3 menit berlalu, tapi Tania tidak berniat untuk turun dari mobil dan segera memasuki halaman kampusnya. Alasannya masih tetap sama, gadis itu takut tiba-tiba mual saat berada di dalam kelas.
Kali ini Arsya memilih untuk diam saja, setelah berkali-kali membujuk dan selalu saja alasan Tania berputar-putar itu-itu saja.
"Mas gimana?" Seraya meraih lengan Arsya yang berada di atas kemudi, gadis itu mulai merengek.
"Kamu maunya gimana? Turun atau balik." Arsya masih kebingungan, karena sejak tadi Tania tidak memilih keduanya. Alhasil pria itu hanya bisa berdiam diri seraya menunggu apa maunya gadis yang sejak pagi penuh dengan drama.
"Nanti kalau misalnya aku ke kelas terus mual bunyi 'hoek' gitu dan teman-temanku dengar gimana?"
Di dalam hati, Arsya sedang merasa kesal sendiri, dengan jalan pemikiran yang seperti makin sengaja dibuat rumit oleh Tania. Padahal menurut pria itu, mudah saja. Putuskan salah satunya dan lakukan lalu tidak perlu dipikirkan lagi.
"Kita ke toko aja yuk," ajak Arsya pada akhirnya, dan pria itu juga segera memutar kemudinya untuk berbalik arah.
"Ngapain? Itu artinya aku enggak masuk kuliah lagi dong."
"Hari ini biar aku aja yang jadi dosen kamu."
Lantas Tania melongo tidak habis pikir dengan celetukan Arsya. Padahal pria itu berbicara begitu karena kesabarannya sudah di babat habis oleh keraguan Tania.
Arsya berniat hari ini, ia akan membuka toko rotinya seperti biasa, dan rencananya pagi tadi ia hanya akan mampir sebentar ke rumah Tania, untuk memastikan keadaan gadis itu setelah pesannya tidak dibalas sejak tadi malam tepatnya setelah ia pulang dari rumah gadis itu, tapi Arsya justru tidak mengira dan juga tidak bisa menolak saat gadis itu meminta banyak sekali pertolongan pagi ini. Bermula dari membuang diffuser hingga sabun-sabun juga pasta gigi, lalu niat baik Arsya yang menawarkan tumpangan untuk Tania ke kampus juga disalah gunakan.
Arsya kira hanya mengantar itu sebentar. Tapi nyatanya kelakuan Tania pagi ini lebih menguji kesabaran dari pada biasanya.
Sepagi ini Arsya harus mengunjungi mall yang sudah lama tidak pernah ia kunjungi hanya karena Tania ingin berkeliling di dalamnya. Katanya dia merindukan koridor mall yang dingin dan ramai.
Aneh. Tentu saja kata itu terbesit dari hati Arsya. Gadis yang selalu temperamen terhadapnya tiba-tiba berubah seperti anak kucing yang ingin disayang.
Arsya memutar kemudinya untuk berbelok menuju area toko roti. Pria itu benar-benar serius untuk rencana membuka toko roti hari ini hingga kecepatannya mengemudikan mobil diatas rata-rata, tidak seperti biasanya.
Lantas setelah menempatkan mobil ditempat biasa, Arsya mengitari mobilnya untuk membukakan pintu bagian Tania. Namun, Arsya kalah cepat karena gadis itu telah melakukannya lebih dulu.
"Ayo, Tan."
Arsya berjalan mendahului Tania, pria itu segera membuka pintu toko rotinya. Namun, gadis itu ternyata masih berada di dekat mobil.
Arsya lantas mengernyitkan keningnya, dan mendatangi Tania. "Kenapa?"
"Mas aku pulang aja deh," ucap Tania, tidak seperti biasanya yang selalu tidak pernah izin bahkan saat ada Arsya seringkali ia anggap tidak ada.
