Tania tidak bisa bangun dari tempat tidurnya usai mengalami panas tinggi tadi malam. Namun siapa sangka, demam yang dialami justru tidak membuat papanya berbaik hati.
Jika tidak ada ibunya, Tania mungkin sudah kehilangan nyawa. Anton, sang ayah begitu membabi buta meluapkan kekecewaanya pada sang anak semata wayang.
Tubuh Tania sudah di kelilingi memar, tapi kemarahan Anton belum juga surut. Tania bahkan takut untuk sekedar menatap mata ayahnya yang selama ini selalu penuh dengan kasih sayang.
Tadi malam, Tania benar-benar dilanda kekhawatiran ia terus gelisah jika tidak memberi tahukan masalah ini pada orang tuanya, apalagi jika orang tuanya sampai tahu dari mulut orang lain. Maka, Tania nekat menelpon ibunya dan memberi tahukan segalanya.
Tak dikira orang tuanya malah mengambil penerbangan pagi dan tiba di rumah, siang pukul 13.04.
"Berapa kali papa bilang jangan pernah pacaran, tapi apa? kamu selalu bohongi papa!" Pancaran amarah dari mata Anton begitu menakutkan, wajah pria yang berusia hampir mendekati 60-an itu merah padam.
Tania maupun Melinda ibunya, sama sekali tidak percaya sosok yang selama ini selalu penuh kasih sayang akan berubah menjadi semengerikan itu, sebab dikecewakan begitu besar.
"Seburuk apa kami jadi orang tua sampai begini perbuatan kamu! Segala kebutuhan kamu sudah papa penuhi. Bahkan setiap bulan sekali papa belikan tiket untuk kamu liburan agar kamu dapat merefresh otak. Lalu ini balasan kamu? Atau kami salah selalu lembut pada kamu?"
Tania hanya menggeleng dan menunduk dengan isak tangis.
"Lalu sekarang bagaimana, Tania?! Mau? Dia bertanggung jawab."
Tania langsung menggeleng. Gerakan itu spontan karena Tania tidak ingin berbohong lalu memberi harapan palsu pada orang tuanya. jika sebab gelengan kepalanya semakin membuat papanya marah, maka Tania akan terima walau ia harus kembali dipukuli secara membabi buta.
Benar saja, kilatan amarah semakin terpancar. Pria itu lekas berdiri dan mengambil ikat pinggang yang memang sejak tadi menjadi alat untuk memukul Tania.
"Berdiri kamu!"
Tania yang kesulitan untuk berdiri karena telah banyak rasa sakit di kakinya tidak bisa menolak ia terlalu takut untuk tidak patuh.
Lantas cambukan hebat kembali mendera kakinya. Tania berusaha bertahan untuk tetap berdiri. Cambukan itu tak hanya di kaki, tapi naik kepaha bahkan hampir setengah badan.
"Pa udah pa, dia anak kita satu-satunya!" Tidak hanya Tania yang menangis, tapi Melinda juga tidak bisa menahan air matanya.
"Udah, Ma diam! Anak ini harus dikasi pelajaran, kalau tidak ngelunjak terus dia."
"Pa dia lagi hamil," ucap Melinda frustasi karena terlalu sulit menghentikan suaminya.
Anton menghentikan aksinya seketika, ia mengembuskan nafasnya kasar. Melinda juga cukup lega melihat sang suami berhenti memukuli putrinya. Namun, kelegaan itu tidak berangsur lama.
Anton kembali menyeret Tania ke kolam renang, sebelum itu telah terjadi beberapa kali tamparan yang menyebabkan pipi Tania merah-merah bahkan luka.
Melinda kehabisan cara dan akhirnya berinisiatif menelpon Arsya untuk meminta bantuan.
Setelah telepon itu bersambut, dan suara dari Arsya terdengar. Melinda langsung mengutarakan maksudnya.
Melinda : mas kamu dimana? Bisa kerumah, Tania dipukuli papa
Arsya : iya ma, iya, aku segera kesana
Telepon itu terputus karena di tutup sepihak oleh Arsya. Lalu Melinda melangkah menuju ke kolam renang menyusul suami dan anaknya.
Hati Melinda cukup sakit melihat anaknya sedang berada ditengah-tengah kolam renang.
"Pa, udah pa, Tania sedang hamil, Pa," bujuk Melinda yang sedang berdiri memandangi Tania. "Tania kedinginan, Pa. Dia itu lagi demam, Pa."
"Tidak bisa, Ma! Ini hukuman. Selama ini dia meremehkan larangan aku," tegas papanya masih tidak mau mengalah. "Kelak dia bisa mengulangi kesalahan yang lebih fatal."
Lalu setelah melihat ada yang datang kerumahnya, Melinda sedikit merasa lega. Arsya dengan raut panik langsung mendatangi papanya seraya bertekuk lutut.
