Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tulus Paling Serius
MENU
About Us  

"Ma, maafin mas, Tania kabur karena mas," aku seorang pemuda seraya bersimpuh.

"Bukan salahnya mas, udah duduk di atas jangan begitu." Melinda yang mengkhawatirkan keberadaan putrinya juga tidak mau menyalahkan putra angkatnya yang memang sama sekali tidak bersalah.

"Ma, mas sudah putuskan, untuk tawaran papa itu mas tidak akan mengambilnya."

Melinda kaget lalu bertanya, "kenapa sayang, itu cita-cita kamu loh."

Melinda kaget mendengar ucapan Arsya yang menolak tawaran Anton, yang telah berjanji akan menguliahkannya keluar negeri dengan jurusan kedokteran. Padahal, jelas-jelas itu adalah mimpinya sejak lama.

"Enggak, Ma. Mas, nggak bisa jika melihat Tania terlalu membenci mas."

Mendengar putra kesayangan itu berujar begitu ada rasa sakit di hatinya. Melinda merasa gagal mendidik anak-anaknya agar selalu damai.

"Tania kabur karena salah paham, Ma. Tania kira aku akan terima tawaran papa."

Melinda menatap sendu putra yang kini sudah beranjak dewasa.

"Kamu berhak sayang, nerima semua itu dari papa, karena kamu tanggung jawab kami. Tidak perlu pikirkan Tania, karena dia juga punya haknya sendiri nanti, jika sudah waktunya." Melinda masih ingin Arsya merubah keputusannya, karena ia tahu Arsya benar-benar berminat pada dunia medis. Keinginannya itu telah ia utarakan sejak kecil, bahkan ketika Tania belum lahir.

"Enggak, Ma keputusan mas sudah bulat. Mas cuma minta restunya semoga urusan mas lancar," mohon Arsya. "Mas mau mulai cari pekerjaan aja. Kemarin ada tawaran dari toko roti di dekat sekolah."

"Kamu yakin, sayang?"

"Yakin ma, doain aja."

"Sini sayang, peluk mama." Lantas Arsya mendekat dan masuk kedalam dekapan Melinda.

Melinda tidak bisa menahan kesedihannya hingga air matanya jatuh juga.

"Maafin, mama ya enggak bisa adil sama kamu," ujar Melinda seraya mengusap bahu putranya dengan penuh kasih sayang.

"Mama jangan nangis, mas sudah sangat berterima kasih karena mama mau merawat mas, hingga mas bisa merasakan tinggal di rumah yang nyaman." Pemuda itu juga ikut menangis.

Suasana haru membiru mereka seketika menjadi keributan. Ketika Tania yang baru saja turun dari mobil sang ayah melihat kedua anak-beranak itu sedang berpelukan. Gadis itu iri melihatnya, lalu melempar vas bunga kebagian belakang pemuda itu.

Lemparan itu tepat mengenai tubuh belakang Arsya, tapi tidak luka karena Arsya mengenakan baju yang cukup tebal hanya saja hantaman keras itu terasa begitu menyakitkan hingga ia merintih kesakitan.

"Astaga! TANIA!" teriak Anton yang segera menyusul.

Pria yang mengenakan kaos polo itu gegas memeriksa keadaan sang putra, sementara Tania melengos masuk kedalam rumah.

"Merah, Ma, mau dikompres air dingin ini" ucap Anton ketika melihat bercak lebam dari tubuh bagian belakang Arsya.

"Kompres di dalam aja, Pa. Ayo mas, masuk." Melinda membantu putranya itu untuk berdiri.

Meski tidak memengaruhi cara berjalan, tetap saja bagian tubuhnya yang terkena lemparan masih sakit. Sesekali Arsya juga meringis.

Arsya didudukkan di sofa. Melinda beranjak kedapur untuk mengambil kompresannya, sementara Anton pergi mendatangi Tania yang ada di kamarnya. Sekedar untuk melihat apa yang dilakukan anak itu.

"Anak itu semakin luar biasa kelakuannya, semakin hari. Pusing mama liatnya," keluh Melinda sambil bersiap mengompres tubuh bagian belakang Arsya.

"Mama enggak usah terlalu marahin Tania, Ma, dia lebih butuh di perhatikan lebih dan disayang. Mungkin juga ia marah karena mama sering bandingin aku sama dia."

"Iyakah, Mas, tapi kan maksud mama itu biar dia bisa termotivasi gitu sama kamu, enggak malas-malasan."

