ngatur-ngatur ini itu, suami jadi tidak bebas mau melakukan apa. Ditambah lagi dengan penghasilan suami pas-pasan makin membuang sengsara hidup kamu, Nong!”
“Mau beli kebutuhan sehari-hari suami akan minta jatah dari gaji kamu, bagaimana dengan kebutuhan rumah tangga yang seharusnya tanggung jawab suami!” Misan tak mau ketinggalan. “Makanya laki-laki sangat takut mendekati perempuan berpendidikan tinggi, orang seperti kamu itu sudah pasti dapat kerja yang bagus dengan gaji besar. Paling bentar lagi kamu akan jadi pegawai, makan miris saja laki-laki yang melirikmu. Kecuali ya, kamu sudah punya stok laki-laki yang akan melamarmu dalam waktu dekat ini!”
Makin mengajara saja perempuan-perempuan di depanku ini. Mereka bicara padaku tetapi tidak melihat ke arahku. Simpanan laki-laki? Mereka pikir aku sekolah tinggi-tinggi sudah pasti menemukan laki-laki yang cocok? Aku tidak pernah berpikir membawa pulang laki-laki idaman ke Kampung Pesisir. Sebagian besar waktu kuhabiskan untuk belajar, jalan-jalan ke beberapa tempat saat liburan, serta menyelesaikan tugas akhir dengan penat dan risau takut tidak lulus.
Mulutku sudah terbuka saat Irus kembali bersuara. “Kamu mau menikah dengan laki-laki kampung, Nong?”
Belum sempat aku menjawab Asma sudah mendahului, “Mana mungkin, rata-rata laki-laki di kampung kita kan petani! Setidaknya harus dapat pegawai baru bisa dikatakan sukses dalam rumah tangga!”
Sukses? Maksudnya?
“Kamu akan bahagia mendapatkan suami pegawai, pendidikan tidak setara nggak jadi masalah. Pegawai itu sejahtera lho, Nong! Banyak uang, bisa ambil kredit di bank, tiap bulan tidak pusing memikirkan nasib anak istri,” Asma menjelaskan kembali tanpa sadar aku benar-benar tidak mengerti. “Sayangnya, di kampung kita ini tidak ada lajang yang jadi pegawai!”
Orang-orang Kampung Pesisir masih menganggap pegawai segala. Siapa pun orang mungkin demikian. Pemerintah sudah menjamin kesejahteraan hidup pegawai sampai masa tua. Aku semakin bingung. Niat membela diri malah terhempas pada dilema.
Asma, Irus, Risma dan Misan mencercaku dengan banyak kata tanpa meminta penjelasan dariku. Mereka mengejar mimpi-mimpi yang belum tentu teraba di alam nyata. Mereka terlalu khawatir pada hidupku yang mendaki beberapa tingkat di atas mereka.
Mereka beranggapan aku sangat pemilih akan laki-laki yang kemudian menjalani separuh sisa hidupnya denganku. Mereka mengiring aku pada galau akan pasangan hidup. Mereka terus membawa aku ke alam angan-angan yang diciptakan agar ketakutanku semakin keluar dari persembunyian. Aku takut, karena aku perempuan yang butuh laki-laki di sisiku.
Cucian mereka sudah hampir rampung. Suara mereka yang menyuarakan kebenaran hidupku belum pula habis. Mereka tahu benar hidupku akan dibawa ke mana. Sebagai perempuan dengan pendidikan tinggi aku jadi tidak berdaya menghadapi perempuan-perempuan yang pengalamannya tidak sedikit dalam berumah tangga.
Irus sangat sabar menghadapi keras rumah tangganya walau belum dikaruniai anak. Risma begitu sabar pula menghadapi hamil yang berselang dua tahun sekali, anak bungsunya masih balita Risma sudah mengandung lagi. Misan cukup bersabar dengan seorang anak saja. Dan Asma, seperti yang sudah kukasih tahu punya dua orang anak.
“Belum ada yang selesai ya?” sebuah suara mengejutkanku dari belakang. Yusra datang dengan menenteng pakaian kotor.
“Kamu lihat sendiri berapa banyak cucian kami, Yus!” jawab Irus.
“Lain kali sehabis subuh langsung ke mari jika tidak mau menunggu, kamu selalu terlambat sih!” sambung Risma.
“Biasalah, masak dulu, suapi makan suami dulu!” lanjut Misan.
“Suami kok disuapi, Yus?” Asma ikut nimbrung.
Aku memandang ke arah Yusra, ekspresi wajahnya tidak berubah. Yusra sudah tahu benar tabiat keempat orang di atas rakit itu. Mereka selalu mencuci bersama di sini, kali saja di lain hari Risma yang telat, Irus yang terlambat, Misan yang harus menunggu rakit kosong atau Asma yang mungkin suapi sarapan suaminya. Aku tertawa dalam hati. Sudah lama aku tidak menemukan suasana renyah seperti ini.
