"Ma, maafin mas, Tania kabur karena mas," aku seorang pemuda seraya bersimpuh.
"Bukan salahnya mas, udah duduk di atas jangan begitu." Melinda yang mengkhawatirkan keberadaan putrinya juga tidak mau menyalahkan putra angkatnya yang memang sama sekali tidak bersalah.
"Ma, mas sudah putuskan, untuk tawaran papa itu mas tidak akan mengambilnya."
Melinda kaget lalu bertanya, "kenapa sayang, itu cita-cita kamu loh."
Melinda kaget mendengar ucapan Arsya yang menolak tawaran Anton, yang telah berjanji akan menguliahkannya keluar negeri dengan jurusan kedokteran. Padahal, jelas-jelas itu adalah mimpinya sejak lama.
"Enggak, Ma. Mas, nggak bisa jika melihat Tania terlalu membenci mas."
Mendengar putra kesayangan itu berujar begitu ada rasa sakit di hatinya. Melinda merasa gagal mendidik anak-anaknya agar selalu damai.
"Tania kabur karena salah paham, Ma. Tania kira aku akan terima tawaran papa."
Melinda menatap sendu putra yang kini sudah beranjak dewasa.
"Kamu berhak sayang, nerima semua itu dari papa, karena kamu tanggung jawab kami. Tidak perlu pikirkan Tania, karena dia juga punya haknya sendiri nanti, jika sudah waktunya." Melinda masih ingin Arsya merubah keputusannya, karena ia tahu Arsya benar-benar berminat pada dunia medis. Keinginannya itu telah ia utarakan sejak kecil, bahkan ketika Tania belum lahir.
"Enggak, Ma keputusan mas sudah bulat. Mas cuma minta restunya semoga urusan mas lancar," mohon Arsya. "Mas mau mulai cari pekerjaan aja. Kemarin ada tawaran dari toko roti di dekat sekolah."
"Kamu yakin, sayang?"
"Yakin ma, doain aja."
"Sini sayang, peluk mama." Lantas Arsya mendekat dan masuk kedalam dekapan Melinda.
Melinda tidak bisa menahan kesedihannya hingga air matanya jatuh juga.
"Maafin, mama ya enggak bisa adil sama kamu," ujar Melinda seraya mengusap bahu putranya dengan penuh kasih sayang.
"Mama jangan nangis, mas sudah sangat berterima kasih karena mama mau merawat mas, hingga mas bisa merasakan tinggal di rumah yang nyaman." Pemuda itu juga ikut menangis.
Suasana haru membiru mereka seketika menjadi keributan. Ketika Tania yang baru saja turun dari mobil sang ayah melihat kedua anak-beranak itu sedang berpelukan. Gadis itu iri melihatnya, lalu melempar vas bunga kebagian belakang pemuda itu.
Lemparan itu tepat mengenai tubuh belakang Arsya, tapi tidak luka karena Arsya mengenakan baju yang cukup tebal hanya saja hantaman keras itu terasa begitu menyakitkan hingga ia merintih kesakitan.
"Astaga! TANIA!" teriak Anton yang segera menyusul.
Pria yang mengenakan kaos polo itu gegas memeriksa keadaan sang putra, sementara Tania melengos masuk kedalam rumah.
"Merah, Ma, mau dikompres air dingin ini" ucap Anton ketika melihat bercak lebam dari tubuh bagian belakang Arsya.
"Kompres di dalam aja, Pa. Ayo mas, masuk." Melinda membantu putranya itu untuk berdiri.
Meski tidak memengaruhi cara berjalan, tetap saja bagian tubuhnya yang terkena lemparan masih sakit. Sesekali Arsya juga meringis.
Arsya didudukkan di sofa. Melinda beranjak kedapur untuk mengambil kompresannya, sementara Anton pergi mendatangi Tania yang ada di kamarnya. Sekedar untuk melihat apa yang dilakukan anak itu.
"Anak itu semakin luar biasa kelakuannya, semakin hari. Pusing mama liatnya," keluh Melinda sambil bersiap mengompres tubuh bagian belakang Arsya.
"Mama enggak usah terlalu marahin Tania, Ma, dia lebih butuh di perhatikan lebih dan disayang. Mungkin juga ia marah karena mama sering bandingin aku sama dia."
"Iyakah, Mas, tapi kan maksud mama itu biar dia bisa termotivasi gitu sama kamu, enggak malas-malasan."
"Iya, Ma, Tania iti tipe orang yang enggak suka dibanding-bandingin, Ma."
"Ok mama terima saran kamu, nanti kedepannya mama coba enggak banding-bandingkan kamu sama Tania lagi. Tapi, kamu beneran mas, enggak mau nerima tawaran papa? Kamu udah yakin? Itu cita-cita kamu sejak kecil loh, Nak."
"Enggak usah lah ma, jika pada akhirnya hanya untuk menambah kebencian Tania padaku. Lagipula mama tidak perlu terlalu memikirkan itu, kalau memang aku ditakdirkan menjadi orang sukses, aku percaya sih dengan jalan apapun pasti akan sukses."