"Iya, Ma, Tania iti tipe orang yang enggak suka dibanding-bandingin, Ma."

"Ok mama terima saran kamu, nanti kedepannya mama coba enggak banding-bandingkan kamu sama Tania lagi. Tapi, kamu beneran mas, enggak mau nerima  tawaran papa? Kamu udah yakin? Itu cita-cita kamu sejak kecil loh, Nak."

"Enggak usah lah ma, jika pada akhirnya hanya untuk menambah kebencian Tania padaku. Lagipula mama tidak perlu terlalu memikirkan itu, kalau memang aku ditakdirkan menjadi orang sukses, aku percaya sih dengan jalan apapun pasti akan sukses."

"Mas kenapa enggak coba kerja di perusahaan papamu yang di Kalimantan aja? Nanti ya coba mama tanyain ada lowongan nggak."

"Enggak usah, Ma. Aku mana ada pengalaman kerja di perusahaan."

"Belajar dulu lah, Mas, sama papa."

"Enggak deh ma, aku mau coba mandiri dulu, nanti kalau udah cukup pengalaman mungkin."

"Yaudahlah kalau memang maumu begitu, mama sih cuma bisa doain kamu. Tapi, kamu sudah bilang sama papa kan?"

"Udah sih, Ma."

"Lalu apa kata, Papa? Setuju?"

"Sama kayak mama, setuju, terus kalau misal aku mau kerja diperusahaan papa, kata beliau akan selalu nerima aku."

"Yang penting kamu bahagia dan enggak beban aja sih, mas ngejalani nya. Maunya papa sama mama si gitu."

"Sekali lagi terima kasih ya, Ma, udah ngasi aku kebahagiaan banyak banget sampai aku bingung mau ngebalasnya gimana."

"Mama cubit ya, kalau kamu ngomong gitu lagi. Ucapan terima kasih itu enggak wajib apalagi balas budi, kami ini orang tua kamu, semua yang kami berikan hak kamu."

"Iya, tapi tetap aja terima kasih, Ma."

"Ooouh, mau dicubit beneran ya, mas, ya?"

"Enggak, Ma! Itu aja udah sakit apalagi ditambah cubitan mama."

Sementara ditempat lain, Tania sedang sesenggukan menangis akibat diceramahin panjang lebar oleh Anton. Namun, bukan Tania namanya jika biasa-biasa saja ketika diomeli walau dengan bahasa super halus sekalipun. Gadis itu suka cari perhatian. Ia selalu ingin semua orang memperhatikannya.

"Habis ini minta maaf ya sama mas mu," pinta Anton.

"Enggak! Mas yang salah." Gadis itu menolak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sejak tadi ia selalu menunduk menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut, ia memeluk lututnya erat.

"Terus maunya gimana? Kalau salah ya minta dong, Nak. Kasihan mas mu, dilempar sama vas bunga itu sakit loh."

Tania hanya merengek dan melupakan usianya yang sudah tidak kanak-kanak lagi.

"Terus kalau misalnya papa yang dilempar orang pakai vas bunga, gimana? Orang itu harus minta maaf nggak?" Anton sengaja memprovokasi putrinya.

"Minta maaf lah." Gadis itu kesal dan menjawab sambil berteriak.

"Tapi misalnya kalau orang itu enggak mau minta maaf gimana? Kayak kamu gini, kan nggak mau minta maaf."

"Aku enggak salah, kenapa harus minta maaf?"

"Enggak salah? Terus siapa yang salah? Vas nya kah, Dek?"

"Mas lah yang salah."

"Mas? Kalau gitu coba sebutin kesalahan mas mu satu-satu."

"Papa tuh kenapa sih, aku enggak mau minta maaf Pa!"

"Lah kenapa? Masa mau kalah sih sama anak SD, kamu kan sudah mau masuk SMA masa iya mau dikalahin anak SD. Anak SD itu kalau habis buat salah langsung minta maaf loh, Nak." Anton asal saja agar putrinya menurut dan menurunkan egonya. "Ayo! Papa temenin kebawah minta maaf sama mas."

"Mas masih mau jadi dokter, Pa?" Lantas Tania memberanikan dirinya bertanya sesuatu yang sejak beberapa hari ini menyulut emosinya hingga ia nekat kabur.

"Enggak tuh, katanya, mau mandiri."

