Tania bergegas bangun, ketika mendengar seseorang masuk ke dalam kamarnya.
"Mas, papa dan mama enggak tahu Virgo kan?"
Pertanyaannya itu membuat Arsya menghela nafas, "iya enggak, kamu tenang aja. Kamu makan dulu ya."
Pria itu masuk dengan nampan yang berisikan semangkuk bubur, dan segelas air putih.
"Badan mu yang memar sudah kamu olesi salap?" tanya Arsya, seraya mengaduk-ngaduk bubur.
Tania hanya menggeleng, sebetulnya ia juga lupa perihal memar yang menghiasi kulit putihnya.
"Mau makan sendiri atau aku suapi?"
"Makan sendiri aja." Lantas Arsya memberikan semangkuk bubur itu pada Tania.
"Kamu enggak mau ke dokter? Suhu tubuhmu masih cukup tinggi."
Namun, Tania enggan untuk menjawab ia fokus pada buburnya.
"Nanti memarmu aku bantu olesi salap setelah makan, ya." Arsya merasa benar-benar prihatin pada keadaan Tania saat ini.
"Mas, udah, aku kenyang." Setelah tiga sendok Tania memilih menyerah saja pada nafsu makannya.
"Udah? Tiga sendok kenyang? Sini aku suapin aja," kata Arsya.
"Enggak, Mas, nanti aku muntah. Bubur itu enggak enak, enggak ada rasanya."
"Lima sendok lagi ya," Lantas Arsya langsung menyodorkan sesendok bubur kedepan mulut Tania. Dan tidak di tolak oleh Tania, karena ia memang kelaparan hanya saja tidak berselera untuk makan. "Benar kamu enggak mau ke dokter?" tanya Arsya sekali lagi, seraya bersiap untuk menyuapi Tania lagi.
"Enggak deh, nanti banyak yang tahu." Ada benarnya alasan Tania, dan Arsya juga menyetujuinya.
"Rencana kamu kedepannya mau gimana?" tanya Arsya.
"Aku enggak mungkin nikah sama Virgo. Jadi sepertinya memang harus cuti kuliah atau berhenti sekalian, rencanaku sampai anak ini lahir aku enggak mau keluar-keluar dulu."
Mendengar penuturan Tania membuat Arsya berpikir untuk mencari solusi yang lebih baik. Ia tahu Tania yang benci berdiam diri di dalam rumah terlalu lama. Meski itu termasuk rencana dan mungkin akan menjadi komitmennya, tetap saja pria itu berpikir bahwa rencana Tania kurang tepat dan mungkin sewaktu-waktu ia akan bosan sendiri dan menyerah.
Lagi pula, Tania memang cukup terkenal di dunia maya bahkan di kampus ia dijuluki influencer yang sering dikirimi barang-barang maupun makanan untuk diendors.
"Kamu sudah enggak apa-apa?" Arsya baru tersadar usai mencerna rencana Tania, rencana gadis itu terlalu sederhana bahkan tidak sesuai dengan permasalahan, hingga tangis dan juga badannya yang babak belur.
"Tan, kamu yakin bakal bisa lewatin 9 bulan itu dengan hanya berdiam diri dirumah. Kamu yakin tidak ingin mengusahakan lebih, pertanggung jawaban dari Virgo?"
"Yakin enggak yakin si untuk yang pertama, tapi untuk yang kedua, aku rasa perjuangan ku udah cukup buat meminta pertanggung jawabannya. Dan aku tidak bisa berusaha lebih dari itu karena aku tahu posisi dan keadaan Virgo."
"Kamu ngehancurin diri kamu sendiri namanya itu Tania. Seharusnya kamu beritahukan pada keluarganya. Bagaimanapun, mereka berhak tahu."
"Dengan kehamilan ini aku memang sudah hancur, kewajiban ku memberi tahu Virgo juga sudah, tapi dia tidak ingin bertanggung jawab, meski aku kecewa tetap saja itu pilihan dia. Namun, untuk memberi tahu keluarganya aku pikir lebih baik tidak."
"Kamu kok jadi enggak masuk di akal gini sih, Tan? Bertanggung jawab itu kewajiban dia, bagaimanapun keadaannya tetap dia harus bertanggung jawab atas kamu."
"Udah lah mas, enggak usah dibahas, mau gimana pun aku enggak bisa cerita lebih dalam, tentang Virgo. Sekarang ini aku udah memilih untuk menerima dan merelakannya saja, lagipula aku udah babak belur, yang kubisa saat ini hanya bertahan hingga akhir."
"Cinta memang enggak masuk diakal ya, Tan." Arsya mengatakannya karena ia kecewa pada keputusan Tania, yang memilih menanggungnya sendiri. Walau keberadaan Virgo tidak diketahui, Arsya masih berpikir untuk memberi tahu keluarga Virgo adalah juga jalan terbaik setidaknya Tania tidak menanggungnya sendirian.
Lebih dari lima sendok, Arsya berhasil membuat Tania menghabiskan buburnya. "Habis juga ya akhirnya, tadi katanya kenyang." Arsya mengalihkan suasana yang tadinya sedikit tegang. "Kamu laper ya, mau nambah lagi nggak?"
"Enggak, Mas," tolak Tania seraya meraih gelas yang berisi air putih dari atas nampan.