"Mas kenapa enggak coba kerja di perusahaan papamu yang di Kalimantan aja? Nanti ya coba mama tanyain ada lowongan nggak."
"Enggak usah, Ma. Aku mana ada pengalaman kerja di perusahaan."
"Belajar dulu lah, Mas, sama papa."
"Enggak deh ma, aku mau coba mandiri dulu, nanti kalau udah cukup pengalaman mungkin."
"Yaudahlah kalau memang maumu begitu, mama sih cuma bisa doain kamu. Tapi, kamu sudah bilang sama papa kan?"
"Udah sih, Ma."
"Lalu apa kata, Papa? Setuju?"
"Sama kayak mama, setuju, terus kalau misal aku mau kerja diperusahaan papa, kata beliau akan selalu nerima aku."
"Yang penting kamu bahagia dan enggak beban aja sih, mas ngejalani nya. Maunya papa sama mama si gitu."
"Sekali lagi terima kasih ya, Ma, udah ngasi aku kebahagiaan banyak banget sampai aku bingung mau ngebalasnya gimana."
"Mama cubit ya, kalau kamu ngomong gitu lagi. Ucapan terima kasih itu enggak wajib apalagi balas budi, kami ini orang tua kamu, semua yang kami berikan hak kamu."
"Iya, tapi tetap aja terima kasih, Ma."
"Ooouh, mau dicubit beneran ya, mas, ya?"
"Enggak, Ma! Itu aja udah sakit apalagi ditambah cubitan mama."
Sementara ditempat lain, Tania sedang sesenggukan menangis akibat diceramahin panjang lebar oleh Anton. Namun, bukan Tania namanya jika biasa-biasa saja ketika diomeli walau dengan bahasa super halus sekalipun. Gadis itu suka cari perhatian. Ia selalu ingin semua orang memperhatikannya.
"Habis ini minta maaf ya sama mas mu," pinta Anton.
"Enggak! Mas yang salah." Gadis itu menolak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sejak tadi ia selalu menunduk menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut, ia memeluk lututnya erat.
"Terus maunya gimana? Kalau salah ya minta dong, Nak. Kasihan mas mu, dilempar sama vas bunga itu sakit loh."
Tania hanya merengek dan melupakan usianya yang sudah tidak kanak-kanak lagi.
"Terus kalau misalnya papa yang dilempar orang pakai vas bunga, gimana? Orang itu harus minta maaf nggak?" Anton sengaja memprovokasi putrinya.
"Minta maaf lah." Gadis itu kesal dan menjawab sambil berteriak.
"Tapi misalnya kalau orang itu enggak mau minta maaf gimana? Kayak kamu gini, kan nggak mau minta maaf."
"Aku enggak salah, kenapa harus minta maaf?"
"Enggak salah? Terus siapa yang salah? Vas nya kah, Dek?"
"Mas lah yang salah."
"Mas? Kalau gitu coba sebutin kesalahan mas mu satu-satu."
"Papa tuh kenapa sih, aku enggak mau minta maaf Pa!"
"Lah kenapa? Masa mau kalah sih sama anak SD, kamu kan sudah mau masuk SMA masa iya mau dikalahin anak SD. Anak SD itu kalau habis buat salah langsung minta maaf loh, Nak." Anton asal saja agar putrinya menurut dan menurunkan egonya. "Ayo! Papa temenin kebawah minta maaf sama mas."
"Mas masih mau jadi dokter, Pa?" Lantas Tania memberanikan dirinya bertanya sesuatu yang sejak beberapa hari ini menyulut emosinya hingga ia nekat kabur.
"Enggak tuh, katanya, mau mandiri."
"Yaudah ayo minta maaf."
Anton hanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya.
"Ayolah, kamu jalan dulu."
Tania gegas mendahului papanya, dan menuruni tangga. Saat berada di lantai bawah ia langsung berhadapan dengan Arsya dan Melinda yang sedang berada di sofa. Namun, gadis itu mau berbalik lagi.
"Eh, katanya mau minta maaf. Itu, mas nya." Tahan Anton yang sejak tadi mengikuti dari belakang.
Tania kembali dan mendatangi Arsya, gadis itu menjulurkan tangannya.
"Masa cuma begitu, ngomong dong," kata Anton.
"Mas, aku minta maaf."
Arsya tersenyum dan menerima uluran tangan adiknya. "Iya mas maafin."
"Kalau minta maaf itu harus tulus ya, Nak. Sini-sini, mama udah pegel sekarang gantian kamu yang ngompers, mas." Kali ini Melinda yang berbicara.
Walau dengan raut yang tidak bersahabat, Tania tetap menuruti kata mamanya. Ia segera mengambil alih kerjaan Melinda sejak tadi.
"Aw! Sakit, Tan."
Kali ini Tania tidak sengaja menekannya terlalu kuat.
"Pelan-pelan, Nak, kasihan abang mu."
"Iya, Mas," jawabnya datar karena tidak mau mengulang kata maaf.
Bersambung ...