"Kok pulang? Lelah? Istirahat di sini aja, di lantai dua ada kamar." Arsya teringat pesan Melinda bahwa Tania harus membiasakan diri didekatnya agar gadis itu dapat menerima Arsya ke dalam kehidupannya. Bahkan Melinda meminta kepada Arsya agar putrinya bergantung pada Arsya tidak pada orang lain, karena ia tahu putrinya itu manja dan dulu selalu dimanjakan oleh ayahnya, tapi saat ini hubungan mereka sedang renggang.
"Enggak, Mas. Aku pesan taxi aja." Tania lantas mengambil handphonenya dari tote bag.
"Enggak. Nanti ada apa-apa, kamu lagi hamil." Arsya alasan saja padahal ia tak ingin Tania pulang, pria itu langsung mengambil handphone Tania dan dimasukkannya kedalam saku celana. "Ayo." Lalu setelah itu ia menuntun Tania agar ikut masuk bersamanya ke toko roti.
Sebelum menyiapkan segalanya, Arsya lebih dulu mengantar Tania naik kelantai dua.
Ruko yang dibelinya beberapa tahun lalu memang hanya memiliki dua lantai. Lantai dasar ia gunakan untuk jualan sementara di lantai dua untuk beristirahat dikala ia terlalu lelah untuk pulang.
"Kamu istirahat disini ya. Mau minum ambil aja di kulkas, kalau mau makan atau ngemil telepon aku aja."
"Mas suasananya enak ya, adem," puji Tania yang kemudian membuat Arsya tersenyum tipis.
Ruangan yang memiliki luas 4x5 meter itu telah lama disulap Arsya menjadi kamar. Meski sangat sederhana dan minim barang-barang, suasananya memang nyaman. Dinding yang sengaja dicat putih oleh Arsya itu bertujuan agar yang menetap dikamarnya merasakan ketenangan. Namun, sejauh ini tidak pernah ada orang lain yang masuk ke kamarnya selain Tania.
"Mas kok warna putih, terinspirasi dari mana?"
"Aku suka warna putih." Kali ini meski hatinya cukup senang usai seleranya dipuji tetap saja Arsya tidak ingin berbicara panjang lebar pada Tania, karena ada hal yang ingin ia lakukan lantas pria itu berkata, "udah ya, aku kebawa dulu, kalau ada apa-apa telepon aja langsung."
Sepeninggal Arsya, Tania gegas berkeliling. Ia mengamati segala hal yang ada di sana. Yang paling menarik dimata Tania adalah desain tempat tidur yang langsung menyatu dengan laci, lalu meja belajar yang langsung mengarah pada pemandangan belakang toko yang merupakan puncak-puncak gedung pncakar langit, sangat indah jika disaksikan dimalam hari.
Baru kali ini Tania mengagumi kejeniusan hingga mengutarakan langsung rasa takjubnya pada Arsya.
Setelah puas melihat-lihat Tania akhirnya merebahkan tubuh pada kasur yang masih terlihat rapih, tidak ada jejak-jejak Arsya atau siapapun disana.
Gadis itu menghirup nafas sedalam-dalamnya, lalu mengembuskannya perlahan. Tania menatap langit-langit kamar, ia memikirkan banyak hal yang sudah ia lewati beberapa hari ini. Namun, matanya mengerjap-ngerjap tidak tahan dengan kantuk yang mulai menyerang, lantas ia segera terlelap.
Suasana yang nyaman dengan dukungan suhu AC yang pas, membuat Tania semakin nyenyak.
***
"Mas tahu Tania kemana nggak? Beberapa hari ini aku jarang ketemu, ku chat juga enggak dibalas," keluh Vanessa seraya sibuk mengemas roti yang telah siap di kemas.
"Ada tuh di atas lagi tidur, dari tadi enggak bangun-bangun, benar-benar capek kayaknya."
"Di atas? Di atas mana maksudnya, Mas?" gadis yang mengenakan apron coklat itu bingung.