Setelah menyimpan mangkok bubur diatas nampan, Arsya beralih mencari salap untuk mengobati memar-memar Tania.
"Cari apa, Mas?"
"Salap. Ada kan kamu?"
"Ohh enggak ada, punyaku sudah habis. Di dapur mungkin masih ada."
"Oh ya udah, aku ke dapur dulu, sekalian nyimpan ini," pamit Arsya.
Lantas setelah pria itu keluar, Tania teringat dengan kelakuannya yang sering sekali menyinggung dan menyakiti Arsya. Entah dengan tingkah laku atau dengan sikapnya, yang jelas ketika mengingat itu semua apalagi Arsya masih bersikap baik dan terlampau perhatian, rasanya Tania ingin menghilang saja dari peredaran pria itu.
Arsya harus merelakan cita-citanya dulu yang ingin menjadi seorang dokter karena Tania. Padahal, pria itu sudah berangan-angan dan optimis sekali dirinya bisa meraih itu, tapi siapa sangka Tania yang masih kekanak-kanakkan langsung mengamuk dan mengancam akan kabur dari rumah. Lantas Arsya menyerah saja, karena begitu tidak sanggup harus menanggung tatapan sengit dan perlakuan tidak baik dari Tania, meski gadis itu masih sangat remaja saat itu.
"Hey! Kok ngelamun? Mikirin apa?"
Tania cukup kaget, karena ia rasa Arsya begitu cepat kembali lagi.
"Kok cepat?"
"Iyalah, kan cuma di dapur. Ayo sini, mendekat."
Tania lekas mendekat, dan membelakangi Arsya.
"Loh memangnya sampai kebadan-badan bagian belakang juga?"
"Kayaknya sih kena mas, soalnya papa tadi mukulnya bagian pinggang. Bagian belakangku juga terasa ada nyengat gitu," jelas Tania.
"Bagian pinggang sama paha nanti kamu sendiri aja ya. Aku ngolesin bagian yang sulit kamu jangkau aja."
Arsya mulai mengolesi sedikit demi sedikit salap pada memar-memar.
"Mas," panggil Tania.
"Kenapa? Sakit ya?"
"Bukan."
"Terus?"
"Mas ingat enggak aku ini jahat banget sama, Mas dulu bahkan sekarang juga masih."
"Terus? Kenapa?"
"Mas, nggak dendam atau pengin ngebalas gitu. Padahal, aku banyak ngegagalin segala yang ingin mas capai, salah satunya cita-cita mas yang pengin jadi dokter itu."
"Kamu ngelantur ya, kok ngungkit-ngungkit masa lalu sih, hmm?" Arsya sebetulnya tidak ingin mengingat-ngingat hal itu lagi. Bukan karena ia terlalu kecewa, tapi karena tidak ingin hubungannya dengan Tania kembali tidak enak hanya karena membahas hal itu lagi. "Udah sekarang bagian kaki."
Lantas Tania beralih posisi, ia dengan susah payah menghadap Arsya dan meluruskan kaki di depan pria itu.
"Mas." Tania masih penasaran dan ingin tahu perasaan pria itu saat ini.
"Iya, kenapa?" Arsya terlalu fokus dengan memar-memar Tania, hingga ia tidak melihat gadis di hadapannya sekarang ini sedang menangis.
"Mas," panggil Tania sekali lagi.
"Hmm." Lalu Arsya beralih melihat wajah gadis yang memanggilnya, beberapa detik ia habiskan hanya untuk memperhatikan gadis itu mulai tersedu-sedu.
"Kenapa? Sakitkah?"
Tangis Tania semakin menjadi dikala suara Arsya itu terdengar lembut dan penuh kasih sayang, seolah Tania adalah buah hatinya.
"Eh kok makin nangis?" Arsya yang bingung lekas mendekat. Namun ia tidak menyangka Tania justru menariknya dan masuk kedalam pelukannya.
"Mas aku malu," eluh Tania yang semakin mengeratkan tangannya.
"Malu sama siapa?" Arsya tidak punya pilihan lain selain juga balas mendekap.
"Mas Arsya, aku minta maaf atas semua kesalahan yang aku lakukan sama kamu. Dari mulai menggagalkan cita-cita kamu, nuduh kamu ngambil uang aku saat disekolah sampai kamu harus dihukum keliling lapangan, aku juga ngambil pr kamu supaya kamu dihukum sama guru karena enggak ngerjain pr, nyumpahin kamu enggak pulang, coret-coret baju seragam sekolah kamu, nyebarin ke teman-teman sekolah kalau kamu itu anak angkat, terus kamu enggak tahu hal ini cuma aku mau ngaku sekarang yang tentang kecoa di dalam roti kamu, itu ulah aku. Maaf, Mas."
Sementara Arsya hanya tersenyum mendengar Tania mengabsen segala kesalahan yang telah diperbuatnya.
"Udah? Itu aja? Perasaan banyak deh," goda Arsya seraya ingin mengurai peluk. Namun, Tania tidak mengizinkannya.
"Mas jangan gitu aku malu, jangan dilepas." Gadis itu protes seraya mencari nyaman di dada bidang milik Arsya.
"Yaudah jangan diungkit-ungkit lagi," ucap Arsya. "Habis ini kamu dikompres ya, suhu tubuhmu belum turun."
Tania mengangguk menyetujui, usai jarak mereka merenggang.
Bersambung ...