Senang selayaknya orang-orang yang akan menikah. Tania justru tidak merasakan itu, ia terus murung dari awal hingga akhir, ketika menemani Arsya menghadap Anton, mengutarakan segala niat mereka yang semula memang cetusan dari Arsya.
Melinda yang mengamati sang putri ikut tersiksa. Namun, demi kebaikan putrinya juga, maka ia rela, lagipula Arsya bukanlah pria asing yang secara tiba-tiba memasuki kehidupan putrinya. Melinda sungguh tidak pernah terpikir nasib malang ini akan menimpa putrinya.
Baik Anton maupun Melinda selalu percaya bahwa sang putri mampu menjaga diri dan mendengar segala nasehat yang selalu diberikan. Lantas, kemalangan yang justru menjurus pada aib ini masih bisa terjadi bahkan setelah Anton dan Melinda mengantisipasi segalanya. Sesal dan juga kesal tentu saja kerap dirasakan Melinda beberapa hari ini. Seharusnya ia lebih tegas dan berupaya lebih agar anak gadis satu-satunya itu tetap berada di jalur aman, hingga menyelesaikan kuliahnya bahkan hingga menikah. Namun, kini nasi telah menjadi bubur, sesal pun tiada guna, hanya mencari solusi dan menjalani yang telah terjadi.
"Yang bahagia ya, Nak. Mama selalu mendoakan kamu," ucap Melinda seraya memeluk sang putri yang datang padanya usai diceramahi panjang lebar oleh Anton.
"Kamu juga ya sayang, jagain Tania. Anggap Tania adalah hal yang paling beharga dalam hidup kamu, sehingga kamu takut untuk kehilangannya," nasihat Melinda pada Arsya yang juga ikut masuk dalam pelukan Melinda.
Seharusnya katakan itu pada Tania, karena sudah sejak lama Arsya selalu menobatkan Tania sebagai semesta yang paling indah, rumah yang ingin ia tinggali, serta hal yang paling beharga lebih dibanding nyawanya sendiri. Sementara Tania, menganggap Arsya hanyalah sebagai penolongnya yang sewaktu-waktu akan ia tinggalkan. Arsya tidak pernah menjadi damba maupun sandaran yang begitu berarti bagi Tania, walau beberapa kali pria itu mendatanginya hanya untuk menawarkan bahunya agar Tania dapat bersandar dengan nyaman, menawarkan telinganya agar Tania mau bercerita banyak hal, menawarkan segala tenaganya agar Tania tidak lelah, tapi justru yang didapat malah tatapan benci dari sorot mata Tania. Sejauh ini Arsya selalu mengusahakan menjadi kakak yang baik, walau sebenarnya rasa yang yang dimiliki tidak murni semata-mata hanya utuh sebagai seorang adik melainkan perasaan itu tumbuh mengkhianati dirinya sendiri juga.
"Aku bakal jaga, Tania, Ma. Mama tenang aja," kata Arsya seraya tersenyum penuh arti pada Melinda.
"Kamu harus nurut ya, Sayang pada mas." Kali ini nasihat itu ditujukan Melinda pada sang putri. Namun, Tania hanya mengangguk.
Suasana haru seketika menjadi tegang lagi ketika, Anton bersuara dan mengintimidasi Tania. Pria itu duduk di sofa yang tidak begitu jauh.
"Jangan menangis seolah-olah kamu menyesal, Tania! Papa tahu kamu tidak pernah menyesal atas apa yang kamu lakukan." Anton benar-benar kecewa hingga hatinya masih belum bisa memaafkan sang putri.
Lantas pria itu beranjak pergi, menyisakan ketiganya yang menguatkan Tania dari kemarahan Anton.
"Mama nyusul papa dulu, ya," kata Melinda dan beranjak menyusul sang suami.
Sementara Tania dan Arsya masih ditempatnya. "Sabar ya, Tan, kelak papa pasti mau memaafkan kamu," ujar Arsya menenangkan gadis yang kini mulai tersedu-sedu sebab kata-kata papanya itu sampai kehati, pun akhir-akhir ini ketika berurusan dengan papanya Tania selalu tidak bisa menahan air mata.
"Aku kaget, dan takut," lirih Tania. "Aku sepertinya mengubah banyak hal, papa dulunya sangat lembut dan penyayang, tapi sekarang berubah menjadi seperti itu, bahkan aku terlalu takut untuk menatap matanya," ungkap Tania.