"Pa, ini salah Arsya. Arsya enggak bisa jagain Tania dengan baik," pintanya memohon agar Anton mau menyudahi segala penyiksaan terhadap Tania.
"Bukan salah kamu, anak ini memang pembangkang. Jangan bela dia Arsya, perlakuan dia ke kamu juga kurang ajar. Sesekali anak ini harus dikasi pelajaran."
"Tapi, Pa, tidak hanya Tania yang merasakan siksaan ini, tapi janinnya juga," sanggah Arsya. Sesekali Arsya menoleh pada Tania yang sedang kedinginan di dalam kolam renang, bibir gadis itu sudah membiru.
"Tania memang bersalah, Pa. Tapi setidaknya ampuni dia, papa sudah menghukumnya sejauh ini."
"Sudahlah, Pa. Benar kata Arsya Tania memang berhak dihukum, tapi dia juga berhak dikasihani," timpal Melinda. "Bawa adikmu naik, Mas!" titah Melinda yang langsung dituruti oleh Arsya.
Pria yang masih mengenakan seragam toko roti itu langsung mengarungi kolam renang yang tidak dalam dan meraih Tania yang menggigil. Lalu ia menuntun gadis itu agar menepi. Sementara, Anton masih menyorot Tania dengan tajam seolah dari wajahnya tidak akan ada pengampunan untuk Tania.
Setelah keduanya naik, Arsya masih tetap menuntun Tania masuk ke dalam.
"Ambil handukmu ya, di kamar, lekas ganti baju, nanti masuk angin," kata Arsya saat mengantar Tania ke kamarnya.
"Terima kasih, Mas." Lantas Tania segera masuk kekamarnya.
Sementara di ruang keluarga, Melinda mencoba meredam amarah suaminya dengan membicarakan banyak hal tentang Tania, putri semata wayang mereka yang sejak dulu selalu menjadi yang tersayang.
"Mas sebaiknya jangan ungkit-ungkit masalah Tania dengan Arsya. Permasalahan itu hanya akan mengobarkan api lagi di hati mereka masing-masing. Itu sudah lama berlalu mereka juga mungkin sudah melupakan segalanya," nasehat Melinda.
"Kalau dipikir-pikir kelakuan Tania itu memang luar biasa, Arsya yang baik sama dia saja dimusuhi. Lihatkan si Arsya sudah berkali-kali dibikin sakit hati, masih saja mau menolong dia."
"Seharusnya kita bersyukur, Pa, kita memiliki Arsya, tapi, Pa, mama mohon setelah ini jangan perlakukan Tania dengan berbeda, takutnya Tania malah semakin memusuhi Arsya," pinta Melinda.
Anton berdecak, "entah apa maunya anak itu."
"Lalu rencana papa setelah ini gimana? Untuk Tania."
"Cowoknya siapa si Ma? Selama ini papa tidak tahu anak ini pacaran diam-diam begini, papa kira dia nurut aja larangan papa."
"Mama juga sama, Pa, tidak tahu. Nanti tanyakan saja pelan-pelan pada Tania lagi."
"Anak itu tidak bisa dilembutkan, Ma, ngelunjak itu dia. Tania itu dasarnya manja tidak pernah dimarah mau sesalah apapun dia, jadi ujungnya begitu. Mungkin salah papa juga terlalu lembek sama anak."
"Udahlah, Pa, jangan dipukuli lagi Tania, takutnya ia malah mikir kita itu marahnya karena sudah tidak sayang lagi sama dia, apalagi papa mukulnya sampai membabi buta kayak tadi. Takut membekas dan merusak mentalnya, Pa."
"Mama jangan mikirnya kayak gitu, Ma. Dia itu memang wajar dikasi pelajaran begitu, lagian mikir begitu memangnya dia anak kecil. Kesalahan dia jangan coba kita maklumi, Ma."
Lantas percakapan keduanya terhenti ketika Arsya datang. Pria itu habis mengganti bajunya.
"Mas, kamu tahu laki-laki yang menghamili Tania?" tanya Anton langsung bahkan Arsya belum sempat duduk.
"Beberapa bulan ini, Mas sudah tidak begitu tahu teman-teman atau siapa yang dekat dengan Tania, Pa." Arsya dengan terpaksa berbohong, Tania yang memintanya tadi.
Seraya bersujud mencium kaki Arsya, Tania benar-benar meminta, "mas tolong aku! Jangan libatkan Virgo. Dia juga sudah pergi. Masalah ini biar aku yang tanggung sendiri," pintanya pada Arsya.
Arsya sendiri sebetulnya begitu berat menyetujui permintaan Tania, tapi melihat keseriusan Tania yang sungguh-sungguh meminta tolong hingga mampu merendahkan harga dirinya, Arsya sungguh tidak tega menolak permintaannya.
Bersambung...