“Jangan pula kamu harap dapat suapi suami sarapan ya, Nong!” imbasnya aku juga yang kena. Misan kembali memulai. Akan panjang lagi cerita tentang jodohku yang masih di alam maya. “Kamu sibuk, suami sibuk, mana sempat saling duduk di teras makan bersama!”
Tawa mereka membahana. Aku ikut tertawa.
“Tak apalah, Nong!” Yusra mencairkan suasana. Walau Yusra tidak terlibat langsung sejak awal, sepotong cerita di akhir mungkin saja akan mempermanis seluruhnya. “Kamu suapi yang lain, suamimu pasti akan betah di rumah!”
Jalan ceritanya sudah mengambang ke mana-mana. Aku yang merasa terzalimi dengan ocehan sebelumnya kini memahami benar mereka bergurau. Aku menikmati masa-masa ini sebelum kutemui aktivitas yang membuang waktuku secara keseluruhan padanya. Saat aku sudah mulai berkarir di luar Kampung Pesisir, waktu seperti ini tidaklah sempat kujalani lagi.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah ada yang lamar, Nong?” tanya Yusra kemudian. Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanya dan kuhindari. Dari tadi aku ingin membela diri, tetapi pertanyaan ini pula yang membungkamkan suara lain. Tidak ada yang menyahut seperti tadi, maunya ada yang nyelutuk di antara Misan, Irus, Risma atau Asma.
“Sudah ada laki-laki yang datang ke rumahmu?” Yusra meminta jawaban dariku. Aku gagap.
“Suamimu jangan sampai kalah dari kamu lho, Nong!” ujar Yusra lagi.
“Belum ada yang datang melamar, aku masih belum berpikir menikah dalam waktu dekat,” baru kali ini suaranya terdengar nyata.
“Mana mungkin,” Yusra tidak percaya. “Umur kamu sudah wajib menikah lho, atau jangan-jangan kamu mau pendidikan suami di atas kamu kan ya?” selidik Yusra membuatku tidak nyaman. “Tidak ada di Kampung Pesisir yang pendidikannya sudah keluar negeri, bahkan ya, di Kota Pesisir Barat saja bisa dihitung jari berapa laki-laki yang sudah kuliah tinggi. Lagi pula, mereka rata-rata sudah menikah kok!”
Pergaulan Yusra tidak hanya di Kampung Pesisir saja, Yusra pernah kuliah di Kota Pesisir Barat. Sekarang kedudukannya paling tinggi di antara kami semua dengan status pegawai. Mungkin hari ini tidak bekerja karena satu dan lain hal. Suaminya juga pegawai. Yusra dan suami pasti banyak tahu, kenalan mereka bukan orang-orang kampung yang bekerja sebagai petani saja.
Terakhir kudengar, suami Yusra akan menjadi kepala bagian di kantor bupati. Semakin menanjak saja karir suami Yusra, secara tidak langsung Yusra juga dipromosikan suaminya. Kudengar dari Ibu, Yusra akan menjadi kepala sekolah di umur yang masih muda.
“Jangan bersedih, pasti ada kok suami untuk kamu!” potong Asma melihat wajahku sudah sangat keruh.
“Nanti, kalau kamu sudah menikah jangan duduk-duduk di pinggir sungai begini. Sesekali bawa saja cucian ke sungai. Kapan lagi kamu cerita-cerita sama kami kalau bukan di sungai begini?” kata Irus yang sudah siap mencuci. “Yusra saja yang banyak uang tidak pernah lupa sama kami!” nada terakhir Irus mengiris hatiku.
“Bisa saja kamu, Rus!” kata Yusra yang beranjak dari duduknya. Sekali lompat Yusra sudah berada di atas rakit bambu. Rakit itu oleng dan tenggelam sebentar sebelum mengapung lagi. Nada protes keluar dari Misan, Risma dan Asma. Yusra santai saja duduk di posisi yang ditinggalkan Irus. “Pegawai tidak menjamin banyak uang, bisa jadi utang di mana-mana!”
“Utang boleh di mana-mana, tetapi tiap bulan dapat jatah uang ini itu dari pemerintah!” Irus tidak mau tinggal diam. Seakan paham betul posisi pegawai negeri itu. “Ayolah kita pulang, Nong!”
Aku berpaling pada Asma, tidak enak pula aku pulang lebih awal karena Asma yang mengajakku. Asma mengangguk setuju. Bergegas meninggalkan rakit bambu penuh cerita pagi dengan lesu. Irus berjalan sedikit lunglai dengan ember berisi pakaian bersih di kepalanya.
“Kamu sudah mulai bekerja, Nong?” tanya Irus saat kami berpas-pasan.
“Minggu depan baru masuk kerja, Rus,”
“Baguslah kalau begitu. Kamu jangan sombong kalau sudah ada kerja. Jangan seperti Yusra, mentang-mentang sudah pegawai sikapnya setinggi langit!” dari nada bicara Irus aku menerka Yusra tidak sebaik omongannya.
“Jangan banyak bicarakan orang, tidak baik, Rus!” tegurku. Irus nyengir.
***