"Lantai dua toko kita." Perjelas Arsya serta mengisyaratkan dengan matanya yang menunjuk kearah lantai atas. Pria itu masih terlalu fokus pada adonan roti yang telah mengembang.
"Demi apa? Tania ada di sini sekarang? Dia udah tobat, Mas?" Reaksi Vanessa mengambarkan sebuah keanehan yang sangat tidak mungkin terjadi. Ya, karena bagi Vanessa perdamaian keduanya itu setara dengan perdamaian antara iblis dan manusia, yang artinya mustahil.
Arsya tersenyum mendengar reaksi gadis disampingnya. Tidak ada yang salah dengan ucapan gadis itu.
"Woy! Bangun lo!" Vanessa sudah jenuh menunggu Tania yang tidak kunjung bangun, hingga akhirnya menepuk pantat gadis yang masih memeluk guling itu beberapa kali.
"Apa sih, Van? Ribut amat." Tania risih dengan ulah sang sahabat.
"Bangun! Bangun! Udah malam. Lo tidur apa mati sih, Tan." Gadis itu menarik kedua tangan Tania, agar segera bangun.
"Ya emang kenapa kalau udah malam, gue masih ngantuk." Tania hampir saja ingin berbaring lagi jika tidak dicegah oleh Vanessa.
"Demi apa? Lo udah taubat, Tan?"
Kening gadis yang ditanya mengernyit, ia tidak mengerti arah pembicaraan sahabatnya.
"Itu maksud gue, lo sama mas Arsya, udah damai?"
"Apaan sih lo." Tania tidak ingin menanggapi pertanyaan dari Vanessa karena ia sudah mengira mulutnya sulit mengerem jika sudah bercerita panjang lebar dengan sahabatnya, hingga mungkin ia akan membuka semua cerita yang masih ingin dirahasiakan.
Walau Vanessa memang sahabatnya, Tania masih belum terlalu siap untuk bercerita dan melihat raut wajah kecewa dan mungkin marah dari sang sahabat yang memang selalu menentang hubungannya bersama Virgo.
"Wah, lo sekalinya mau, ngelunjak ya! Pakai tidur di sini segala. Gue seumur-umur kerja di sini, baru kali ini berani naik itupun disuruh sama mas Arsya tadi, bangunin lo," tutur Vanessa.
"Yaudah itu tidur, mumpung lagi berani," canda Tania dan beranjak dari tempat tidur yang telah membuatnya nyaman hingga kebablasan tidur bahkan masih kurang.
Maka tangan Vanessa yang biasanya memang terlewat ringan pada Tania, turun begitu saja. Ia mencubit lengan Tania hingga gadis itu meringis.
"Sakit bodoh!" Tania menggosok-gosok bagian yang sakit dan bersiap untuk membalas, tapi Vanessa telah buru-buru lari.
Hingga terjadilah kejar-kejaran diantara mereka.
"Tania pelan-pelan! Jangan lari-lari." Lantas Arsya yang melihat aksi keduanya langsung memperingatkan Tania.
"Itu mas dia yang mulai duluan," adu Tania sambil menunjuk kearah Vanessa.
"Udah-udah, Nes."
Lantas keduanya bubar. Vanessa melangkah ke dapur sedangkan Tania berniat menuju keluar. Namun, dicegah oleh Arsya.
"Masuk dulu sini, Tan. Makan! Kamu dari tadi belum makan." Kali ini Arsya sudah seperti ibu-ibu yang mempunyai anak, yang sulit disuruh makan.
Setelah disuruh makan, wajah gadis itu berubah suram. Lantas ingin abai saja dengan perintah Arsya.
"Hmmm! Makan dulu!" Kali ini Arsya tidak hanya menggunakan kata-kata, melainkan juga dengan tangan yang menarik Tania agar ikut perintahnya.
Kadang paksaan Arsya juga sulit ditolak oleh Tania.
Bersambung ...