"Yaudah ayo minta maaf."

Anton hanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya.

"Ayolah, kamu jalan dulu."

Tania gegas mendahului papanya, dan menuruni tangga. Saat berada di lantai bawah ia langsung berhadapan dengan Arsya dan Melinda yang sedang berada di sofa. Namun, gadis itu mau berbalik lagi.

"Eh, katanya mau minta maaf. Itu, mas nya." Tahan Anton yang sejak tadi mengikuti dari belakang.

Tania kembali dan mendatangi Arsya, gadis itu menjulurkan tangannya.

"Masa cuma begitu, ngomong dong," kata Anton.

"Mas, aku minta maaf."

Arsya tersenyum dan menerima uluran tangan adiknya. "Iya mas maafin."

"Kalau minta maaf itu harus tulus ya, Nak. Sini-sini, mama udah pegel sekarang gantian kamu yang ngompers, mas." Kali ini Melinda yang berbicara.

Walau dengan raut yang tidak bersahabat, Tania tetap menuruti kata mamanya. Ia segera mengambil alih kerjaan Melinda sejak tadi.

"Aw! Sakit, Tan."

Kali ini Tania tidak sengaja menekannya terlalu kuat.

"Pelan-pelan, Nak, kasihan abang mu."

"Iya, Mas," jawabnya datar karena tidak mau mengulang kata maaf.

Bersambung ...

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Melody of The Dream
648      418     0     
Romance
Mungkin jika aku tidak bertemu denganmu, aku masih tidur nyenyak dan menjalani hidupku dalam mimpi setiap hari. -Rena Aneira Cerita tentang perjuangan mempertahankan sebuah perkumpulan yang tidak mudah. Menghadapi kegelisahan diri sendiri sambil menghadapi banyak kepala. Tentu tidak mudah bagi seorang Rena. Kisah memperjuangkan mimpi yang tidak bisa ia lakukan seorang diri, memperkarakan keper...
Gloomy
614      402     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
ALL MY LOVE
561      386     7     
Short Story
can a person just love, too much?
Senja di Sela Wisteria
453      290     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
JANJI 25
89      70     0     
Romance
Pernahkah kamu jatuh cinta begitu dalam pada seseorang di usia yang terlalu muda, lalu percaya bahwa dia akan tetap jadi rumah hingga akhir? Nadia percaya. Tapi waktu, jarak, dan kesalahpahaman mengubah segalanya. Bertahun-tahun setelahnya, di usia dua puluh lima, usia yang dulu mereka sepakati sebagai batas harap. Nadia menatap kembali semua kenangan yang pernah ia simpan rapi. Sebuah ...
A Man behind the Whistle
1522      682     2     
Action
Apa harga yang harus kau tukarkan untuk sebuah kebenaran? Bagi Hans, kepercayaan merupakan satu-satunya jalan untuk menemukannya. Broadway telah mendidiknya menjadi the great shadow executant, tentu dengan nyanyian merdu nan membisik dari para Whistles. Organisasi sekaligus keluarga yang harus Hans habisi. Ia akan menghentak masa lalu, ia akan menemukan jati dirinya!
Surat Terakhir untuk Kapten
620      448     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
Tyaz Gamma
1638      981     1     
Fantasy
"Sekadar informasi untukmu. Kau ... tidak berada di duniamu," gadis itu berkata datar. Lelaki itu termenung sejenak, merasa kalimat itu familier di telinganya. Dia mengangkat kepala, tampak antusias setelah beberapa ide melesat di kepalanya. "Bagaimana caraku untuk kembali ke duniaku? Aku akan melakukan apa saja," ujarnya bersungguh-sungguh, tidak ada keraguan yang nampak di manik kelabunya...
Tinta Buku Tebal Riri
541      355     0     
Short Story
Cerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan kejadian, nama dan tempat hanyalah kebetulan semata. NB : picture from Pixabay.com
Farewell Melody
276      188     2     
Romance
Kisah Ini bukan tentang menemukan ataupun ditemukan. Melainkan tentang kehilangan dan perpisahan paling menyakitkan. Berjalan di ambang kehancuran, tanpa sandaran dan juga panutan. Untuk yang tidak sanggup mengalami kepatahan yang menyedihkan, maka aku sarankan untuk pergi dan tinggalkan. Tapi bagi para pemilik hati yang penuh persiapan untuk bertahan, maka selamat datang di roller coaster kehidu...