"Papa enggak mungkin selamanya akan bersikap seperti itu, ingat! Kamu itu putri satu-satunya, bagi orang tua manapun, anak adalah hal yang paling beharga lebih dari pada apapun. Saat ini mungkin papa masih kecewa." Suara lembut Arsya yang menenangkan selalu dapat meredam kesedihan yang dirasakan Tania.
Dulu juga pernah begitu. Saat Tania mendapat nilai jelek dan takut dimarahi oleh orang tuanya. Sebab itu, Tania berhari-hari murung tidak mau bicara karena takut keceplosan hingga menyebabkan orang tuanya tahu. Namun, Arsya menasehati Tania. Pria itu mengatakan banyak hal yang ia tahu agar Tania lebih berani menghadapi segala permasalahan kecil hingga besar, juga berani bertanggung jawab atas apa-apa yang harus dipertanggung jawabkan.
"Udah yuk, jangan nangis lagi, jangan sedih-sedih lagi. Ingat Tan, kamu punya aku. Beberapa hari lagi kita akan jadi teman sekamar." Diujung kalimatnya Arsya menyelipkan candaan yang berujung ia kena pukulan dari Tania. "Aduh! Sakit," adu Arsya juga bercanda karena pukulan Tania itu sama sekali tidak menyakitinya.
Pria itu juga mengusap jejak air mata dari pipi Tania.
***
Entah malam yang terasa singkat atau Tania merasa dirinya terlalu lelah hingga ia menyimpulkan malam lah yang berlalu begitu cepat.
Tania bangun dari tidurnya masih dengan beban pikiran yang berat, kantuk yang masih terasa, juga sedikit flu. Namun, Tania harus tetap bangun, karena hari ini ia akan mulai berkuliah lagi. Tania memutuskan akan tetap melanjutkan kuliahnya. Lagipula ia bosan jika terus berada di rumah apalagi dengan suasana yang masih seperti perang dingin.
Lantas setelah meminimalisir sedikit rasa pusing dengan duduk, Tania lanjut ke kamar mandi.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia merasakan mual. Tania sedikit panik ketika menyadari bahwa mungkin ia sedang mengalami Morning sickness.
"Ya tuhan, gimana ini?" monolognya bingung sendiri.
Lalu Tania memaksakan diri untuk masuk sepenuhnya kedalam kamar mandi, tapi lagi-lagi ia diserang mual. Nyatanya pemicu mual karena reed diffusser yang ia simpan di kamar mandi. Tania segera keluar lagi, ia sungguh tidak mampu untuk bertahan lebih lama lagi menghirup wewangian yang sebelumnya selalu membuat betah berlama-lama di kamar mandi.
"Halo, Mas, bisa kerumahku sekarang nggak? Aku mau minta tolong buangin sesuatu."
Tanpa banyak berpikir Tania langsung menelepon Arsya yang juga segera dijawab oleh pria itu.
"Mau minta tolong apa? Aku sudah dari tadi loh ada di rumah. Gih bukain pintu kamar, aku sudah ada di depan."
Lantas Tania memutar tubuh dan melangkah menuju ke pintu kamarnya.
"Kenapa pakai dikunci segala sih?" Pria itu berdiri dihadapan Tania seraya tersenyum.
"Mas tolong buangin reed diffuser yang ada di kamar mandi," pinta Tania langsung.
"Lah kenapa? Mau diganti?"
"Enggak, aku mual cium baunya," jujur Tania seraya menarik Arsya agar segera melaksanakan perintahnya.
"Kamu itu ya ... eh apa sih namanya, yang mual-mual itu ... apasih namanya yang sebutan untuk orang hamil itu."
Tania tidak peduli dengan perkataan pria itu, ia langsung mendorong tubuh besar dan jangkung itu agar segera melaksanakan tugasnya.
"Tenaga mu kuat juga ya," goda Arsya. "Iya-iya aku buangin."
Arsya segera memasukkan benda itu kedalam kantong kresek yang diberikan Tania.
"Udah ya," ucapnya sambil melewati Tania yang sebisanya menutup hidup agar bau benda itu tidak mencemarkan indera penciumannya lagi.
Lantas Tania kembali melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi, ia ingin melanjutkan kembali mandi dan ritual lainnya yang tertunda karena wewangian itu.
Bersambung ...